Memuja Kapitalis,
Po’u dan Ratusan Penambang Tradisional Terancam Tersingkir
( Bagian I )
Oleh: Asrianto Laando. S.Sos
Tahun 2008. Sebut saja Po’u merupakan warga di Kecamatan Paleleh, kaget dengan munculnya berita bahwa Pemerintah Kabupaten telah mengeluarkan Izin berupa Kontrak Pertambangan (KP) kepada perusahaan PT. Bina Daya Lahan Pertiwi (BDLP) dengan luas 3.836 Hektar. Sebab kekagetannya adalah, adanya simpang siur informasi jika perusahaan itu mencaplok wilayah pertambangan rakyat di Paleleh dan Paleleh Barat.
Tambang Rakyat ini dimulai sejak Tahun 1970an, dan booming pada tahun 1980an. Penambangan di wilayah Paleleh telah ada sejak tahun 1880an. Tepatnya, zaman kolonial. Singkatnya setelah kemerdekaan tahun 1945. Masyarakat Kolonial meninggalkan wilayah Paleleh. Penambangan muncul kembali tapi kali ini dilakukan oleh individu-individu.Dan aktivitas menambang pertama dilakukan seorang Pemuda bernama Pagoru dating dan mencari sisa-sisa material buangan colonial di wilayah Paleleh. Masyarakat yang mengikuti jejak Pagoru tidak lain ayah dari Po’u serta mulai tertarik menggali lubang untuk mencari emas. Lokasi galian pertama yang dilakukan oleh ayah Po’u ini disebut oleh warga setempat sebagai Polonggo.
Metode penambangan tradisional yang berlangsung sejak puluhan tahun tersebut membawa berkah tersendiri bagi masyarakat setempat, ditambah dengan dataran paleleh yang terkenal dengan wilayah tebing dan pegunungan membuat masyarakat setempat hanya menjadikan tambang atau menambang sebagai aktivitas utama, dan aktivitas sampingan adalah mencari ikan dilaut. Hasil dari aktivitas menambang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan selebihnya digunakan untuk membangun rumah permanen dan membiayai anak-anak sekolah diperguruan tinggi di luar wilayah Kabupaten Buol. Tercatat perputaran uang disatu desa seperti Dopalak bias mencapai 800 juta hingga 1 milyar dalam 2 minggu.
Tetapi sejak kehadiran PT. Bina Daya Lahan Pertiwi (BDLP) di Kecamatan Paleleh dan Paleleh Barat. Ketegangan mulai muncul, baik antara Kapital (perusahaan) dan masyarakat yang menolak kapital, maupun antara pendukung Kapital dan Penolak kapital. Ketegangan muncul karena izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah baik Kabupaten pada awal sebelum berlakunya Undang-Undang 23 Tahun 2014 maupun Pemerintah Provinsi berdasarkan kewenangan atribusi dari Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Ketegangan itu muncul karena mereka melihat peta PT. Bina Daya Lahan Pertiwi (BDLP) masuk di wilayah penambangan masyarakat, Po’u dan kawan-kawannya mengorganisasikan diri untuk menolak perusahaan tersebut, sebab jika lahan yang mereka kuasai itu masuk ke dalam wilayah izin penambangan perusahaan maka secara otomatis akan terjadi perampasan ruang hidup warga setempat. Selain itu, luas wilayah BDLP juga masuk dalam kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi maupun Hutan Produksi terbatas seluas 2.729 hektar.
Penolakan terhadap aktivitas perusahaan menambang adalah bagian dari upaya melawan perubahan yang dikehendaki oleh pemerintah, sebelumnya corak produksi masyarakat yang non-kapitalistik akan berubah seiring dengan masuknya perusahaan yang notabene akan menjadikan corak produksi menjadi sangat kapitalistik. Dan corak produksi yang kapitalistik akan melahirkan kontradiksi atau pergesekan kepentingan masyarakat setempat dengan kepentingan yang hendak mengambil “untung” dari kekayaan sumberdaya alam yang saat ini sedang dinikmati oleh Po’u dan ribuan masyarakat setempat. Sudah pasti, Lingkungan akan rusak parah dan masyarakat setempat akan tersingkir.
Tetapi, berbeda dengan mereka yang memiliki kepentingan pragmatis. Mereka memuja perusahaan dengan mengambil jalan mendukung aktivitas perusahaan tanpa melihat dan memikirkan nasib Po’u dan ribuan masyarakat yang lain. Mereka menuduh penambangan yang dilakukan oleh Po’u dan ribuan masyarakat setempat adalah bagian dari aktivitas illegal, sehingga cap Ilegal menjadikan kemanusiaan mereka kehilangan rasa iba dan menjadi penganut berfikir“siapa kuat dia menang”.