SELAMATKAN TELUK PALU DARI KEPUNGAN TAMBANG SIRTUKIL

“Kota Palu dikelilingi gunung-gunung, Teluk Palu-nya indah, mari kita jaga dan lestarikan…” Iwan Fals

Tiba di Kota Palu Di Provinsi Sulawesi Tengah melalui udara maupun darat, akan disuguhkan keindahan pemandangan alam berupa lima dimensi dengan view kenikmatan berupa lekukan sexi teluk palu nan eksotis. Kota Palu dengan luas kota nyaris 300 kilometer bujur sangkar ini adalah kota terluas di Indonesia Timur, di sepanjang bibir pantainya membentang 15 kilometer itu menyajikan arena publik bak berada di Dubai atau di Venezuela. Dilekukan teluk yang nan eksotis telah tersedia pula hotel-hotel bertaraf international dan nasional, sampai hotel murah berkelas melati. Termasuk ratusan café rakyat yang menyajikan makanan tradisional membentang rapi di bibir pantai teluk palu. Garis bentangan horizon dilekukan bibir pantai Teluk Palu itu kala senja menjelang petang akan memanjakan pengunjung merasakan sensasi angin laut yang begitu menggoda.

Namun naas, keindahan teluk palu yang dibelai-belai dengan presentasi Laudya Chintya Bella di penghujung 2017 melalui salah satu acara TV Komersial itu, menyembunyikan seribu keluh-kesah masyarakat Kota Palu dan bahkan Donggala, yang bermukim di sepanjang pesisir pantainya. Keluh-kesah ini sebenarnya telah beberapa kali diteriakkan baik oleh masyarakat Kabupaten Donggala sendiri maupun sejumlah aktivis pegiat lingkungan di hadapan para pemangku kebijakan. Namun sampai detik ini belum ada upaya permanen dari pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah untuk mengatasi hal tersebut.

Lalu, Ada apa…? Perlukah kita bertanya “ada apa?” Tidakkah kita sering menyaksikan semburan-semburan debu setinggi 15-20 meter ke udara hasil dari aktivitas pertambangan galian pasir, batu dan kerikil (Sirtukil) sepanjang pesisir Palu-Donggala? Kalau komiu belum pernah saksikan seperti yang dikatakan di atas, cobalah komiu duduk-duduk santai di salah satu kafe di Kampoeng Nelayan siang atau soreh hari, lalu arahkan pandangan ke arah barat laut tepatnya di sempanjang kecamatan Banawa. Di situlah tersembunyi keluh-kesah masyarakat yang tinggal di sekitar areal pertambangan. Semburan tebal debu hasil dari kerukan alat berat miliki perusahaan tambang spontan melahirkan kecemasan masyakarat sepanjang pesisir pantai ini terhadap masa depan kesehatan dan keberlangsungan hidup anak-cucu mereka.

Dalam catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng, sepanjang pesisir pantai tersebut, tidak kurang dari 27 perusahaan tambang galian C yang beroperasi, 10 di antaranya berada dalam akwasan adminitratif Palu, sedangkan 17 lainnya masuk kawasan administratif Donggala. Di satu sudut, di Kecamatan Labuan, terdapat juga kurang lebih 17 Perusahaan Tambang sirtukil yang terus mengeruk sepanjang sungai Labuan. Teluk palu kini dikerumuni aktivitas perusahaan tambang galian sirtukil yang bukan saja memberi dampak kerusakan lingkungan yang massif, juga mengancam keberlangsungan hidup biota laut dan terumbu karang yang tentunya akan menghilangkan sebagian besar sumber kehidupan masyarakat pesisir sebagai nelayan. Dari keterangan beberapa nelayan di desa Buluri, Loli Oge, Loli Tasiburi dan nelayan di kecamatan Labuan yang berhasil dihimpun Oleh Jatam Sulteng, rata-rata mengeluhkan hasil tangkapan mereka di mana penyebab utama berkurangnya hasil tangkapan ikan, diakibatkan tertutupnya terumbu karang dengan debu akibat pertambangan yang jatuh ke dasar laut dan menutupi tempat-tempat bertelurnya biota laut. Belum lagi ditambah dengan aktivitas kapal tongkang yang hampir setiap hari hilir-mudik di perarian teluk palu yang mengakibatkan ikan-ikan enggan berlama-lama di teluk palu.

Dampak lainnya yang juga sangat diresahkan oleh masyarakat yang tinggal dilingkungan pertambangan ialah ancaman penyakit Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA). Meminjam data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Donggala, jumlah masyarakat yang terinfeksi ISPA di sepanjang pesisir ini hampir 500 orang per bulannya, dan angka itu didominasi oleh anak-anak, bahkan di Desa Loli Oge sudah ada satu anak korban meninggal akibat ISPA. Belum lagi berbicara dampak sosial dan dampak lingkungan akibat dari serbuan aktivitas perusahaan tambang. Begitu banyak masalah yang dipendam oleh masyarakat sepanjang pesisi teluk Palu. Untuk itu kami dari Jaringan Advokasi Tambang dengan ini menyatakan sikap bahwa :

Mendesak Pemerintah Sulawesi Tengah untuk lebih serius dalam melakukan evaluasi terhadap perusahaan tambang galian sirtukil secara keseluruhan yang beroperasi di sepanjang pesisir Teluk Palu dan Donggala

Tinggalkan Komentar Anda :