CATATAN LAPANGAN: DARI PERLAWANAN PODI HINGGA NIKEL MOROWALI SEBUAH ANOMALI PEMBANGUNAN

Jumat, 28 Juni 2013 hingga sekarang, polisi telah memasang Police Line (garis pembatas polisi) di lokasi tambang PT Arthaindo Jaya Abadi (AJA). Perusahaan itu dianggap tidak memiliki dokumen izin yang lengkap, termasuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian Kehutanan. Jika memang tak memiliki IPPKH, maka kepolisian wajib mengusut tuntas tindak pidana kehutanan tersebut, sesuai dengan UU nomor 41 tahun 1999.

Selain itu, beberapa bagian warga mempersoalkan perusahaan PT AJA, yang selama ini belum melunasi lahan-lahan masyarakat. Sementara, sebagian warga lainnya melihat, seharusnya perusahaan tidak beroperasi di kawasan hutan, karena Desa Podi dianggap sebagai daerah rawan banjir dan longsor.

Bagi warga Podi, pengalaman banjir beberapa tahun silam bisa menjadi pengalaman berharga. Saat itu, belum ada aktivitas pertambangan ketika terjadi banjir yang mengakibatkan putusnya jalan Trans Sulawesi. Lebih dari satu bulan, jalur transportasi yang menghubungkan kota-kota di Sulawesi Tengah itu lumpuh total. Alasan itulah, bagi warga Podi cukup jadi pengalaman untuk melakukan aksi menutup pertambangan tersebut.

Pada hari Jumat, 26 Juli 2013, rombongan massa yang terdiri dari masyarakat Podi melakukan aksi penutupan lokasi tambang PT Artha Indo Jaya Abadi. Saat aksi berlangsung, tak ada gejolak yang terjadi ataupun perlawanan dari pihak manapun. Perjuangan ini juga mendapat simpati dari para buruh. Sebab kondisi terakhir, perusahaan tersebut belum juga membayar gaji buruh. Mereka tidak menerima gaji sepersen pun, yang sudah berlangsung sekitar 3 bulan.

Tetapi menjelang lebaran, beberapa hari sesudah aksi penutupan pertambangan tersebut Muli, Kepala Desa setempat tiba-tiba mendapat panggilan dari Polisi. Hanya dalam seminggu, sebanyak dua kali Kepala Desa Podi itu dipanggil kepolisian. Warga Podi bertanya-tanya, ada apa sebenarnya sehingga terjadi pemanggilan pada kepala Desa mereka?

Selanjutnya, pada tanggal 03 Agustus 2013, Kepolisian Sektor Tojo kembali melakukan panggilan terhadap beberapa orang petani dan nelayan Desa Podi, yang ikut dalam aksi penutupan akses perusahaan tambang PT AJA. Pemanggilan itu didasari dengan nomor surat: Satu laporan. Polisi: LP B/22/VIII/2013/Sulteng/Res Touna, Tanggal 02 Agustus 2013. Untuk pemeriksaan sebagai saksi dalam perkara penyerobotan tanah sesuai dengan Pasal 167 Ayat (1) jo 55 Ayat 1 KUHP.

Surat panggilan ini ditujukan kepada 6 orang petani yang bernama: Laif Labate, Lukman Dawala, Ayub Lamajido, Yamin Nuku, Marten, dan Obi.”

Dengan dasar tersebut di atas, maka pihak Kepolisian Tojo sangat jelas berpihak kepada perusahaan tambang PT AJA. Sedangkan para petani dan nelayan sebagai tumbal dari legitimasi pemerintah atas perusahaan. Padahal, petani dan nelayan Podi hanya meminta pihak perusahaan, untuk tidak beraktivitas atau beroperasi di areal tersebut, karena daerah itu rawan banjir dan longsor. Selain itu, pihak PT AJA juga belum menyelesaikan pembebasan lahan.

Semenjak pemasangan police line oleh pihak kepolisian, PT AJA masih saja melakukan pengerukan bijih besi, yang kemudian tak ada tindakan jelas. Betapa mirisnya negeri ini, perusahaan tambang yang jelas-jelas melanggar, dan membahayakan, justru dibiarkan beroperasi. Sementara, masyarakat Podi yang mati-matian memperjuangkan haknya, di panggil dengan alasan penyerobotan tanah. Lantas, apa maksud pemasangan police line itu?

