PERTARUNGAN KEARIFAN LOKAL DENGAN PERUSAHAAN TAMBANG SIRTUKIL DI PESISIR PANTAI PALU – DONGGALA

Pertarungan perebutan ruang dan lahan di sepanjang pesisir pantai Palu – Donggala antara kepentingan adat (kearifan lokal) dengan perusahaan tambang galian pasir batu dan kerikil (sirtukil) kian hari kian mengeruh.

Donggala, merupakan salah satu kabupaten ter-tua di Sulawesi Tengah, yang menyimpan banyak kekayaan adat, tradisi serta kearifan lokal yang dipercaya memperkuat keutuhan antara alam dan manusia di sekitarnya. Warisan-warisan leluhur ini dipegang begitu teguh serta di praktekkan secara turun temurun hingga saat ini.

Kaili,- adalah suku tertua yang tercatat dalam sejarah Kota Donggala yang terbagi ke dalam sub-suku; Ledo, Rai, Da’a, Ija, Edo, Doi, Tara dan Unde, merupakan sebagian kecil dari sub-suku Kaili itu sendiri. Keragaman sub-suku ini kian hari kian terkikis keutuhannya. Betapa tidak, aktivitas perusahaan tamabang galian pasir batu dan kerikil (sirtukil) di sepanjang pesisir pantai Palu – Donggala, menjadi ancaman nyata yang merusak sendi-sendi adat istiadat warga Palu dan Donggala.

Sementara, dalam kepercayaan suku Kaili bahwa setiap tempat atau unsur masing-masing memiliki tuan, penguasa atau penjaga yang berfungsi menjaga keseimbangan alam dan lingkungan.

“Kalau di kami ini nak, dalam pandangan adat kami ini, setiap tempat atau unsur, itu semua punya tuan penjaganya, yang harusnya kalau kita mau berbuat sesuatu di tempat itu, kita harus ba pamit-pamit dulu sebelum melakukan sesuatu. Coba eh, kalau di air penjaganya ‘pue nu ue,’ di gunung ‘pue nu buu’, di kayu ‘pue nggayu’, di batu ‘pue nu vatu’. Pue itu, tuan atau biasa kita sebut tuhan atau penguasa unsur, kira-kira seperti itu pengertiannya. Para tuan atau penjaga atau penguasa ini yang harusnya kita pamit dulu sebelum melakukan sesuatu di situ. Contohnya saja seperti rumah, kalau kamu masuk rumah seseorang tanpa pamit, sudah bisa dipastikan pemilik rumah akan marah dan bisa-bisa berbuat sesuatu yang tidak baik untuk kamu.” Tutur pak Manarudin, saat diwawancarai tim investigasi Jatam Sulteng, Kamis 25 Oktober 2017.

“Makanya jangan heran, kalau setiap tempat yagn kita bongkar, seperti gunung di belakang kita ini, kemudian dibongkar tanpa berpamitan, jangan heran kalau mata air mengering. Akhirnya warga kekurangan air. Seperti kemarin itu buktinya.” Tambahnya.

Masuknya perusahaan tambang galian sirtukil di sepanjang pesisir ini, diawali oleh perusahaan milik H. Hasan, beroperasi di kecamatan Ulujadi desa Buluri, sejak kurang lebih 20 Tahun yang silam, telah merusak keutuhan tatanan adat istiadat warga pesisir pantai Palu-Donggala.

Selain itu, dampak yang ditimbulkan perusahaan selama ini, cukup memberi kesulitan kepada masyarakat pesisir khususnya dua kecamatan; Ulujadi dan Banawa ini. Seperti pak Manarudin, yang dalam kesehariannya hanya sebagai nelayan mengeluhkan aktivitas perusahaan yang mengeruk gunung lalu menerbangkan debu-debu setinggi 10 meter ke udara. Debu-debu ini menutupi terumbu karang yang menjadi tempat berkembang-biaknya biota laut yang akhirnya nelayan semakin disulitkan dengan keadaan ini.

Selain itu, dampak yang ditimbulkan oleh hadirnya perusahaan tambang galian sirtukil di sepanjang pesisir Palu-Donggala menimbulkan:

Dampak sosial

1. Dampak tambang terhadap kearifan lokal terasa kurang lebih 5 – 7 tahun terakhir. Banyak aturan-aturan adat yang dilanggar oleh perusahaan. Kata pak Manarudin, gunung yang dulunya kami keramatkan, kini kedudukannya tidak lagi sebagai tempat yang dijaga keutuhannya. Hampir semua gunung yang disakralkan sebagai tempat penyangga dan daerah tangkapan air, telah habis dikeruk eskapator perusahaan. Kini, pesta adat yang dianggap sebagai ritual ‘tulak bala’ (ritual menolak bencana alam) tidak lagi dipandang sakral oleh masyarakat setempat. Pergeseran budaya dan adat istiadat sangat terasa dalam kurun waktu ini. yang berujung pada bergesernya etika sosial, remaja, dilingkungan itu. Pak Manarudin sangat menyayangkan hal ini. sebab, taka ada lagi identitas warga asli yang digunakan sebagai pegangan hidup dalam keseharian.

2. Ancaman Narkotika Membuntuti Remaja dan Karyawan Lokal Sejak masuknya perusahaan tambang, diakui warga setempat bahwa arus peredaran obat-obatan terlarang sejenis narkotika nampak kelihatan. Menurut ibu bidaya, pola konsumsi obat-obatan terlarang ini penyebabnya pola kerja karyawan yang lembur. Untuk bisa bertahan dalam kerja lebih dari 8 jam itu, beberapa karyawan menurut pernyataan ibu bidaya , terpaksa mengonsumsi obat-obatan itu dengan tujuan bisa bekerja dengan bebas tanpa rasa lelah dan ngantuk.

Dampak Lingkungan

Kerusakan ekosistem laut, tersumbatnya lubang-lubang karang sebagai tempat bertelurnya ikan dan biota laut lainnya, akibat timbunan-timbunan material pasir dan sebaran debu, berdampak pada kecilnya pendapatan nelayan sepanjang pesisir pantai ini. belum lagi dampak kesehatan yang dirasakan masyarakat setempat. Sejak beraktifitasnya perusahaan di sepanjang pesisir Palu – Donggala, tercatat kurang lebih 700 anak-anak yang terinfeksi ISPA (data Rumah Sakit Donggala). Hal ini semakin memperlemah posisi tawar masyarakat akan hak keberlangsungan hidupnya di sepenjang pesisir pantai tersebut.

Oleh : Kiyat JD

Tinggalkan Komentar Anda :