KEHANCURANMU NYATA, PENYELAMATANMU SURAM DI TANGAN APARAT PENEGAK HUKUM

Sejak Tahun 1936, Raja Banggai telah menetapkan hutan Bakiriang seluas 3.500 Hektar, luas itu kemudian di tetapkan berdasarkan rekomendasi Bupati Banggai pada tahun 1982, dan yang terakhir berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan tahun 1998. Suaka Margasatwa Bakiriang dikategorikan sebagai kawasan lindung nasional dan dikelompokkan dalam suaka alam, pelestarian alam, cagar budaya seluas 12.500 hektar. Letaknya di Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah.

Penetapan Bakiriang sebagai hutan konservasi disebabkan banyak makhluk hidup yang perlu dijaga kelestariannya. Salah satunya adalah burung Maleo.

Burung ini memiliki sejarah cukup dekat dengan kehidupan masyarakat Banggai, sebab dalam ritual adat yang digelar setiap tahunnya pasti menggunakan telur burung Maleo sebagai syarat mutlak pelaksanaan acara adat tersebut.

Dimulai sejak tahun 1525-1550, kerajaan Banggai yang dipimpin oleh seorang Raja yang bijak bernama Adi Soko, putranya bernama Abu Kasim yang menyusul kepergian ayahnya diberi sepasang burung maleo.

Burung maleo pemberian ayahnya dari Kediri di bawah pulang ke Banggai.

Batui sebagai salah satu tempat yang memiliki daratan dan hutan yang luas, ditentukan sebagai tempat berkembangbiaknya burung maleo. Sehingga tidak heran, disepanjang pesisir wilayah Bakiriang beranak pinak burung maleo tersebut.

Upacara “adat tumpe” yang dilaksanakan setiap tahun oleh masyarakat adat Batui sebagai upaya untuk mengirimkan sejumlah telur ke Banggai kepulauan adalah bagian dari cerita yang terus berkembang dikalangan orang tua yang masih percaya dengan adat tumpe. Sebab jika tidak melaksanakan upacara adat tumpe, mereka masih meyakini jika wilayah mereka akan dilanda musibah seperti gagal panen yang berhujung pada kelaparan yang melanda anak cucu mereka.

Adat Dan Keberlangsungan Burung Maleo

Adat tumpe yang dilakukan oleh masyarakat Batui adalah bagian dari mengenang sejarah kehidupan dan silsilah keturunan orang Banggai, sehingga walaupun referensi tertulis tentang cerita kerajaan Banggai sulit ditemukan, tetapi dengan dilakukannya upacara-upacara adat seperti itu, membuat pengetahuan generasi muda pewaris kehidupan akan mudah memahami cerita dibalik perayaan adat tumpe. Selain adat tumpe memiliki makna yang tersirat, pelestarian adat tumpe juga merupakan penting untuk menjaga keselamatan lingkungan hidup. Sebab burung maleo yang menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Batui dan Banggai memiliki kekhususan dalam keberlangsungan kehidupan, sebut saja, kehidupan burung maleo harus jauh dari hiruk pikuk keramaian, selain itu alam yang memiliki tutupan hutan cukup bagus menjadi tempat yang nyaman untuk berkembang biak.

Berdasarkan keputusan Raja Banggai tahun 1936 untuk melestarikan hutan, sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan untuk menjaga agar satwa ini terus berkembangan biak, sebab burung maleo merupakan warisan kerajaan Banggai yang terus di jaga dari kepunah.

Akhir tahun 2013, penulis mengunjungi tempat burung maleo tersebut bertelur, seperti yang disampaikan oleh Arif, tahun 1980-1998, dipesisir laut hingga wilayah Desa Moilong kita akan menjumpai begitu banyak tempat burung tersebut bertelur, tapi ini tempat bertelur burung maleo, akan sangat susah menemukannya lagi dalam jumlah yang banyak. Sehingga upacara adat tumpe yang setiap tahunnya dilaksanakan cukup meria. Kini, upacara tersebut semakin jarang terkenal hingga kepelosot pedesaan, karena jumlah telur burung maleo yang akan dikumpulkan sebagai syarat ritual adat semakin susah di penuhi, hal tersebut disebabkan oleh meluasnya kerusakan suaka margasatwa Bakiriang yang dirusak oleh kepentingan segelintir orang yang ingin menguasai kehidupan.

