JIKA MODAL BERKUASA, RAKYAT PUN TERABAIKAN: KASUS PERTAMBANGAN DI MOROWALI

Kesalahan utama kebijakan dan orientasi pertambangan di Indonesia bermula dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing—yang diikuti penandatanganan Kontrak Karya (KK) generasi I antara pemerintah Indonesia dengan Freeprt McMoran. Disusul dengan Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Chalid Muhammad, 2000).

Setahun kemudian, pemerintah Indonesia kembali membuat Kontrak Karya (KK), dengan PT. Internasional Nikel Indonesia (Inco), pada tanggal 27 Juli 1968. Saat itu pula, PT Inco menguasai lahan mencapai 190.000 hektar. Penguasaan lahan itu tersebar di tiga provinsi, diantaranya: Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Untuk di Sulawesi Tengah terbagi atas dua blok, diantaranya blok Bahodopi dan blok Kolonodale dengan luas areal penguasaan mencapai 36.365,36 hektar. Kontrak Karya (KK) PT. Inco telah diperpanjang sejak tahun 1996 hingga 30 tahun ke depan: tahun 2025 (Andika, 2012).

Andika, (2012) dalam tulisannya “Konflik Ruang Ekstraktif di Morowali” mencatat, bahwa pada tahun 2011, perubahan komposisi saham perseroan dikuasai oleh PT Vale, Brazil. Yang menguasai lebih dari 50%. Perusahaan itu terkenal sebagai produsen besi terkemuka di dunia, dan selebihnya 20% sahamnya dikuasai oleh Sumitomo Metal Mining Co., Ltd Jepang, yang juga merupakan perusahaan tambang dan peleburan yang utama di dunia. Disamping itu, 20% saham PT. Inco dimiliki oleh pemegang saham publik.

Namun, berdasarkan Berita Acara peninjauan lapangan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Morowali, pada tanggal 15 Desember 2009, telah ditemukan fakta, bahwa PT. Inco yang sekarang telah berganti nama menjadi PT. Vale Indonesia, adalah sebagai berikut;

Pertama, seluruh kegiatan yang dilakukan oleh PT. Inco atau sekarang PT. Vale Indonesia, berada dalam kawasan hutan dengan fungsi kawasan sebagai hutan lindung; kedua, kegiatan tersebut dilakukan di blok Zeba-zeba, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, dengan rincian, sebagai berikut: (a) Pembukaan jalan (Main Road) di kawasan hutan lindung sepanjang 28 kilometer; (b) pembuatan jaringan pengelolaan limbah cair; (c) pembuatan tempat penampungan tanah hasil tes pit (stok file); (d) pembuatan base camp dan infrastruktur lainnya; ketiga, pada areal penambangan tersebut, telah terjadi penebangan tegakan kayu; keempat, seluruh aktivitas PT Inco yang sekarang PT. Vale Indonesia tersebut, sama sekali tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian Kehutanan.

Jelas, bahwa aktifitas PT. Vale Indonesia inklut secara keseluruhan lahan yang masuk dalam kontrak karya PT. Inco, sehingga semua sebab-sebab hukum yang ditimbulkan oleh perusahaan sebelumnya harus menjadi tanggung jawab PT. Vale Indonesia.

Jika perusahaan tambang sudah melakukan operasional, namun belum memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, jelas itu sudah melanggar pidana. Polisi harus memproses secara hukum atas tindak pidana itu.

Berdasarkan Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan bahwa “setiap orang dilarang melakukan eksplorasi terhadap hutan sebelum mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang yaitu Menteri Kehutanan.”

Berdasarkan hal itu, seharusnya, Direktur perusahaan tersebut dijatuhkan sangsi sebagaimana yang diatur dalam pasal 78 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Selain itu masyarakat Morowali juga, telah melaporkan aktivitas PT. Vale Indonesia (Inco) kepada pihak Kepolisian Resort Morowali sejak tahun 2011. Namun sangat disayangkan, tindak pidana kehutanan yang dilakukan perusahaan tambang tersebut hingga saat ini tidak pernah diproses secara serius. Ini bukti, bahwa negara ada kongkalingkong dengan pemodal.

