CATATAN LAPANGAN: PERTARUNGAN RUANG HIDUP RAKYAT DAN PEMODAL DI TOJO UNAUNA

Konflik agraria di Indonesia semakin marak terjadi. Konflik ini, berawal ketika pemerintah, baik pusat maupun pemerintah daerah melalui kewenangannnya memberikan konsesi kepada para pemodal. Inilah cikal—bakal konflik agraria terjadi di Negeri ini, termasuk di Sulawesi Tengah.

Di Kabupaten Tojo Una-una, Pemerintah Daerah (Pemda), telah mengeluarkan 24 Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada para investor tambang, untuk mengeruk hasil bumi nya. Dengan berbekal IUP tersebut, perusahaan tambang dengan leluasa merampas tanah-tanah petani, merusak hutan, dan bahkan mencemari sungai di sekitarnya.

Ina Touna Mining salah satunya. Perusahaan tambang ini, adalah salah satu perusahaan tambang yang beroperasi sejak tahun 2006, dengan memiliki konsesi mencapai 9.925 hektar. PT. Ina Touna Mining yang terletak di Desa Betaua dan Desa Uekuli telah mengakibatkan kerusakan yang cukup parah: di tengah gunung terdapat lubang-lubang dan sisa –sisa penggusuran yang sama sekali belum di reklamasi.

Bapak Iwin, salah seorang warga Betaua saat diwawancarai aktivis Jatam Sulteng menjelaskan, bahwa PT. Ina Touna Mining, saat melakukan kegiatan operasi produksi, sama sekali tidak membebaskan lahan masyarakat yang masuk dalam konsesinya. Lebih dari 200 hektar lahan warga yang masuk dalam konsesi PT. Ina Touna Mining, hanya 4 hektar saja yang dibebaskan. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial kepada masyarakat lain yang juga punya lokasi perkebunan di wilayah konsesi perusahaan.

Lahan perkebunan sebagian masyarakat diganti rugi dengan harga Rp. 5000 per meter persegi. Namun yang diganti rugi hanyalah wilayah yang di eksploitasi, sedangkan wilayah lain berupa jalan dan tanah tempat pengolahan dan empat penyimpanan material tidak dibayarkan. Tak hanya itu, masyarakat pun dilarang menggunakan jalan dan melakukan aktifitas perkebunan di sekitar wilayah pertambangan.

Selain itu, permasalahan yang paling berdampak atas aktivitas PT. Ina Touna Mining adalah menurunnya kualitas air yang digunakan oleh masyarakat Uekuli sehari-hari. Hal itu disebabkan oleh limbah pertambangan yang masuk ke aliran sungai. Pun, PT. Ina Touna Mining telah melakukan dugaan kejahatan kehutanan.

Atas terjadinya hal tersebut, maka masyarakat Uekuli melakukan penolakan dengan cara pemalangan koridor perusahaan. Setelah melakukan aksi, beberapa orang masyarakat di panggil oleh Bupati Tojo Unauna dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tojo Unauna. Alasannya: untuk dimintai keterangan.

Dalam sosialisasi yang dilakukan oleh perusahaan tambang, PT. Ina Touna Mining menebar janji kepada masyarakat, antara lain: melakukan pemasangan lampu jalan, naik haji untuk beberapa masyarakat, dan memberikan pajak untuk desa di setiap pemuatan. Namun, dari semua janji tersebut, satupun tak pernah terealisasi. Masyarakat kembali protes. Mereka melakukan pendudukan pelabuhan selama dua bulan. Hasilnya, PT. Ina Touna Mining telah di moratorium sejak tahun 2013.

Selain Manusia, Habitat Monyet pun Terganggu

Aktivitas perusahaan tambang tidak hanya mengganggu kenyamanan manusia yang tinggal di lingkar tambang. Namun, perusahaan tambang juga merusak hutan sebagai tempat tinggal habitat satwa liar. Seperti apa yang dilakukan PT. Arthaindo Jaya Abadi di Desa Podi, Tojo Unauna beberapa waktu lalu. Sebagai akibatnya, monyet-monyet itu, yang dikenal sebagai jenis monyet hitam Sulawesi (Macaca Tonkeana): merusak tanaman warga.

Migrasi habitat monyet itu terjadi, karena: Pertama, disebabkan oleh industri ekstraktif yang memporak-porandakan hutan sebagai habitat monyet oleh PT Arthaindo Jaya Abadi; kedua, terganggunya habitat monyet, karena bunyi bising mesin penggilingan untuk pengolahan bijih besi PT Arthaindo Jaya Abadi yang dioperasikan selama 1×24 jam di kaki Gunung Katopasa Desa Podi.

Permasalahan lain yang dilakukan oleh PT. AJA, adalah: melakukan kegiatan di wilayah pertanian masyarakat Podi yang dimiliki oleh 24 petani. Selain itu, PT. AJA juga melakukan dugaan tindak pidana kehutanan. Perusahaan tambang itu melakukan aktivitas di kawasan hutan, namun tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian Kehutanan.

Perusahaan tambang menyerang semua sisi, baik mahkluk hidup maupun yang mati. Ini merupakan suatu pertanyaan besar bagi Kepala Daerah yang masih saja mengandalkan penerimaan dari sektor industry ekstraktif. Padahal, dampak negatifnya sangat nyata di depan mata. Bukan hanya itu, potensi kerugian negara begitu besar.

Pertarungan ruang hidup, antara rakyat dengan pemilik modal: perusahaan tambang, dilegitimasi oleh pemerintah daerah. Ini merupakan sebuah paradox bagi petani di Tojo Unauna yang masuk dalam wilayah konsesi pertambangan. Sebab, untuk mempertahankan ruang hidupnya saja harus berlawanan dengan pengusaha dan penguasa.

Oleh: Ramadhani
*Penulis adalah Aktivis Jatam Sulawesi Tengah.

Tinggalkan Komentar Anda :