TAMBANG RAMPAS LAHAN PETANI

Seperti hal-nya di daerah-daerah lain, bahwa setiap areal pertambangan dan perkebunan berskala besar, berpotensi perampasan lahan-lahan petani. Wajah yang muram, berpikir bagaimana caranya melepaskan pengaruh dan, mengusir PT. Cahaya Manunggal Abadi (CMA). Hal ini terjadi pada petani di Kecamatan Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala, yang terdiri dari: Desa Malei, Walandano, Kamonji, Rano, Palau dan, Desa Pomolulu.

Lahan pertanian mereka, kini telah dicaplok oleh perusahaan tambang emas, PT Cahaya Manunggal Abadi (CMA), yang diberikan legitimasi oleh Bupati Donggala melalu Izin Usaha Pertambangan (IUP) nomor: 188.45/0288/DESDM/2010, seluas 5.000 Ha.

Kecamatan Balaesang Tanjung yang memiliki wilayah seluas 118,85 km2, dengan mayoritas masyarakatnya adalah petani Cengkeh dan Kelapa. Kini lahan perkebunan yang telah menghidupi sekian keturunan mereka itu, tidak lama lagi akan di obrak-abrik perusahaan tambang emas PT CMA. Menurut pengakuan masyarakat kecamatan Balaesang Tanjung, bahwa mereka dilarang oleh pihak perusahaan berkebun di area PT. CMA. Bahkan pihak perusahaan pernah katakan ke beberapa petani di Desa Malei, “siapa tanam jagung diareal saya?”. Artinya, lahan masyarakat Malei kelola sejak lama itu, adalah bukan milik masyarakat, melainkan milik PT CMA. Sumber-sumber produksi masyarakat, diakui secara sepihak oleh CMA. Padahal warga di kecamatan Balaesang Tanjung, mengelola kebun dan, mendiami wilayah tersebut sejak sebelum Indonesia merdeka.

Begitu pun dengan Danau Rano, yang terdapat di Desa Rano Kecamatan Balaesang Tanjung, masuk dalam konsesi PT. CMA dengan titik koordinat 1190 42’ 48’’ BT, 00 02’ 31,6’’ LU. Danau Rano, yang menjadi kebanggaan masyarakat kecamatan Balaesang Tanjung, sebagai salah satu objek wisata yang menjanjikan, dicaplok. Impian parawisata segera akan sirna jika PT. CMA memaksa untuk masuk Danau Rano, tinggal jadi seonggok cerita pengantar tidur.

Lahan pertambangan PT CMA berada di beberapa desa se Kecamatan Balaesang Tanjung. Desa-desa itu sangat bergantung dengan sumberdaya di wilayah pegunungan Sirunat dan, puncak Datar Tutuk Karama terutama sebagai sumber air minum. Di wilayah tersebut, banyak warga desa diluar Kecamatan Balaesang Tanjung yang menggantungkan hidupnya, yaitu: Desa Lombonga, Labean, Meli, Tambu, Sibualong dan, Sibayu.

Jika dilihat pada titik koordinat: 1190 41’ 51,6” BT, 00 07’ 12” LU, 1190 41’ 54,3” BT, 00 07’ 41” LU dan, 1190 41’ 42” BT, 00 07’ 15,7”, adalah masuk dalam wilayah perkebunan Cengkeh dan kelapa warga yang, selama ini mereka kelola.

Sepertinya penolakan warga Balaesang Tanjung, sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi, alias “harga mati.” Kebijakan pemerintah daerah Donggala, serta ambisi PT. CMA sama sekali bukan kehendak masyarakat atas wilayah pertanian mereka, yang ingin diubah menjadi lahan pertambangan. Apalagi dalam peta konsesi PT. CMA masuk dalam wilayah perkampungan. “ kami selaku masyarakat dalam hal ini melawan pengusaha dan penguasa. Kami bertekad tetap bertahan dan menolak PT. CMA atau perusahaan lainnya. Karena tanah ini adalah tanah kami, bukan tanah PT. CMA,” ungkap warga Balaesang Tanjung.

