Morut_ Masyarakat Desa Tontoea, Morowali Utara mendesak PT Mulia Pacifik Recourse (MPR) segera merealisasi sisa pembayaran ganti rugi lahan seluas 306 hektar yang masuk konsesi IUP perusahaan tambang tersebut.
Menurut warga, tuntutan ini memuncak setelah pihak perusahaan diketahui mulai melakukan eksplorasi lahan yang berbatasan dengan kecamatan Petasia. “Baru eksplorasi saja, air sungai dan danau Tiu sudah merah. Sementara 70 persen masyarakat Petasia Barta bergantung pada hasil penangkapan ikan air tawar,” kata seorang warga Tontoea, saat ditemui Radar Sulteng di kantor desa setempat, Sabtu (26/3)
Di kesempatan itu, masyarakat meminta agar pemerintah desa dan pengurus KBR segera mendesak PT MPR. Bukan karena terdesak ekonomi, namun masyarakat ingin ada kejelasan terkait pengolahan perkebunan mereka. “Cukup lama kita menunggu. Seharusnya pihak perusahaan memberi penjelasan, jadi atau tidak menambang di desa kita,” kata seorang warga lainnya. Tidak hanya soal pembayaran ganti rugi lahan, lanjut warga lainnya, PT MPR juga wajib melaksanakan tahap pra eksplorasi. Hal ini penting mengingat dampak lingkungan dan lainnya yang akan terjadi pasca ekploitasi nanti.
“Perusahaan harus melakukan sosialisasi tentang analisis dampak lingkungan. Kalau nanti akan membahayakan masyarakat di lingkar tambang, sebaiknya kita tolak saja perusahaan itu,” sambung warga yang lain.
Rupanya, beberapa warga Tontoea sebelum pertemuan berlangsung sempat menaruh curiga terhadap Agusman, ketua KBR Takule Indah. Mereka juga menduga ada permainan perusahaan dengan pemerintah desa sehingga pelunasan sisa ganti rugi terus berlarut hingga tiga tahun.
“Warga curiga, itu wajar. Tapi saya bisa membuktikan bahwa saya tidak pernah membuat kesepakatan lain dengan PT MPR selain yang disetujui masyarakat,” ujar Agusman.
Agusman kemudian mengingatkan kembali beberapa poin hasil pertemuan serupa yang terjadi 12013 silam. Setelah pertemuan itu, dia mengaku menemui pihak perusahaan sebanyak sembilan kali untuk membawa hasil keputusan masyarakat yang sepakat lahannya diganti rugi dengan nilai Rp3.500 per meter.
“Saya ke PT MPR ada sembilan kali. Semua proses yang menyengkut persoalan ganti rugi ini saya tandatangan di dokumentasi, termasuk daftar tamu di perusahaan itu. Yang pasti tidak ada yang saya sembunyikan dari anda semua,” tegas Agusman.
Agusman juga menegaskan, sampai saat ini warga menolak tawaran PT MPR yang hanya mau membayar Rp1.750 per meter lahan tersebut. Bahkan bersama pemerintah desa, dia berupaya agar lahan masyarakat yang berbatasan langsung dengan IUP PT MPR juga mendapat ganti rugi dengan nilai yang sama.
“Kami juga memintah lahan warga Tontoea yang berbatasan langsung atau lokasi tempat limbah Ore (bijih nikel) juga harus diganti rugi,” kata Agusman diikuti aplaus tanda setuju dari warga.
Sebelum membubarkan diri, Kapolsek Petasia mengimbau warga agar tetap menjaga keamanan dan ketertiban wilayah.
“jika nanti tidak sepakat dengan nilai ganti rugi lahan, maka tempulah cara yang bijak. Jangan gegabah. Mari jaga Kamtibmas desa kita,” imbau Iptu Dedy Suparman.
Puas mendapat penjelasan dari Agusman, dan menerima saran Kapolsek, warga lalu meminta pemerintah desa segera mengirim hasil kesepakatan tersebut ke PT MPR via surat.
“ingin saya, warga desa bersatu. Jika perusahaan menolak, maka masyarakat juga berhak menolak aktifitas MPR di desa kita,” kata Kades Tontoea Siti Rohmatun, ditemui Radar Sulteng usai pertemuan tersebut.
Siti menembahkan, masyarakatnya juga butuh kepastian dari pihak MPR, mengingat sebelumnya perusahaan yang telah tergabung di PT COR II itu sudah mengeluarkan uang muka pembayaran lahan lebih dari setengah miliar rupiah.
“150 orang pemilik lahan sudah terima panjar. Jadi masalah ini juga perlu diperhatikan. Saya harap PT MPR tidak melulu mengantung persoalan ini’ tandasnya. (ham)
Sumber : Radar Sulteng. Edisi : Senin, 28 Maret 2016