IRONI POBOYA DAN KEPAK LIAR BUMI RESOURCES

Pertambangan rakyat bukanlah sebuah barang baru di Indonesia. Kegiatan ekonomi ini sudah berlangsung sejak zaman kolonial belanda. Tetapi pada masa itu pola yang dikembangkan adalah pertambangan milik pemerintah maupun perusahaan yang dilakukan oleh rakyat, dan tidak ada pengaturan khusus. Kegiatan itu sangat tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak yang terlibat dalam penambangan (Zulkarnain dkk, 2008).

Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan tambang rakyat ini tidak mengalami perhatian yang cukup serius. Meskipun demikian, tercatat beberapa aturan perundang-undangan sudah memayungi aktivitas ini. Mulai dari PERPU No. 37 th 1960 tentang pertambangan dan kemudian berlanjut dengan UU No.11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan Peraturan Pemerintah RI No. 75 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 11 Tahun 1967 hingga Peraturan-peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 1992 dan No. 75 Tahun 2001. Akan tetapi, dari semua aturan perundang-undangan itu hanya menyoal pembatasan atau definis tentang tambang rakyat tidak lebih.

Pernah sekali dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru beberapa projek uji coba (pilot project) pertambangan rakyat di beberapa lokasi di Indonesia dan diikuti dengan kebijakan yang dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 01P/201/M.PE/1986 tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital (Golongan A&B), pertambangan rakyat lebih diperlakukan sebagai suatu usaha pertambangan skala kecil (TSK) (Zulkarnain dkk, 2008).

Dalam perjalananya, tambang rakyat memang seperti aktivitas “anak tiri”. Perhatian pemerintah bukan tidak ada sama sekali, tetapi lebih banyak ditujukan pada aspek legal dan ilegal. Lahirnya undang-undang No 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batu Bara sebelumnya diharapkan dapat memberikan penjelasan lebih. Namun hal itu tidak terjadi, tak ada intervensi yang signifikan pada aktivitas itu. Hanya terdapat perubahan pola pendefenisian tambang yang dulunya dibagi berdasarkan golongan, kini terbagi menjadi komoditas seperti Migas, Mineral dan Batu Bara. Serta klaim “karcis ekspoitasi” (Izin) yang dulunya tersentral dari Kontrak Karya (KK) dan Kuasa Pertambangan (KP) kini menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP). Perhatian lebih banyak dicurahkan pada penerbitan izin dan lain-lainnya, bagi tambang skala besar.

Tidak adanya ruang kebijakan yang mengakomodir secara substansial praktek pertambangan rakyat mendorong aktivitas ini menjadi seperti serampangan. Aktivitas ekonomi ini merebak diberbagai tempat: Bombana, Poboya, Toili, Buol, Parigi, dan Tojo Una-Una. Tapi sekali lagi, karena kesiapan pemerintah menghadapi fenomena ini tidak disertai dengan peraturan yang memadai, membuat tambang rakyat dijadikan persoalan oleh pemerintah dibeberapa tempat. Mereka diberi stigma dengan macam-macam issu, mulai dari kerusakan lingkungan, pencemaran, kriminalitas, dan lain-lain[2].

Kilasan Kontrak Karya Poboya

Aktivitas tambang Poboya menjadi perhatian publik sejak mobilisasi tromol mulai diperkenalkan oleh para penambang dari Manado Sultra dan warga penambang dari Gorontalo. Tak memakan waktu lama, hanya tiga bulan, aktivitas ini segera Booming. Catatan Lurah setempat menyebutkan, sekitar 7000 orang secara serentak memadati lereng-lereng bukit di Poboya menjadi penambang dengan macam-macam pembagian kerja; buruh tromol, penggali lubang, kulit angkut.[3]

Tapi belakangan, aktivitas penambangan di Poboya mungkin lebih tepat jika disebutkan sebagai aktivitas semi industri. Hal ini dikarenakan model pembagian kerja antara pemilik tromol, pekerja lubang, dan pembeli emas mengindikasikan corak produksi bernuansa ekses kapital. Argumentasi ini menjadi relevan setelah dibuktikan oleh penggunaan bahan-bahan beracun yang sering dipakai dalam industri skala besar seperti Mercuri, dan Sianida juga digunakan oleh para penambang untuk menyortir kandungan emas dibalik bebatuan yang mereka gali[4].