PT CMA Menabur Konflik diatas “Danau Rano”

Sejak kabar IUP merebak yang dikeluarkan Bupati Donggala, atas PT. Cahaya Manunggal Abadi (CMA), pada tahun 2010, sudah menimbulkan pro-kontra diantara masyarakat Kecamatan Balaesang Tanjung. Padahal, sejak dulu masyarakat Balaesang Tanjung hidup dengan damai, tentram dan, tidak ada konflik kecil maupun besar. Namun, sejak kehadiran PT. CMA di daerah itu, perubahan struktur sosial masyarakat Kecamatan Balaesang berubah drastis. Konflik terjadi dimana-mana, bahkan dalam satu keluarga pun kini telah berselisih.

Pada tanggal 27 Juni 2012, beberapa masyarakat Malei di tahan oleh pihak kepolisian, karena dituduh telah mencuri emas dilahan PT. CMA. Bertepatan dengan itu pula, kepala Desa Malei dijemput oleh puluhan pihak kepolisian. Bahkan penjemputan itu mengepung dan menggeleda rumah Kades Malei. Namun, penjemputan yang katanya untuk dimintai keterangan atas pencurian emas dilahan PT. CMA itu, tidak berhasil. Karena masyarakat kecamatan Balaesang Tanjung mengusir polisi.

Esoknya, hari kamis pagi, masyarakat yang kontra terhadap perusahaan tambang itu, telah memblokir jalan, yang merupakan satu-satunya akses keluar Kecamatan Balaesang Tanjung. Pemblokiran ini dilakukan untuk mencegah masyarakat yang pro terhadap PT CMA, mengikuti seminar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di Kabupaten Donggala oleh PT. CMA. Begitu pun selanjutnya, antara masyarakat dusun I dan dusun II Desa Malei Kecamatan Balaesang Tanjung, saling adu fisik, hanya karena pro-kontra atas perusahaan tambang milik asing itu. Hal ini membuktikan bahwa, dengan hadirnya PT. CMA di kecamatan Balaesang Tanjung, telah menimbulkan dampak negatif , itupun masih dalam tahap eksplorasi, bagaimana dengan tahap eksploitasi?

Anehnya, pihak kepolisian “lepas tangan” atas kejadian itu. Dalam perjanjian perdamaian antara kedua belah pihak (pro-kontra), Polsek Balaesang Tanjung, tidak mau bertanda tangan dalam klausul perjanjian perdamaian itu. Menurut pihak kepolisian, kami ini hanya pihak keamanan, jadi tidak perlu melibatkan kami. Jika ada masalah seperti ini lagi, jangan melapor kepada kami (Polsek) tapi lapor ke Kapolres Donggala. Ada apa dengan pihak Polsek Balaesang Tanjung?

Kewaspadaan dan saling mencurigai sesama masyarakat Balaesang Tanjung, makin menjadi-jadi. Hingga saat ini, situasi di Kecamatan Balaesang Tanjung masih mencekam. Bahkan masyarakat di desa Rano, pada rabu malam, melakukan aksi untuk menurunkan seluruh Dewan Adat Balaesang Tanjung yang telah menyetujui PT CMA masuk di wilayah itu. Hal itu berbuntut penyanderaan beberapa tokoh adat, dan masyarakat meminta agar turun dari jabatan sebagai pengurus adat Balaesang Tanjung.

Dari beberapa catatan diatas menunjukkan, bahwa sejak kehadiran perusahaan tambang PT. Cahaya Manunggal Abadi (CMA), telah berdampak negatif bagi masyarakat Balaesang Tanjung. Seharusnya pemerintah daerah “campur tangan” dalam penyelesaian konflik ini, yang dikhawatirkan bermuara pada konflik besar. Masyarakat juga menginginkan agar pemerintah daerah segera mencabut Izin Usaha Pertambangan, yang telah mengambil alih lahan pertanian mereka.

 

Moh. Rifai M. Hadi

(Manager Pengembangan Jaringan JATAM Sulteng)

Tinggalkan Komentar Anda :