Di tengah krisis iklim dan kerusakan ekologis yang makin menggila, Indonesia justru memperkuat fondasi pembangunan berbasis ekstraksi. Tanah dibongkar bukan demi kehidupan, tapi demi akumulasi keuntungan. Air dijaring bukan untuk sawah dan kebun rakyat, melainkan untuk mendinginkan smelter dan pembangkit milik korporasi. Udara dikotori oleh debu tambang dan asap pembakaran demi memproduksi logam dan energi yang diklaim sebagai simbol “kemajuan.” Ekstraktivisme hari ini bukan sekadar praktik tambang atau eksploitasi sumber daya alam, melainkan sistem utuh yang menjadikan alam, manusia, dan pengetahuan sebagai objek
eksploitasi tanpa batas.
Ekstraktivisme bukan sekadar aktivitas ekonomi, tapi proyek ideologis. Ia disusun dengan rapi: dikemas dengan jargon kemajuan, dilegalkan lewat regulasi, dan dijaga oleh aparatus kekerasan. Atas nama pembangunan nasional, ruang hidup rakyat dikorbankan demi kepentingan segelintir elite dan korporasi. Pembangunan tak lagi bermakna kesejahteraan bersama, melainkan menjadi arena konsolidasi kekuasaan dan akumulasi modal.
Ironisnya, proyek-proyek perusakan ini kini dibalut dengan label “hijau.” Negara dan korporasi berlindung di balik narasi transisi energi, ekonomi hijau, dan pembangunan rendah karbon. Tambang nikel, geothermal, smelter, PLTA, hingga kawasan industri raksasa diklaim sebagai bagian dari “masa depan berkelanjutan.” Namun kenyataan di lapangan berbicara sebaliknya: penggusuran, pencemaran, konflik sosial, dan kekerasan negara-korporasi terus terjadi.
Kalimantan menjadi bukti nyata bagaimana sebuah pulau dijarah tanpa henti. Tambang batubara meninggalkan lubang-lubang maut; sawit menggusur hutan adat dan merampas tanah ulayat; proyek pangan dan energi merusak keseimbangan ekologis. Pangan dan air di Kalimantan makin terancam, ironisnya pulau sebesar itu kini bergantung pada pasokan dari luar. Sejak 2011, lebih dari 51 anak tewas tenggelam di lubang tambang yang dibiarkan terbuka oleh perusahaan. Dan, ini hanya di Kalimantan Timur saja. Namun alih-alih menghentikan kerusakan, negara justru memperparah dengan menghadirkan Ibu Kota Nusantara (IKN) di tengah kehancuran tersebut—mengokupasi lahan dan menggurus paksa rakyat dan habitat satwa, serta menyambungkan proyek industri hijau di Kalimantan Utara, mulai dari PLTA Kayan, kawasan industri, hingga tambang mineral. Semua dibungkus jargon transisi energi, padahal yang terjadi adalah ekspansi kehancuran.
Di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Erfaldi menjadi simbol perlawanan yang direnggut nyawanya. Masih berusia 21 tahun, ia tewas ditembak polisi saat aksi menolak tambang emas pada 2022. Namanya menyusul Salim Kancil di Lumajang, Jawa Timur, yang dianiaya hingga tewas karena menolak tambang pasir besi pada 2015. Dua nama ini mengingatkan kita bahwa melawan tambang di Indonesia bisa berarti mempertaruhkan nyawa.
Perlawanan terus berlangsung. Di Sangihe, Wawonii, dan Dairi, rakyat menjaga tanah, air, dan tubuh pulau dari eksploitasi tambang raksasa. Mereka menggalang kekuatan hukum, menanam palang, dan menjaga kampung. Bahkan ketika menang gugatan—seperti warga Wawonii dan Sangihe, yang membuktikan izin lingkungan dan izin penggunaan kawasan hutan cacat hukum—negara tetap bungkam, korporasi tetap jalan, dan aparat tetap siaga. Di Dairi, tambang seng dipaksakan di zona gempa. Di negeri ini, kemenangan rakyat di pengadilan pun bisa tak berarti.
Di Mandailing Natal, Sarulla, Dieng, Poco Leok, Mataloko dan sejumah wilayah lainnya, warga hidup dengan udara beracun dari proyek geothermal yang diklaim sebagai energi bersih. Padahal, kehidupan mereka terancam: sebagian warga mengalami sesak napas, kulit gatal, air tercemar, dan kesehatan terganggu. Ketika bersuara, mereka diteror, dipukul, bahkan dikriminalisasi. Inilah wajah transisi energi di Indonesia—yang katanya demi menyelamatkan bumi, tapi justru menyakiti rakyat.
Pulau Jawa juga terus diporak-porandakan oleh logika pembangunan yang menyingkirkan rakyat demi pertumbuhan semu. Di Kendeng, pegunungan karst yang menjadi benteng air dan kehidupan dibelah untuk pabrik semen, mengabaikan jeritan para ibu penolak tambang yang menyemen kakinya di depan Istana. Di Jabodetabek, pencemaran udara telah mencapai tingkat mematikan, menjadikan napas sebagai kemewahan dan penyakit sebagai harga hidup di kota. Lahan-lahan pertanian produktif dikorbankan untuk jalan tol, bandara, dan kawasan industri, membuat ketahanan pangan kian rapuh dan petani tercerabut dari tanahnya. Tragedi lumpur Lapindo di Sidoarjo menjadi tonggak kelam, ketika keserakahan industri ekstraktif menenggelamkan 16 desa, memaksa puluhan ribu orang mengungsi, dan negara justru melindungi pelaku kejahatan. Kini, Jawa menuju titik kolaps: krisis air, krisis pangan, dan krisis kesehatan menjadi bayang-bayang nyata dari sistem pembangunan yang tak berpihak pada kehidupan.