Celakanya, pemerintah kota Palu terlalu lambat mengintervensi aktivitas ini. Bahkan bisa dibilang terjadi pembiaran yang panjang. Berbagai rencana yang dibangun oleh kelompok masyarakat sipil untuk menata tambang Poboya, justru menjadi agenda yang dibiarkan berlarut-larut. Sementara setiap harinya hilir mudik penambang terjadi tanpa kontrol dan pengawasan yang memadai. Karena itu pula, wacana tambang rakyat menjadi liar. Asumsi pun bermunculan. Intervensi versi ketua Adat belum bisa memuaskan masyarakat kota Palu dari bahaya Ancaman.

Apalagi, beberapa hasi-hasil riset yang muncul menyebutkan tentang adanya bahaya pencemaran. Misalnya, tenaga ahli Asperi, Prof. DR. Mappiratu MS, mensinyalir sungai Poboya dari hulu hingg hilir yang bermuara di Teluk Palu, telah tercemar limbah mercury antara 0,005 ppm hingga 0,580 ppm. Sedangkan pada bak terbuka PDAM yang ada di Poboya, pencemaran berkisar 0,005 ppm, padahal batas toleransi atau ambang batas yang diperbolehkan hanya 0,001 ppm (part per million).[5]

Sementara itu, Kontrak Karya emas Poboya dimulai tahun 1997 pada saat pendatanganan persetujuan kontrak karya oleh presiden RI. Melalui surat Presiden RI No Presiden No. B-143/Pres/3/1997 tanggal 7 Maret 1997, PT Citra Palu Mineral resmi menjadi perusahan pemegang KK generasi ke VI, dengan bahan galian utama emas dan mineral ikutannya. Melalui East Kalimantan Coal Pte. Ltd, Rio Tinto menguasai 90 persen saham PT CPM. Saham sisa sebanyak 10 persen dimiliki oleh PT Arlia Karyamaska. KK PT CPM seluas 561.050 hektar membentang dari Kabupaten Buol, Tolitoli Donggala,dan Parigi Moutong (Sekarang masuk daerah Kabupaten baru mekar Sigi Biromaru).

Sejak awal, rencana pertambangan Poboya oleh CPM sudah menuai kontroversi dikalangan warga kota Palu. Bahaya ancaman terhadap kondisi sosio-ekologi menjadi keresahan dominan. Tercatat beberapa masalah timbul dari setiap rencana aktivitas perusahaan, tidak saja bagi kalangan masyarakat sipil, tapi juga dengan pihak pemerintah sendiri. Kronologis Penolakan peristiwa yang mengantar perjalanan Kontrak Karya, dapat dilihat sebagai berikut;

Pertama, Departemen Kehutanan menolak rencana pengeboran uji coba oleh PT CPM lewat surat No. 682/DJ-VI/ Bidprog/1997. Penolakan ini dilakukaan karena areal tambang PT CPM tumpang tindih dengan kawasan konservasi Tahura Poboya. Kemudian pada Tanggal 31 Mei 1999 Kepala BKSDA Sulawesi Tengah dengan suratnya No. 87/BKSDA ST-2/1999 menyampaikan laporan atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan PT CPM. PT.CPM belum mendapatkan ijin dari kehutanan saat melakukan Pengeboran di dalam kawasan Tahura pada saat itu. Pengeboran dimulai pada tanggal 3 September 1998 sedangkan ijin dikeluarkan pada 28 september 1998. Pemboran dilakukan pada 11 lokasi, namun sebenarnya ada sekitar 20 titik pengeboran di dalam kawasan Tahura. PT CPM Sendiri merupakan salah satu dari 22 perusahaan tambang yang paling kontroversial karena lokasinya berada dalam kawasan lindung (Seputar Rakyat 2003);

Kedua, Pada tanggal 3 April 2003, siaran pers dikeluarkan Departemen Kehutanan, bahwa Tahura Poboya tidak termasuk kawasan yang direkomendasikan untuk dimasuki industri keruk. Salah satu alasannya, karena Pemda Sulawesi Tengah tidak memberikan rekomendasi untuk penambangan di Poboya. Gubernur Sulawesi Tengah Prof (Emiretus) Aminuddin Ponulele dikenal paling keras menentang rencana penambangan di Poboya. Bahkan sikap kerasnya pada saat itu disampaikan sejak masih menjabat sebagai Ketua DPRD Tingkat I Sulawesi Tengah. Sebagai pakar ekologi, Aminuddin menganggap penambangan di Poboya akan merusak lingkungan (Lihat, Seputar Rakyat, 2003);