Bukan hanya itu, perusahaan tambang tersebut sama sekali tidak memberikan kontribusi signifikan kepada Negara. Keuntungan yang melimpah setiap saat di publikasi kepada rakyat itu hanya masuk ke kantong-kantong segelintir orang: pemilik investasi. Sedangkan Negara terus mengalami kerugian di tengah keuntungan yang diperoleh PT. Vale Indonesia. Selanjutnya, penguasaan sepenuhnya dalam kontrol kapital asing dan bertentangan dengan semangat pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

Penguasaan Tanah Perusahaan Tambang, Diduga Ilegal

Dua perusahaan tambang raksasa, yakni PT. Rio Tinto dan PT. Inco, yang mendapatkan restu dari pemerintah pusat pada tahun 1968. Saat itu pula, Kabupaten Morowali telah menjadi salah satu penyumbang wacana awal aktivitas produksi nikel di Sulawesi Tengah. Kedua perusahaan raksasa tambang internasional itu berekspansi secara serius di Sulawesi Tengah pasca gejolak politik 1965 (Andika, 2012).

Kini, di Kabupaten Morowali memasuki babak baru. Setelah pengusaha-pengusaha—kapital berkebangsaan China terlibat. Diawali sejak tahun 2008, dari rezim Kuasa Pertambangan (KP). Dimana, otoritas daerah diberikan keleluasaan untuk menerbitkan KP sebagai implementasi nyata dari konsep Otonomi Daerah (OTDA). Moment besar itu bertemu dengan terbitnya regulasi baru pertambangan yakni, UU No 4 tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara yang isinya memberikan otoritas penuh kepada Bupati setiap daerah untuk mengeluarkan perizinan tambang (Andika, 2012).

Hasilnya? berdasarkan fakta, bahwa jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah memenuhi kategori Clear and Clean (CNC) sebanyak 177 IUP dengan total areal penguasaan 600.089 hektar. Tentunya, jumlah penguasaan demikian sangatlah fantastic. Mengingat Kabupaten Morowali, berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduknya mencapai 206.189 jiwa, yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Dengan adanya IUP yang masuk dalam kategori CNC, yang diumumkan pemerintah daerah itu, adalah bentuk pembohongan publik. Mengapa? Adalah sebagai berikut:

Pertama: Berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) dijelaskan, jika dalam pemberian IUP kepada pengusaha tambang, seharusnya mengikuti standar yang telah ditetapkan, yaitu penetapan Wilayah Pertambangan (WP) dan Penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), kemudian tahap terakhir adalah pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP). Akan tetapi, apa yang terjadi? Adalah hingga saat ini, Kabupaten Morowali setelah dilakukan penetapan 177 IUP yang masuk dalam kategori CNC tersebut, sama sekali tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh Undang-undang Minerba tersebut. Artinya, kedua syarat dalam menerbitkan IUP yakni WP dan WIUP belum terpenuhi. Namun, pemerintah Daerah Morowali sudah mengeluarkan IUP ke beberapa investor tambang.

Kedua: bahwa di atas lahan Kontrak Karya juga ditemukan 43 IUP yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten. Hal itu menandakan, bahwa kebijakan pemerintah Kabupaten Morowali telah tumpang tindih dengan keputusan pemerintah pusat. Artinya, di sana ada tumpang tindih. Apakah itu wajar disebut CNC?

Ketiga: aktivitas pertambangan terbanyak berada di wilayah hutan. Tidak kurang dari 5 IUP yang sedang melakukan aktifitas produksi di dalam kawasan hutan, yang hingga saat ini belum memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan dari Kementerian Kehutanan. Anehnya, kegiatan tersebut terus dibiarkan oleh aparat penegak hukum. Keempat: aktifitas eksploitasi juga berada di atas lahan perkebunan yang telah lama dikuasai oleh masyarakat.

Selain itu, aktifitas industri ekstraktif pertambangan juga ikut berperan dalam menimbulkan ketegangan di antara masyarakat itu sendiri, juga bias paling dahsyat adalah pencemaran sumber air yang berimplikasi pada gangguan kesehatan masyarakat di wilayah Ganda-ganda dan Petasia, serta memerahnya laut akibat pengangkutan ore nikel yang dilakukan oleh perusahaan dari dermaga/pelabuhan ke kapal induk pengangkutan.