Kurnia Luwuk Sejati (KLS) Kebal Hukum dan Harus Bertanggung Jawab atas Kehancuran Bakiriang
KLS sebagai perusahaan perkebunan sawit yang memiliki andil besar merusak Suaka Margasatwa Bakiriang, hal ini dibuktikan dengan hasil investigas yang dilakukan oleh Front Rakyat Advokasi Sawit. Di dalam kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang tersebut, terdapat aktifitas PT. KLS, aktifitas ini dilakukan dengan modus menggunakan kesulitan ekonomi masyarakat dengan mendorong agar membuka kebun, setelah itu pihak PT. KLS membelinya dengan menanam sawit. Modus tersebut juga sesuai dengan data yang berada pada Dirjen perlindungan Hutan dan Konservasi Alam BKSDA Sulteng dengan Nomor;5.930/IV.BKSDA.K-26/1/2010 tanggal 13 Oktober 2010.
Selain ditemukan perkebunan sawit milik PT.KLS di dalam SM Bakiriang, juga terdapat dua unit bangunan besar untuk tempat tinggal yang disediakan oleh PT. KLS, dari total 562 Hektar yang telah dirambah untuk perkebunan sawit, hingga kini perluasan perkebunan masih akan ditemui dilapangan.

Akibat penegak hukum tidak serius menyelamatkan Bakiriang, beberapa oknum masyarakat juga mulai membuka lahan untuk kebutuhan kebun, hal ini akan menambah deretan perluasan kerusakan suaka margasatwa Bakiriang, selai itu juga akan membuat kepunahan burung maleo sebagai kebanggaan yang dimiliki oleh orang Banggai.

Adalah Murad Husain sebagai pemilik PT KLS, penguasa swasta ini sangat lihai dalam memainkan peran kehancuran terhadap hutan di Kabupaten Banggai, berdasarkan hasil investigasi Fron Rakyat Advokasi Sawit Sulteng, Murad Husain memiliki banyak sekali masalah yang berkaitan langsung dengan penegak hukum, lingkungan dan masyarakat selaku korban. Tetapi, sejak tahun 2000 hingga sekarang, BOS PT KLS ini bisa melanggeng bebas meskipun kerusakan hutan konservasi Bakiriang terlihat nyata didepan mata aparat penegak hukum. Lebih miris lagi, sejak laporan FRAS Sulteng 2009, pihak penegak hukum seperti Kapolda saat itu Brigjen Pol.

Amin Saleh dalam pertemuan gelas perkara yang melibatkan polres Banggai, seakan tidak memiliki beban untuk menuntaskan kejahatan terhadap kehutanan yang dilakukan oleh Murad Husain. Hingga kini telah tiga kali pergantian pucuk pimpinan Polda Sulteng, semuanya bungkam di tengah kehancuran Bakiriang yang suatu saat akan meninggalkan pengalaman buruk generasi saat ini dalam penegakkan hukum sektor kehutanan.

Lebih focus untuk penyelamatan Bakiriang, sebenarnya bisa melalui proses penegakkan hukum yang benar yang tidak pandang buluh, selain itu pemerintah daerah melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar Bakiriang dan melakukan rehabilitas kawasan untuk mengembalikan fungsi Bakiriang. Semua itu dilakukan agar adat tumpe juga terus bisa diselamatkan guna melestarikan sejarah masyarakat Banggai.

 

Oleh : Syahrudin Ariestal Douw

Penulis adalah Humas Front Rakyat Advokasi Sawit sulawesi tengah, Direktur Jaringan Advokasi tambang sulawesi Tengah, pegiat Sosial dan pencinta lingkungan.

Sumber: Warta Korupsi (WARKOP). Edisi: Sabtu, 27 September 2014

Tinggalkan Komentar Anda :