ADA EMAS DI DESA LINTIDU: “KEGENITAN INVESTOR MENGANCAM KEHIDUPAN RAKYAT”

Djanja Lintidu, begitulah sebutan orang belanda terhadap Desa lumbung emas ini. Desa yang masuk wilayah administrasi kecamatan Palele Kabupaten Buol ini, lagi “diserang” oleh manusia “demam emas” dari berbagai penjuru. Mulai dari masyarat asli Buol, ada juga dari daerah lain dinusantara seperti Manado, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan jawa. Setiap pagi memadati lereng-lereng gunung untuk mencari butiran emas. Ada pula yang berkebangsaan asing dengan “kendaraan” perseroan terbatas (PT) mendarat di desa yang jaraknya cukup jauh dari Ibukota Buol. Desa ini dapat ditempuh dalam empat jam menggunakan mini Bus, usaha yang sudah bertahun-tahun digeluti oleh orang Sangir Sulawesi Utara.

Beberapa tahun terakhir konflik pertambangan di desa ini menguat, setelah PT Suli Internasional hendak mencaplok garis pantai Desa Linditidu yang selama ini dikenal sebagai satu-satunya sumber mata pencaharian penduduk setempat. Pada 4 Desember 2009, rombongan Dinas Pertambangan bersama tim dari PT Suli Internasional, datang didesa ini mengunjungi sekaligus melihat kawasan yang hendak dilakukan penyelidikan umum. Selain menyampaikan rencana penyeledikan umum, sosialisasi ini juga dimaksudkan untuk menjaring persetujuan masyarakat atas rencana investasi ini.

Namun penjaringan ini tidak seperti yang diharapkan oleh pihak perusahaan dengan kepala Dinas. Pertemuan ini kemudian gagal karena sebagian besar masyarakat menolak. Alasan penolakan ini terdiri dari tiga poin;(1) masyarakat menilai bahwa pengelolaan emas di Lintidu oleh perusahaan tidak akan menguntungkan bagi daerah dan masyarakat sekitar;(2) Belajar dari berbagai pengalaman praktek pertambangan skala besar di Indonesia, terdapat proses kerusakan lingkungan yang cukup parah. Dan masyarakat Lintidu tidak ingin hal itu terjadi dikampung mereka. Apalagi kawasan pertambangan yang dicanangkan berada di sekitar pemukiman warga;(3) penambangan emas secara tradisional (Mendulang) merupakan pekerjaan pokok masyarakat, jika perusahaan masuk maka secara otomatis mereka akan kehilangan pekerjaan.

Tetapi batalnya pertemuan di Lintidu, ternyata dilanjutkan kembali oleh perusahaan atas inisiatif pak Camat di ibu kota kecamatan Palele. Sehingga tidak diketahui masyarakat setempat. Atas dasar inilah, pada 18 Desember 2009, para tenaga tekhnis perusahaan mulai datang melakukan survei. Spontan, seluruh penduduk desa yang terdiri dari ibu-ibu, anak-anak dan para pria yang sedang menambang, mengusir dan mengejar para tenaga tehknis tersebut. Untungnya, tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini karena tidak lama berselang satuan Dalmas Polsek Palele sebanyak satu mobil mengamankan para tenaga tekhnis tersebut. Dihadapan Dalmas para ibu-ibu berteriak” jika perusahaan masuk kami akan membenamkan kepala dipantai ini. Kami tidak ingin “belanga” kami diganggu”.

Sebelum kejadian ini, sebetulnya penduduk Desa Lintidu sudah melayangkan aspirasi keberbagai unsur pemerintah. Tercatat, pada 11 Desember 2009 masyarakat menyurat ke Ketua DPRD Kabupaten Buol yang berisi sikap penolakan terhadap PT Suli Internasional, yang ditandatangani 100 orang penduduk Desa Lintidu. Serta diikuti oleh Surat Kepala Desa pada tanggal 12 Desember 2009 yang isinya sama dengan surat yang dilayangkan langsung oleh masyarakat.

Menurut salah seorang penambang yang juga salah satu inisiator gerakan ini Hasyim Pakude mengungkapkan, perusahaan Suli Internasional akan mengkapling garis Pantai sejauh kurang lebih 2 Kilometer. Sementara areal pantai hasil reklamasi perusahaan Belanda Mijnbow Mascappy ini. Telah bertahun-tahun dan bahkan sudah masuk pada generasi ke tiga, masyarakat menjadikan kawasan ini sebagai satu-satunya mata pencaharian.