Dengan demikian, sangat wajar aksi perlawanan Petani dan nelayan Podi—mendesak untuk menghentikan aktifitas PT AJA. Kekhawatiran atas bencana yang melanda seperti di Kabupaten Morowali, yang akhirnya mengalami kerugian besar, adalah benar. Sebab, aktifitas perusahaan pertambangan yang memakai model open pit mining, bukanlah model yang ramah lingkungan.

Menjamurnya Tambang di Morowali

Berbeda dengan di Podi, kondisi pertambangan di Desa Ganda-ganda Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali semakin memprihatinkan. Seorang warga Desa Ganda-ganda, Suparman mengatakan, “Masyarakat di Desa Ganda-ganda, kini telah resah, karena telah terkepung 16 perusahaan tambang nikel, yang kabarnya telah memblokir hampir keseluruhan wilayah Kecamatan Petasia. Dan, sekitar delapan perusahaan sudah melakukan pengapalan di teluk Lombolo, Desa Ganda-ganda—di mana, tiga kapal tongkang memuat puluhan ribu ton ore. Kapal itu berlabu di teluk Lombolo untuk mengangkut ore dari Desa Ganda-ganda.”

Suparman menambahkan, “Jika berbicara tentang pendapatan daerah dari hasil tambang, hasilnya pun tak seberapa. Apalagi demi kesejahteraan masyarakat: nihil!”

Sekarang, lahan-lahan masyarakat Desa Ganda-ganda, hingga pada kawasan hutan, telah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan tambang nikel. Yang kemudian berimplikasi pada ruang hidup rakyat. Masyarakat sudah tak mempunyai ruang untuk mencari hidup—apabila perusahaan tambang memporak-porandakan hutan, dan laut yang dicemari.

“Kalau kita melihat dari teluk Lombolo, maka kita melihat gunung-gunung atau hutan yang berwarna merah dan, kalau kita melihat ke air, kita akan melihat air itu berwarna cream,” ujar Suparman.

Selain berdampak buruk bagi ekologi, Industry ekstraktif demikian, juga telah menimbulkan berbagai macam dampak negatif bagi kehidupan masyarakat Desa Ganda-ganda, karena dalam satu tahun terakhir, sudah terjadi banjir lumpur yang telah memakan korban: satu orang dan ratusan rumah terendam air dan lumpur, tujuh rumah rusak parah, juga berbagai fasilitas umum yang di bangun dari uang rakyat. Operasi produksi itu, baru dilakukan selama setahun. Bagaimana jika perusahaan tambang itu melakukan eksploitasi selama 20 tahun? Bisa di pastikan, Kabupaten Morowali akan tenggelam.

Suparman menambahkan lagi, “Pemerintah Daerah seharusnya mencabut Izin Usaha Pertambangan yang beroperasi di Desa Ganda-ganda, sebelum semuanya akan habis percuma. Dan, Masyarakat Kolonodale harus pindah kemana lagi?” keluh Suparman.

Di Bungku Utara Kabupaten Morowali, hujan deras selama tiga hari berturut-turut telah merendam beberapa desa, diantaranya: Desa Taronggo, Desa Tirongan atas, Desa Tirongan bawah, Desa Kalombang, Desa Pasangke, Desa Tokala atas, Desa Lemesi, Desa Tanah Karaya, Desa Tokean, Desa Lemo.

Dengan demikian, ambisi pemerintah daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), kondisi ekologi dan manusia, sama sekali tak dipertimbangkan. Apalagi industry yang rakus itu; industry pertambangan. Industrialisasi yang di legitimasi pemerintah daerah di Desa-desa merupakan satu anekdot bagi masyarakat. Sebab, sikap demikian hanyalah merusak sendi-sendi baik manusia maupun alam. Bukanlah memperbaiki ekonomi masyarakat. Sudah banyak bukti soal itu!

Sikap anomali pemerintah daerah telah membuktikan, bahwa selama ini pemerintah sangat jarang memberikan peluang kepada rakyat dalam akses ekonomi. Segala kekayaan alam telah di obral kepada para konglomerat. Pun, kerusakan dari eksploitasi sumber daya alam, jarang diperbincangkan di tataran pemerintah.

Jika demikian, rakyat harus berbuat apa?

Oleh: Yuspan
*Penulis adalah, Aktivis Jatam Sulteng

Tinggalkan Komentar Anda :