Siaran Pers-Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah
Siaran Pers ini untuk Disebar-luaskan
Aktivitas Ilegal Mining; Merusak Kawasan Taman Hutan Raya Sulteng & dan Mengancam Keberlangsungan Hidup Masyarakat Kota Palu.
Sejak di bukanya aktivitas pertambangan oleh masyarakat di Kelurahan Poboya tahun 2007, dan pada tahun 2013 masyarakat mulai banyak meninggalkan wilayah tersebut, dengan berbagai macam alasan, termasuk berkurangnya kemampuan masyarakat dalam mengelola dan mengambil hasil dari aktivitas tersebut. Seiring dengan berkurangnya masyarakat melakukan pertambangan melahirkan perubahan baru dalam metode menambang.
Diketahui berdasarkan Investigasi JATAM-Sulteng aktivitas pertambangan di Poboya saat ini terdapat tiga titik pertambangan, lokasi pertama berada di dekat sungai Pondo, dilokasi pertama ini yang telah dibuka sejak tahun 2007 oleh penambang rakyat, dan masih terdapat tromol sebagai tempat untuk melakukan pemisahan tanah dan emas. Lokasi kedua berada di lokasi Vatutempa, aktivitas dilokasi ini sangat massif, terdapat kurang lebih 30 eksapator yang sedang melakukan aktivitas dan tidak kurang dari 200 dumpk truck mengangkut material hasil olahan eksapator. Lokasi Ketiga yang biasa disebut oleh masyarakat berada di Kijang 30, dilokasi ini tidak ada aktivitas masyarakat, yang ada adalah aktivitas perusahaan dan tidak sedikit 20 eksavator dan 300 mobil dumpk truck yang melakukan aktivitas. Dari ketiga tempat itu semuanya berada dalam kawasan Taman Hutan Raya.
Material hasil pengerukan yang dilakukan oleh perusahaan yang di Indikasi adalah PT. Panca Logam dan PT. Madas, perusahaan-perusahaan kemudian membawa hasil pengerukan ke lokasi penampungan atau yang sering di maksud dengan lokasi untuk melakukan pemisahan material dan emas, rata rata penampungan ini mampu menampung sampai 10.000 dam trek, penampungan dan alat berat itu adalah milik perusahaan yang beroprasi di kelurahan poboya yang juga masuk dalam wilayah kawasan TAHURA ( Taman Hutan Raya ) sulawesi tengah.
Dari hasil penampungan atau pemurnian ini sendiri emas murni yang mampu di hasilkan adalah sekitar 28 Kg dalam setiap hasil pengolahan, pengolahan ini sendir memakan waktu sampai dengan 30 hari lamanya perendaman, untuk memisahkan material yang mengandung emas. Material yang mengandung emas ini di ambil dengan cara melakukan pengerukan gunung-gunung menggunakan alat berat untuk mengambi material yang mengandung emas di dalamnya. Aktivitas mayarakat mengambil material di lokasi ini dengan cara membongkar hasil galian alat berat kemudian masyarakat mencari material yang mengandung emas, atau masyarakat sekitar menyebutnya dengan ba kaliki, cara ini tidak lagi masuk kedalam luabang tambang yang sudah di lubang oleh masyarakat namun masyarakat hanya mengambil material hasil pengerukan yang di lakukan oleh alat berat perusahaan.
Adapun lahan yang digunakan untuk pembuatan penampungan emas sendiri itu di sewakan oleh warga lokal yang mempunyai tanah di wialayah vatutempa. Masyarakat menyewakan tanah berkisar antar 40-50 juta dengan luas 1- 2 hektare. Bukan hanya penampungan ada juga mekanisme pemurnian yang mengunakan tong, penggunaan tong sendiri itu mampu menghasilkan satu kilogram emas dalam satu kali pengolahan. Penggunaan tong ini sudah seikit berkurang karena banyak memakan biaya.
Dampak aktivitas pertambangan
Aktivitas illegal mining yang dilakukan oleh Perusahaan di dua lokasi baik di vatutempa maupun dikijang 30. Berdampak buruk pada sungai Pondo di poboya, maupun PDAM yang mengalir ke Perumahan Dosen Tondo. Karena kedua perusahaan itu beraktifitas kurang lebih 3 Km dari PDAM yang dikonsumsi oleh masyarakat.
Selain itu, mercuri dan bahan-bahan beracun juga digunakan oleh perusahaan, dan hal ini pasti akan berdampak buruk buat masyarakat kota Palu secara umum.
Upaya Aparat Penegak Hukum Yang Tidak Serius
Untuk itu, kami JATAM Sulteng mendesak Polda Sulawesi Tengah, untuk menyeret dan meminta pertanggunjawaban perusahaan atas aktivitas illegal didalam kawasan Taman Hutan Raya, juga aktivitas yang menggunakan mercury dan bahan beracun itu juga harus ditindak dan dimintai pertanggunjawaban pidana. Kepolisian tidak boleh membiarkan dengan hanya menutup perusahaan, tapi juga menyeret para pelaku dan pimpinan perusahaan ke persidangan, sebab hal tersebut adalah perbuatan Pidana. Kami mencurigai Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, memiliki hubungan emosional dengan perusahaan pelaku penambang illegal, sebab tindakan penutupan yang dilakukan oleh pihak kepolisian tidak trasparan, dan terus berulang (setelah ditutup tiga minggu kemudian buka lagi). Untuk itu karena Polda Sulawesi Tengah tidak memberikan efek jera dengan menyeret para pelaku ke persidangan sehingga mengakibatkan perusahaan habis ditertibkan kembali beraktifitas.