”Kami hanya menumpuh-kan hidup dari hasil dulangan ini, kami menyekolakan anak, membiayai rumah tangga dan hidup sehari-hari semua sumbernya dari sini. Tanah disini susah dijadikan lahan pertanian, sebab tingkat kemiringannya 90 derajat, Dan hanya pantai inilah satu-satunya harapan hidup” tandasnya.

Selain PT Suli Internasional saat ini terdapat satu perusahaan lagi yang sedang dalam penyelidikan umum beradasarkan Izin Usaha Eksplorasi Pertambangan. Yaitu, PT BDLP pada tahun 2008-2009 sudah melakukan proses pengeboran di sebelas titik. Berdasarkan Izin Kuasa Pertambangan perusahaan ini memiliki luas rencana konsesi sebanyak 7391 Ha. Perusahaan ini lebih bersifat spekulan, karena perusahaan ini dikontrol langsung oleh beberapa perusahaan besar yang hendak masuk di Kabupaten Buol.

Kecenderungan investasi terbuka di Kabupaten Buol hal itu diakui oleh Seorang Pejabat penting di lingkungan Dinas Pertambangan Kabupaten Buol. Saat ini proyek besar Kabupaten buol adalah bagaimana mendatangkan para investor untuk mengelola sumber daya alam. Kampanye deposit Mineral maupun potensi sumber daya alam lainnya terus dilakukan.

“Buol memiliki potensi besar seperti Tembaga, Galena, Batubara, Emas Granit, dan itu harus dimaksimalkan, dan hanya bisa tumbuh kalau iklim investasinya membaik” Tandasnya.

Nasib Pertambangan Tradisional, Kini dan esok!

Ditengah berbagai upaya menarik investor oleh pemerintah. Hampir tak pernah secara serius dibicarakan tentang bagaimana nasib para masyarakat yang berdiam disana. Mereka yang hidup secara turun temurun melanjutkan hidup dari perolehan hasil menambang secara tradisional. Bagaimana kearifan mereka, bagaimana solusi menjaha keberlanjutan, bagaimana meningkatkan taraf hidup? Semua hanya menjadi cerita-cerita senyap dilingkungan kecil para masyarakat penambang. Ruang aktualisasi, maupun ekspresi sudah semakin terlanjur dibatasi melalui orientasi investasi yang jauh lebih besar dengan melibatkan perusahaan yang besar pula.

Sementara Setiap harinya, ditengah terik matahari yang “membakar” kulit. Penduduk desa Lintidu meng-ayak dulangan yang terbuat dari kayu tertentu, dibantu oleh suami atau istri dan anak-anak mereka. Di pendulangan ini rata-rata didominasi oleh ibu-ibu atau perempuan paruh bayah. Sama sekali tidak mendapat perhatian yang serius dari pemerintah setempat. Model penambangan dulangan yang dilakukan disini sangat sederhana. Tumpukan pasir pantai di masukan dalam ember. Kemudian dikumpulkan pada tempat yang dekat dengan kubangan air atau kolam-kolam kecil sisa air hujan, yang cukup untuk menggoyang pasir diatas dulang. Setelah itu butiran-butiran emas akan bermunculan dan melengket di air perak yang telah dimasukan ke dulang sebanyak satu sendok nasi.

Rata-rata pada hari biasa para pendulang dalam waktu 2 sampai 3 hari hanya bisa menghasilkan 1,5 gram emas. Berbeda pada hari istimewa seperti bulan Desember Januari dan Februari. Pada bulan ini, musim ombak besar. Proses abrasi pantai juga cukup besar ditambah lagi gulungan ombak, sehingga tanah-tanah yang mengandung emas itu tersortir (terpisah) lagi. Dan tentu saja perolehan butiran emas pun akan lebih banyak. Begitulah seterusnya, dan tidak ada tanah yang terbuang karena pasir yang digali, setelah didulang dikembalikan lagi ke Pantai.