Ketiga, PT. Citra Palu Mineral adalah atas nama pemilik kontrak karya. Kemudian oleh PT.Bumi Resources salah satu perusahaan skala Trans Nasional Cortporation milik Konglemerat Abu Rizal Bakrie yang juga pejabat menteri rezim SBY-JK (sekarang Ketua Umum Golkar terpilih periode 2009-2014). Membeli saham CPM dari PT.New Cress dengan Komposisi Kepemilikan saham 99,9 %. Sementara Dalam Laporan Kepemilikan saham tanggal 31 Desember tahun 2007, PT. Bumi Resources merupakan aliansi modal dari sejumlah perusahaan raksasa yakni PT Samuel Sekuritas Indonesia 3.69%, JPMorgan Chase Bank Na Re Nominees Ltd. 1.95%, Bank of New York 1.89% dan PT Bakrie and Brothers Tbk 14.28%, serta Jupiter Asia No. 1 Pte. LTD 4.30%. Secara prinsip proses penjualan semacam ini telah melanggar ketentuan kontrak yang tidak memperbolehkan pemindahan tangan kontrak karya;

Keempat, tambang rakyat yang gagal dikoreksi secara objektif, justru Pemerintah kota Palu mendatangkan lagi mara bahaya. Tidak saja menjadi ancaman bagi masyarakat penambang Poboya, Kota Palu, maupun masyarakat di Sulteng. Ancaman itu juga akan jadi terjadi bagi penduduk Bumi akibat rencana eksplorasi PT Citra Palu Mineral diamini oleh pemerintah Kota Palu.

Pemerintah kota Palu mengamini Rencana eksplorasi PT CPM sendiri mencuat pasca Surat Direktur CPM, Suseno Kramadibrata, yang menyampaikan surat pemberitahuan Nomor 45/CPM/XII/2010 kepada Walikota Palu. Terkait rencana pemboran (drilling) sebagai bagian dari kegiatan eksplorasi untuk daerah prospek di Blok Poboya.yang isinya adalah meminta izin eksplorasi. Sebanyak empat (4) driling akan coba dipasang di dalam kawasan Tahura., untuk melakukan pengeboran. Target eksplorasi ini sebetulnya sudah mengarah pada upaya eskploitasi sesuai laporan tahunan 2009 Bumi Resources, yang akan melakukan eskploitasi pada tahun 2012.

Informasi ini sontak memantik reaksi dari kalangan penambang tradisional (rakyat). Atas nama Barisan Pemuda Tara (Batara), Pada tanggal 3 Januari 2011 mereka menurunkan puluhan ribu warga penambang mendatangai instansi pemerintah, DPRD, Balai Kota Palu, dan DPRD Provinsi. Mereka dengan gegap gempita menuntut satu hal”Usir CPM dari Bumi Tadulako”. Pernyataan ini tentu saja memberikan makna bahwa puluhan ribu penambang ini menolak kehadiran campur tangan Industri skala besar ditanah poboya, yang diatas namai oleh CPM anak perusahaan PT Bumi Resources.

Catatan Kritis Industri Ekstraktif

Banyak orang mengatakan, mana yang harus dipilih? Apakah perusahaan atau tambang rakyat. Ini dualisme yang sulit. Dikotomi semacam ini nampak kian menegaskan bahwa Industri kapitalis juga adalah pilihan. Maka, untuk mengakhiri perdebatan semacam itu perlu diulas deskripsi perbandingan sederhana antara resiko dan kemungkinan kontrol yang menguntungkan dalam dua kategori pertambangan diatas, dengan tetap memperhatikan syarat-syarat keberlanjutan manusia dan alam;

Pertama, dalam konteks Poboya, resiko industri ekstraktif harus meningkat menjadi ancaman dan mara bahaya terhadap syarat kebelanjutan manusia dan alam. Sebab lokasi Kontrak Karya Citra Palu mineral yang digawangi oleh Bumi Resources memiliki impact aktivitas ekstraktif yang akan meniadakan (menghancurkan) syarat objektif; 1) kawasan Hutan Konservasi yakni Taman Hutan Raya yang memiliki fungsi biotis endemik yang menghuni dikawasan itu, 2) kepentingan spesies manusia sebagai daerah resapan air atau water catcment area. Air itu mengalir sebagai deposito pokok bagi kebutuhan kehidupan separuh masyarakat kota Palu.