Sumatera juga bernasib serupa. Di Dairi, tambang seng dan timbal tetap dipaksakan di tengah ancaman gempa dan banjir. Di Batang Toru, PLTA dan tambang emas menghancurkan bentang alam rumah orangutan Tapanuli. Di sisi lain, perkebunan sawit dan HTI terus meluas, menggusur hutan adat dan menciptakan konflik agraria yang tak berujung. Kampung-kampung pun terdesak oleh kebun besar, dan kehidupan yang dulu lestari kini terperangkap dalam rantai produksi rakus.
Sementara itu, di kepulauan Sulawesi dan Maluku, hingga Papua bagian barat, smelter dan industri nikel menjulang tinggi atas nama transisi energi dan ekonomi hijau. Namun yang terjadi adalah pengusiran, pencemaran, dan kemiskinan. Laut tercemar limbah tambang, ekosistem rusak, nelayan kehilangan tangkapan. Di darat, udara dan air bersih makin langka. Mereka yang bersuara ditangkap, diteror, bahkan diseret ke pengadilan. Di Obi, Morowali, Halmahera, dan sejumlah wilayah tempat proyek sejenis dijalankan, rakyat dijadikan korban demi proyek yang katanya demi masa depan.
Tanah Papua menjadi ladang perampasan terbesar: gunung dikeruk, sungai diracuni tailing, hutan adat digunduli. Freeport, yang telah puluhan tahun mengeksploitasi emas dan tembaga di Tembagapura, meninggalkan luka ekologis dan sosial. Suku Amungme dan Kamoro terus bergulat dengan kemiskinan dan kehilangan ruang hidup. Di Bintuni, blok gas yang dikelola perusahaan raksasa justru menghilangkan akses masyarakat atas tanah dan laut. Kekerasan menyertai tiap perlawanan: penembakan, penangkapan, dan intimidasi menjadi bahasa negara terhadap rakyat. Proyek food estate pun menyasar Papua, mengatasnamakan ketahanan pangan tapi faktanya menjadi jalan masuk ekspansi korporasi.
Ironisnya, sebagian proyek itu dilegitimasi sebagai proyek strategis nasional. Tapi apa yang dianggap strategis oleh negara, tak selalu strategis bagi rakyat. Proyek ini menjadi jubah kekerasan yang sah—menggusur, membunuh, dan menindas. Anak-anak tewas di lubang tambang, air mengering, hutan musnah, tanah adat dirampas. Negara hadir bukan sebagai pelindung, tapi sebagai mesin perusak.
Dalam konfigurasi ini, negara tidak lagi menjadi pelindung rakyat, melainkan fasilitator kepentingan korporasi dan pemodal. Luka ekologis yang dihasilkan—dari tanah retak, air tercemar, udara beracun, hingga tubuh-tubuh yang sakit dan hilang tempat berpijak—menunjukkan bahwa ekstraktivisme telah menjadi bentuk kolonialisme baru, yang menyusup dalam nama pembangunan, transisi hijau, dan modernisasi. Ini adalah kekerasan struktural yang tak hanya merampas sumber daya, tapi juga merusak relasi sosial, memecah solidaritas komunitas, dan menghapus harapan masa depan yang layak.
Dengan kata lain, ekstraktivisme bukan sekadar proyek ekonomi, tapi bentuk penjajahan ruang hidup yang sistematis dan brutal. Ia beroperasi melalui persekongkolan lintas rezim: rezim politik yang meloloskan regulasi pro-investor dan mengerahkan aparat untuk membungkam perlawanan; rezim keuangan yang menyuplai dana lewat berbagai skema investasi; dan rezim pengetahuan yang memanipulasi sains dan data demi membenarkan proyek-proyek destruktif sebagai solusi atas krisis dan derita rakyat dan lingkungan.
Situasi getir yang dialami rakyat di berbagai pulau Indonesia ini, menempatkan Hari Anti-Tambang (HATAM) menjadi sangat relevan. HATAM—dimana tragedi Lapindo sebagai tonggak awal, menjadi titik temu: menyatukan kekuatan gerakan yang selama ini tercerai-berai.
HATAM bukan sekadar simbol perlawanan terhadap ekstraktivisme, tapi seruan untuk menghentikan sistem yang membunuh perlahan. Ini suara dari anak-anak yang tak bisa sekolah karena desanya tenggelam. Dari petani yang kehilangan sawah, dari perempuan yang kehilangan mata air, dari orang tua yang kehilangan anak, dari istri yang kehilangan suami.
HATAM adalah ajakan untuk bersatu. Warga adat, petani, nelayan, buruh, perempuan, mahasiswa—harus menyatu dalam satu barisan. Saatnya membangun kekuatan kolektif dan
menyusun ulang narasi pembangunan dari perspektif rakyat, bukan pemerintah, apalagi investor. Kita tidak anti kemajuan. Tapi kita menolak kemajuan yang dibangun di atas reruntuhan kehidupan. Kita tidak anti kekayaan. Tapi kita melawan kekayaan yang tumbuh dari penderitaan rakyat.
Sebab, melawan adalah bagian dari merawat kehidupan.
Hidup rakyat! Hancurkan Ekstraktivisme! Bangun kekuatan rakyat!
Seruan Hari Anti-Tambang 2025