Sementara untuk para laki-laki yang usianya masih muda dan kuat. Mereka bekerja di lokasi tambang diatas gunung. Memahat batu dengan menggali lubang sedalam 4 meter. Kemudian batu yang dihasilkan itu dimasukan ke tromol untuk memperoleh butiran emas. Model pengelolaan emas disini agak berbeda ditempat lain seperti Poboya. Dimana jual beli tanah menguat akibat “booming” emas. Dan proses differensiasi social (pembentukan kelas) bergerak dan cukup berarti.

Di Lintidu, model penambangannya memakai sistem kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 6-7 orang setiap lubang. Tanah yang ditempati membuat lubang bisa dilakukan dimana saja, asalkan tidak menganggu lubang orang lain. Alat yang dipergunakan berupa mesin penyedot air dan kompresor udara. Hal itu dikarenakan lubang yang mereka buat ada yang cukup dalam mencapai 200 meter. Hasilnya, dimasukan ke tromol dan dipotong biaya hutang dan tromol sebesar 90 ribu rupiah. Rata-rata hasil galian dimasukan ke tromol tiap 1 minggu dengan perolehan 2 kilogram emas, dan dibayarkan oleh pemilik tromol dalam bentuk kumulatif setiap bulan, ada juga yang langsung mendapatkan hasil, tergantung apakah dia berkongsi dengan pemilik tromol atau tidak.

Sementara di Hulubalang, desa hasil pemekaran Lintidu pada tahun 2008 mempunya model yang berbeda. Meskipun berdekatan kampung, Hulubalang sudah dikenal model kepemilikan lubang sekaligus pemilik tromol. Setiap kelompok diikat oleh satu tuan pemilik tromol dan lubang. Mereka dipekerjakan dan ditanggung makan minumnya. Seluruh material yang mereka hasilkan nanti satu bulan baru ditromol, dan hasilnya di potong dengan biaya tromol dan kebutuhan lainnya yang sudah diberikan lebih dulu. Rata-rata penghasilan setiap bulannya mencapai 4-5 juta rupiah dengan jumlah potongan mencapai 100 ribu rupiah.

Salah seorang penambang bernama uling, mengaku senang dengan pekerjaan ini, meskipun resikonya besar dan bisa berujung pada kematian. Pemuda desa ini memilih berhenti sekolah sejak SD, alasannya karena sudah menghasilkan uang setiap bulan. Bahkan saat ini seluruh kebutuhan keluarganya sudah menjadi tanggung jawabnya.

Disamping itu, peran desa juga lebih dominan mengatur sistem pertambangan melalui inventarisasi pekerja dan pajak hasil. Tercatat, pada tahun 2009 sekitar 180 pekerja berada di Desa hulubalang. Namun, kondisi ini tidak menyebabkan menguatnya arus perdagangan baik tanah maupun situs prostitusi komersial sebagai ciri umum pada setiap lokasi pertambangan. Karena rata-rata pekerjanya hanya turun dari lokasi tambang setelah satu bulan dan tiga bulan bekerja. Itu pun hanya untuk menyetor uang pada keluarga mereka, anak istri, dan orang tua. Sementara pekerja diluar daerah memilih pulang kekampung halaman mereka.

Jika dilihat, hasil penambangan masyarakat disini dapat kita bayangkan bagaimana tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Tetapi fakta berbicara lain, pola konsumsi masyarakat disini agak berbeda dengan umumnya masyarakat pedesaan. Di Lintidu dan Hulubalang semua barang diperoleh melalui pertukaran uang (dibeli). Kebutuhan pokok (Ikan, beras, sayur, cabe, dll) semuanya dibeli, dari pedagang. Terutama beras, masyarakat disini sangat bergantung dengan pasokan beras dari Propinsi Gorontalo. Kondisi ini selain karena kondisi faktor geografis, latar belakang sejarah juga menjadi salah satu bagian. Sebab sekitar seratus tahun yang lalu model kerja upahan sebagai penambang sudah diperkenalkan oleh perusahaan Belanda Mijnbow Mascappy (18 April 1900, lihat dokument perjanjian belanda, Lampiran 1) didesa ini. Dan hampir tidak ada sejarah pertanian yang berarti sepanjang adanya desa ini.