Kedua, Bumi Resources sebagai induk PT Citra Palu Mineral merupakan perusahaan ekstraksi berorientasi pasar, dan mengosentrasikan pengerukan berbasis laba super. Sejak tahun 1990, perusahaan milik Group Bakrie Ketua Umum Golkar ini telah listing di Pasar saham sebagai tempat bernaung untuk mencari kapital tambahan dalam bursa saham. Poboya dengan jelas hanya akan menjadi arena sirkulasi kapital asing untuk menyerap surflus dalam pertambangan tanpa berkeringat. Contoh kongkrit yang terlihat misalnya, adalah Obligasi konversi yang diterbitkan Enercoal Resources, anak usaha PT Bumi Resources (BUMI).

Perihal itu juga bisa dilacak, ternyata dengan posisi ekuitas saham bumi di pasar modal sangat berpotensi mendorong aliran kapital perusahaan ini pada berbagai macam anak usaha yang terus dikembangkan. Proses eksplorasi pada cadangan dua juta ons di Blok Poboya semakin mengukuhkan target ambisius itu untuk implementasi brand loyalitas sebagai perusahaan tambang di Bursa Efek sekaligus sebagai makelar saham yang kian dipercaya para pemilik saham.

Ketiga, dampak pertambangan Bumi Resources atau group Bakrie N Brothers bukanlah isapan jempol belaka. Tentu kita semua masih ingat lima tahuan yang lalu bagaimana kasus kebocoran eksplorasi lapindo telah menciptakan petaka bagi masyarakat Sidoarjo. Dan sampai saat ini, mayoritas masyarakat disana masih menuntut tanggung jawab perusahaan. Ironisnya, ketika issu itu mencuat, pemerintah justru menyatakannya sebagai bencana alam, dan harus ditanggulangi oleh negara. Perusahaan angkat kaki, dan meninggalkan penderitaan permanent bagi masyarakat Sidoarjo.[i]

Setelah sampai pada titik ini, tentu kita akan bertanya, Bagaimana dengan tambang rakyat? Mana yang harus dipilih? Pengelolaan tambang yang dikuasai oleh rakyat tentu tidak akan sama dengan perusahaan kapitalis, baik dari segi laju daya rusak maupun manfaat ekonominya. Tapi koreksi terhadap tambang rakyat pun menjadi sebuah kewajiban, jika harus jadi pilihan. Tanpa bekal perspektif dan kesadaran ekologis yang memadai bisa dipastikan aktivitas eksploitasi tak terkendali dan kemungkinan bencana ekologis (longsor dan pencemaran) bakal menggangu kesehatan dan menelan korban jiwa yang banyak, tak terhindarkan.

Hal itu patut menjadi alasan, karena sampai detik ini sama sekali tidak ada protokol serius yang mengatur soal standar keselamatan manusia, dan layanan alam sekitarnya. Baku mutu alam hanya diuji berdasarkan pengalaman empiris dan pengetahuan otodidak para penambang. Bukan bermaksud mengabaikan pengetahuan itu, tapi fakta-fakta dilapangan sudah menunjukan angka kerusakan yang serius, seperti Longsor pada lubang galian, pencemaran Air, dan juga angka kriminalitas yang terus meningkat[6] Kesimpulan

Dalam menyikapi polemik Poboya maka argumentasi yang telah dan akan diproduksi harus meninggalkan model perdebatan lama. Begitu pun aspek ekonomi, dan kesejahteraan, tak bisa didudukan sebagai wacana tunggal untuk dijadikan alasan. Tetapi argumentasinya mesti berpusat pada perhatian eksistensi tambang rakyat dari ancaman Bumi Resources. Perhatian itu dilandasi pada kritik objektif tentang pentingnya menjaga kelangsungan fungsi-fungsi layanan alam bagi baku mutu lingkungan. Tidak cukup hanya dengan jaminan karcis, Perwali penggunan air raksa, atau Perda pungutan sekalipun. Lebih dari itu, baik pemerintah maupun masyarakat penambang dituntut untuk bersama-bersama bertanggung jawab terhadap akvitias menambang dengan membangun protokol syarat-syarat keselamatan manusia dan aspek keberlangsungan layanan alam secara lebih operasional.

