Hasil Sidang Rakyat: Indonesia Timur Tolak Implementasi UU Minerba

Pegiat JATAM Sulteng, Moh Taufik, meminta pemerintah dan DPR membatalkan Undang-Undang Pengelolaan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Pembatalan UU itu dinilai penting untuk menyelamatkan nyawa masyarakat yang bermukim di sekitar tambang.

“Pengesahan UU Minerba akan mempercepat laju kerusakan lingkungan hidup, mempercepat pengusiran rakyat dari ruang produksi,” kata Taufik dalam Sidang Rakyat secara virtual, Sabtu (30/5).

Dia mengatakan, masyarakat kawasan Indonesia Timur menolak implementasi UU Minerba. Produk hukum tersebut dinilai lebih banyak memberikan dampak buruk, tidak hanya bagi lingkungan hidup tetapi juga ruang produksi dan kehidupan sosial mereka.

Masyarakat Indonesia bagian timur yang tinggal di wilayah pertambangan dan area PLTU batu bara mulai dari Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, hingga Papua merasakan dampak buruk dari aktivitas pertambangan.

Taufik menjelaska, beberapa waktu belakangan, pemerintah gencar mempromosikan kawasan timur Indonesia kepada investor, baik asing maupun lokal. Promosi itu agar para investor mau menanam modal di kawasan tersebut dengan harapan lapangan kerja baru tercipta dan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut meningkat.

Namun, kata Taufik, yang terjadi justru sebaliknya. Kepentingan masyarakat diabaikan dan kerusakan lingkungan terus terjadi. Lebih miris lagi, pendapatan daerah yang lahannya dikeruk oleh para investor kakap tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan.

“Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.  Hal ini diperkirakan akan semakin parah dengan disahkannya UU Minerba 2020 karena produk hukum ini membuat para pengusaha lebih leluasa melakukan ekspansi bisnisnya,” ucap dia.

Alsis Goa, warga Nusa Tenggara Timur (NTT), mengatakan, sejumlah lahan pertanian habis dicaplok untuk kepentingan investasi pertambangan. Keseimbangan ekosistem tanah, hutan, dan air rusak akibat penanaman modal tersebut. Padahal, NTT adalah wilayah agraris yang mayoritas penduduknya hidup melalui bercocok tanam.

Hal itu diperparah dengan tindakan intimidasi dari para pengusaha kepada warga agar masyarakat mau menyerahkan lahan mereka untuk dikonversi menjadi area penambangan.

“Ironis, masyarakat NTT adalah masyarakat agraris, butuh lahan pertanian, sekarang dicaplok untuk kepentingan investasi pertambangan. Warga didesak untuk setuju (memberikan izin pengembangan lahan), (mereka) diancam, diintimidasi oleh pihak-pihak tertentu termasuk pihak keamanan,” ucap Alsis Goa sekaligus direktur  JPIC-OFM.

Sementara di Sulawesi Tengah, pembangunan PLTU yang dikelola oleh PT Pusaka Jaya Palu Power (PJPP) membuat warga sekitar mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Berdasarkan keterangan Arzad Hasan, warga Mpanau Kecamatan Palu Utara yang mengutip data Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) setempat, sekitar 60% penduduk di area PLTU terjangkit ISPA pada saat PJPP mengoperasikan PLTU unit 3 dan 4 pada 2015.

Warga Bali, terkhusus yang tinggal di Desa Celukan Bawang pun mengeluhkan bahwa PLTU yang berdiri di kawasan tersebut telah merusak ekosistem darat dan laut. Akibat limbah yang dihasilkan, lahan-lahan perkebunan tidak bisa panen secara maksimal dan tangkapan hasil laut pun menurun.

Sama halnya seperti yang terjadi di Papua, limbah dari perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat, PT Freeport Indonesia, telah membabat habis ekosistem di wilayah pesisir. Bahkan lima sungai lenyap akibat pembuangan limbah perusahaan tambang emas dan perak tersebut. (SD)

Sumber : https://indonesiainside.id/news/nasional/2020/05/30/hasil-sidang-rakyat-indonesia-timur-tolak-implementasi-uu-minerba

Edisi : 30 Mei 2020

Tinggalkan Komentar Anda :