Mijnbouw Mascappy: Awal Dikenal Emas

Jauh sebelum Indonesia merdeka, Belanda telah memberikan Surat Konsesi tanggal 39 Juni tahun 1897 no 19 pada Mijnbouw Mascappy dengan lama kontrak 75 tahun atau selama belum ada yang bersedia menggantikan. Namun pada saat itu, masa kerja efektif perusahaan ini hanya berjalan selama 35 tahun sejak diadakannya perjanjian antara Harassiy tuan tanah lokal di Lintidu sebagai perwakilan kerajaan Buol dengan pemilik Mijnbouw Maatschappy Dr, H Sibor yang diketahui oleh Kepala Residen Manado dan Raja Buol.

Dalam perjanjian tahun 1900 belanda akan mengganti seluruh kerugian yang dialami oleh Harassi dengan upah sebesar seratus rupiah per bulan selama perusahaan melakukan aktivitasnya. Pada saat itu sebagian besar penduduk yang berada dilereng-lereng bukit menolak. Tapi karena desakan dari pihak kerajaan sehingga masyarakat merelakan tanah mereka untuk ditambang. Sesuai janji Belanda, ganti rugi hanya diberikan pada tuan Harassi, jadi sebagian besar masyarakat lainnya tidak mendapatkan apa-apa.

Dikawasan ini belanda melakukan proses penambangan tertutup (Strip Pit Mining) sederhana. Dalam lokasi pertambangan dibuat lubang-lubang rel dan membentuk daerah galian berdasarkan urat Bumi atau garis batu emas secara berlapis hingga enam susun. Selain untuk keperluan memudahkan rel, hal itu juga digunakan untuk mengalirkan air bawah tanah ke permukaan. Air itu masih dipergunakan sampai sekarang, meskipun saat ini beberapa titik sumbuh (semburan air) sudah mulai kering akibat jalurnya tertimbun oleh proses pengeboran PT BDLP.

Selama melakukan proses penambangan pihak Mijnbow Matscappy hanya membayarkan uang sebanyak seratus rupiah pertahun pada tiga orang penting di desa Lintidu. Orang tersebut dianggap sebagai refresentase pemilik tanah, dan dua orang lainnya dianggap punya jasa tertentu dalam mendukung usaha belanda didaerah ini.

Secara geografis kampung ini adalah wilayah pegunungan yang tinggi. Tidak memiliki dataran yang luas hanya tanjung dibeberapa tempat. Adapun dataran yang ditelah menjadi pusat pemukiman penduduk saat ini adalah hasil reklamasi pantai oleh Perusahaan Belanda untuk kebutuhan Pelabuhan. Menurut masyarakat setempat, pengolahan emas yang dihasilkan dari pabrik belanda pada daerah ini berbentuk kepingan, diolah dan dikemas secara langsung. Makanya tidak heran, jika anda jalan-jalan ketempat ini, akan banyak sekali ditemui situs peninggalan Mijnbouw Maatschappy, berupa kantor Kamp-kamp pekerja, dan berbagai saluran-saluran air dan bak mandi.

Selama Belanda melakukan proses penambangan didaerah ini, penduduk lokal sama sekali tidak dipekerjakan. Adapun buruh yang dipekerjakan bersumber dari Manado, Gorontalo dan Pulau jawa. Sehingga keterampilan menambang masyarakat disini dinilai lamban diperkenalkan. Nanti pada tahun 1935, saat gejolak perang dunia kedua kian memanas, Belanda perlahan-lahan mulai meninggalkan wilayah ini. Dan dari sinilah proses pendulangan emas pun dimulai masyarakat setempat. Termasuk proses migrasi dari Manado, Gorontalo, dan beberapa daerah diibukota buol masuk kedesa ini.

Sempat booming pada era tahun 1980-an, namun hanya berjalan selama 3 tahun proses penambangan rakyat kembali surut setelah harga emas turun. Para pencari emas dari luar daerah meninggalkan tempat ini. Berbeda, dengan masyarakat lokal (asli), mereka justru menjadikan proses pendulangan sebagai kerja terus menerus dilakukan karena tidak ada pekerjaan lain yang bisa dikerjakan. Barulah pada tahun 2000-an ini, semangat menambang kembali tumbuh setelah para penambang dari Gorontalo memperkenalkan teknologi tromol, sebuah penemuan sederhana untuk menghasilkan emas yang lebih banyak dari mendulang.

Oleh: Andika
(Tulisan ini sebelumnya diterbitkan Seputar Rakyat Edisi 111 Tahun 2010)

Tinggalkan Komentar Anda :