Aktivitas penambangan bijih nikel yang masif di Sulawesi Tengah selama tiga tahun terakhir ini telah mendongkrak sektor pertambangan dan penggalian menjadi primadona yang merangsang pertumbuhan ekonomi daerah. Salah satu pemicunya adalah regulasi pemerintah yang memberikan otoritas penuh kepada Bupati untuk mengeluarkan perizinan tambang sebagai implementasi nyata dari konsep otonomi daerah.
Dalam laporan Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah, pertumbuhan ekonomi Sulteng tahun 2013 adalah 9,38 persen, jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional yang berkisar 6 persen.
Sektor pertambangan dan penggalian mengalami pertumbuhan paling tinggi, yaitu 35,23 persen. Sektor ini memberikan andil 2,33 persen dari total pertumbuhan ekonomi Sulteng. Sebaliknya, sektor pertanian yang menjadi kegiatan ekonomi mayoritas warga hanya mencatat pertumbuhan 5,57 persen.
Besarnya andil sektor pertambangan ini dipicu kemudahan para investor mendapatkan Izin usaha pertambangan (IUP) dari para bupati. Kabupaten Morowali, Banggai, Tojo Una-una, Buol, Tolitoli, dan Donggala merupakan contoh beberapa kabupaten di Sulteng yang potensial untuk dieksplorasi terus. Morowali yang paling cepat berkembang eksplorasi tambangnya.
Menurut catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng, sejak dimekarkan tahun 1999 hingga 2013, Kabupaten Morowali telah menerbitkan 183 IUP. Pada periode kepemimpinan Datlin Tamalagi, tidak kurang dari 120 izin dikeluarkan di Morowali. Selanjutnya, periode Anwar Hafid bertambah sekitar 63 IUP.
Alhasil, dalam kurun waktu 2007-2011 investasi tambang, terutama bijih nikel, mampu mendongkrak pendapatan sektor pertambangan pada peringkat kedua setelah pertanian. Dalam struktur pendapatan domestic regional bruto (PDRB) MOrowali. Pertumbuhan sektor pertambangan mengalami lonjakan signifikan dari 22,04 persen (2007) menjadi 36,44 persen (2011) atau 14,4 persen dalam 5 tahun.
Meskipun signifikan dalam menopang ekonomi daerah, sektor pertambangan sejatinya belum bisa mendongkrak kesejahteraan masyarakat Morowali dan Sulteng pada umumnya. Alih-alih menyejaterahkan, investasi tambang yang terjadi selama ini malah membawa dampak buruk yaitu kerusakan alam, kehilangan lahan, mata pencaharian, dan konflik berkepanjangan.
Menurut Catatan Jatam Sulteng, basis utama pertumbuhan ekonomi di sektor tambang dan galian di Sulteng di topang oleh kekerasan dan konflik perebutan lahan antara rakyat dengan investor/perusahaan tambang yang disponsori pemerintah daerah sebagai pemberi izin. Konflik-konflik yang muncul biasanya berupa kekerasan, pengusiran, kriminalisasi, dan intimidasi.
Dalam kungkungan konflik seperti ini, muncul kutub-kutubu berseberangan yang mewarisi perbedaan latar belakang etnis, agama, dan pandangan politik. Perbedaan-perbedaan inilah yang sejak dan selalu muncul dipermukaan ketika terjadi konflik sosial.
Menurut mantan Deputi Direktur Jatam Sulteng Andika, penguasaan lahan di beberapa daerah Sulteng berbasis pada suku dan agama. Di Kabupaten Poso dan Morowali, misalnya, daerah-daerah yang berada di kawasan pedalaman mayoritas lahanya dikuasai suku Panoma (Poso) dan Mori (Morowali). Sementara lahan di wilayah pesisir lahan dikuasai orang bugis, Bungku (Morowali) dan suku-suku pendatang lainnya.
Secara sosial, masyarakat di pedalaman emiliki tingkat pendidikan lebih tinggi. Akibatnya, mayoritas warga pedalaman menguasai akses untuk masuk ke pekerjaan formal, terutama pegawai negeri dan birokrat. Sebaliknya, pendidikan masyarakat pesisir masih tertinggal sehingga sulit menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan birokrat. Namun, mereka menguasai akses perekonomian karena sebagian besar pedagang dan wiraswasta.
“Perbedaan-perbedaan ini dalam kadar tertentu masih wajar,” ungkap Andika.
Namun ketika perbedaan tersebut sudah disusupi kepentingan politik, akses yang muncul bisa lebih luas dari sekedar konflik sosial.
Menurut sosiolog Universitas Tadulako, Palu Tahmidi Lasahido, tuntutan pemekaran wilayah yang muncul secara massif di Sulteng akhirnya di picu keinginan etnis tertentu untuk mendapatkan otoritas dalam pengendalian sumber daya alam, terutama tambang.
“Yang dibela bukan lagi kepentingan sebuah teritori yang lebih besar, tetapi otoritas etnis. Yang dibicarakan hanyalah etnis apa mengendalikan apa,” ungkap Tahmidi.
Persoalan konflik ternyata tidak berhenti dengan pemekaran. Daerah-daerah hasil pemekaran justru menghadapi konflik baru yaitu pertarungan antarklan diantar etnis besar untuk menjadi kepala daerah sebagai pintu masuk untuk mengendalikan SDA. Bahkan, dalam menentukan ibu kota Kabupaten pun kepentingan etnis/klan lebih dominan ketimbang kepentingan kabupaten.
Momen pemilihan umum kepada daerah dan pemilu akan menjadi ajang persaingan bagi para etnis local memperbutkan sumber daya politik sebagai legitimasi mengendalikan SDA. Upaya untuk menjadi kepala daerah akan menjadi pertaruhan mati-matian karena posisi inilah yang paling menentikan. (SULTANI/LITBANG KOMPAS).
Sumber: Kompas. Edisi: Kamis, 27 Februari 20