Dengan demikian, perspektif dan kesadaran ekologis dalam tata kelola pertambangan rakyat dapat mengacu pada konsep Walhi Sulteng,: Pertama, perencanaan tata ruang (tata guna lahan) areal pertambangan yang mempertimbangkan daya dukung lingkungan setempat; Kedua,perumusan kesepakatan tata kelola bersama sesuai standar keselamatan dan keberlanjutan ekologi setempat maupun ekologi dalam lingkup yang lebih luas; Ketiga, pengendalian tata distribusi bahan-bahan kimia pelebur emas, dalam hal ini mercury dan sianida; Keempat, perumusan rencana rehabilitasi lahan pasca tambang; Kelima, monitoring dan evaluasi berkala terhadap aktivitas penambangan. ( Adk – Jatamers)

Kepustakaan:

  • Dkk, Iskandar Zulkarnain Konsep Pertambangan Rakyat dalam Kerangka Pengelolaan Sumber Daya Tambang yang Berkelanjutan, Jakarta: LIPI, 2008.
  • Tcamang, Nasution , dan Andika (2011)”Inisiatif Berlawan Dari Tambang Rakyat” Draft tulisan bersama untuk Simpul Belajar, Perkumpulan Praxis.
  • Andika, (2011)”Kritik Rencana Pertambangan di Tojo Una-Una”www.jatamsulteng.or.id, JATAM Sulteng
  • Andika, (2010) Seputar rakyat edisi 3, Yayasan Tanah Merdeka Palu
  • Andika,(2009)”Pemerintah, Dalam Penegasan Kepemilikan Emas Poboya”Media Alkhairaat.
  • Jaya Kelana Tun, (2004)” Ada Apa Dengan Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia? PEI-Online
  • http: Billon, P.L. 2001. The Political Ecology of War: Natural Resurce and Armed Conflicts. Political.
  • Yopi,Ferdinan,Agi, / E d i s i 0 4 /Ta h u n I /Ap r i l 2 0 0 3, Seputar Rakyat, Yayasan Tanah Merdeka Palu
  • Laporan Tahunan, (2004) Bumi Resources Tbk
  • Laporan Tahunan, (2005) Bumi Resources Tbk
  • Laporan Tahunan (2006), Bumi Resources Tbk
  • Laporan Tahunan, (2008) Bumi Resources Tbk
  • INILAH.COM, edisi 4 Agustus 2009).
  • Konsep Pape Tambang Rakyat Poboya, 2010 Walhi Sulteng.
  • [1] Penulis adalah Manager Riset dan Kampanye JATAM Sulteng 2011. Apabila anda tertarik pada kajian issu advokasi tambang atau berminat terhadap informasi perlawanan tambang, anda bisa melihat dan mengakses perkembangan kerja-kerja organisasi kami di sini:htttp:www://jatamsulteng.or.id
  • [2] Lihat:Mercusuar edisi, 23 Mei 2010
  • [3] Lihat:Andika, Save Tahura Conservasy Area, Jatam Sulteng 2011. Lihat juga Seputar Rakyat edisi 3 2010 Yayasan Tanah Merdeka
  • [4] Pembagian kerja dan penetrasi kapital jelas sekali dalam hubungan produksi yang terbangun dalam tambang Poboya. Lihat:Seputar Rakyat edsi 3 tahun 2010 Yayasan Tanah Merdeka
  • [5] Lihat: Harian Mercusuar, edisi 23 Mei 2010.
  • [6] Lihat:Wilianita Selviana, Walhi Sulteng 2010
  • [i] Di Kalimantan Timur, protes juga dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi Kaltim). Mereka menolak rencana penambahan produksi batu bara Kaltim Prima Coal. Perusahaan dari Group Bumi Resources ini hendak menambah produksinya dari 48 juta metrix ton batubara menjadi 70 juta metrix ton. Hal itu dianggap sebagai beban tambahan bagi lingkungan hidup di Kalimantan Timur[i]. Fakta-fakta diatas menunjukan bahwa tidak ada ruang sejahtera rakyat dalam corak produksi kapital ekstraktif seperti Bumi Resources.

Tinggalkan Komentar Anda :