Kerugian Negara Pun Melimpah

Di Blok Bahodopi tersebut, telah terjadi pengangkutan ore nikel secara ilegal. Ada empat perusahaan tambang ilegal yang mengangkut ore nikel dari blok Bahodopi, antara lain:

Pertama, PT Citra Mandiri Putra Perkasa (CMPP) mengangkut ore nikel dua kali dalam sebulan; kedua, CV. Tridaya, mengangkut ore nikel tiga kali dalam sebulan; ketiga, PT Bintang Delapan Mineral (BDM) mengangkut ore nikel empat kali dalam sebulan; keempat PT Han Pang mengangkut ore nikel empat kali dalam sebulan.

Keempat perusahaan tambang ilegal tersebut mengangkut ore nikel, sebanyak 13 kali dalam sebulan. Yang rata-rata, sekali mengangkut memuat sebanyak 50.000 matrik ton. Maka, jika dikalkulasikan keseluruhnya mencapai 650.000 matrik ton per bulannya ore nikel itu diangkut secara illegal yang merugikan negara mencapai US$ 813.8000.

Jika pengangkutan itu sudah dilakukan selama berbulan-bulan, maka berapa potensi kerugian negara? Itupun ditemukan fakta hanya pada blok Bahodopi. Bagaimana jika se Kabuaten Morowali di lakukan pengangkutan illegal itu? Atas pengangkutan illegal itu, di duga ada kongkalingkong antara Pemda Morowali dan investor tambang.

Jika demikian, telah jelas-jelas melanggar UU Mineral dan Batubara (Minerba) nomor 4 tahun 2009. Sebab, perusahaan tambang itu tidak memenuhi prosedural dari Undang-undang Minerba, yang disebut Clear and Clean, kemudian sudah berani melakukan tindakan pengangkutan. Jika dibiarkan terus dilakukan, maka akan merugikan negara berjuta kali lipat dari sebelumnya.

Ini namanya pencurian. Meskipun sudah ada Izin Usaha Pertambangan (IUP), namun IUP yang dikeluarkan Pemerintah Daerah Morowali tidak prosedural berdasarkan UU Minerba. Harus di ungkap semua. Dengan demikian, jelaslah pengangkutan ore nikel secara ilegal itu adalah melanggar regulasi yang ada.

Disisi lain, Morowali yang kaya akan sumber daya alam itu, hanya mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 670 juta rupiah pada tahun 2010. Yang berarti kerugian Negara begitu melimpah. Belum lagi terhitung atas kerusakan hutan, dan akibat-akibat lainnya.

Rakyat Pun Sengsara

Watak utama industry ekstraktif pertambangan adalah mengejar keuntungan tanpa memperhatikan dampak negative yang ditimbulkan. Sebagai akibat, rakyat yang tinggal di sekitar ekspansi pertambangan menerima residu dari aktifitas itu: adalah kesengsaraan.

Tanpa kepedulian terhadap ekologi. Zona penyangga pun dimusnahkan secara massal. Kesengsaraan itu dimulai dari Banjir yang terjadi pada tahun 2011. Banjir yang melanda: Desa Bahodopi, Keurea, Fatufia, Trans Makarti, dan Bahomakmur telah mengakibatkan putusnya jalan menuju kantor camat, SLTP, dan SMU. Bukan hanya itu, sekitar 100 lebih rumah ikut terendam banjir, 20 hektar sawah juga ikut terendam.

Selanjutnya, pada pertengahan tahun 2013 lalu, banjir kembali melanda Morowali,mengakibatkan sebuah Jembatan Rangka Baja Ipi Satu ambruk, puluhan rumah terendam, aktifitas perekonomian lumpuh, dan bahkan merenggut jiwa. Sehingga, mengakibatkan kerugian sekitar 12 milyar.

Banjir yang setiap tahun melanda Morowali adalah bentuk dari keserakahan indusri ekstraktif pertambangan dan perkebunan kelapa Sawit yang merambah kawasan hutan. Hutan-hutan di bagian hulu hampir habis di babat. Sementara, kegiatan itu banyak yang illegal.

Jika rakyat terus berdiam dengan kondisi yang semakin terpuruk, maka tak ada satu “pengobat” dari negara yang bisa diharapkan. Semua bisa dipastikan “bersekongkol” dengan pemodal. Itulah sebabnya, rakyat harus bersatu untuk menghentikan industry pertambangan itu, sebab dengan kekuatan rakyat, maka segala resiko dikemudian hari dapat dihindari.

Penulis: Etal Douw dan Fhay Hadi.

Tinggalkan Komentar Anda :