“Gajah berkelahi pelanduk mati di tengah”. Metafora itu sangat cocok di gunakan untuk menggambarkan bagaimana posisi masyarakat Poboya saat ini. Mereka menjadi komunitas lokal yang dijepit oleh munculnya kelas ekonomi baru: para pengusaha tromol dan tengkulak –tengkulak emas : ditambah dengan kehadiran PT Bumi Resources sebagai pemegang saham dalam PT Citra Palu Mineral. Betapa tidak, pemerintah yang kini sedang berniat untuk menggusur atau melakukan penertiban terhadap penambang rakyat hampir dipastikan akan menimbulkan konflik dari para pelaku ekonomi yang berkepentingan di tambang Poboya.Pihak pengusaha tromol yang sudah merasakan nikmatnya mengeruk emas tentu tidak dengan lega hati menerima kebijakan tersebut. Sementara pihak PT Bumi Resources yang merasa mendapat hak pengelolaan tambang tentu akan menempuh segala cara untuk dapat memulai mengelola tambang Poboya.
Tumbuhnya investasi tromol di lokasi tambang emas Kelurahan Poboya Palu, Sulawesi Tengah, dengan nyata telah merubah tipologi sosial produksi masyarakat Poboya secara umum. Mereka telah terseret arus kuasa modal hubungan produksi baru sebagai barisan pekerja, diatas tanah yang dulu sempat dimiliki secara demokratik lokal (komunal Adat). Faktor-faktor seperti ketiadaan modal untuk membeli mesin tromol, kepemilikan tanah, dan acces pengelolaan emas yang berada pada kendali pengusaha telah telah juga ikut merubah pola-pola ekonomi diwilayah ini secara massif.
Sementara, pemerintah yang sesungguhnya diharapkan untuk bisa mengatur pertambangan di Poboya. Justru, berdiri secara berlawanan dibalik kepentingan PT Bumi Resources, sebagai pemegang saham atas kontrak karya PT Citra Palu Mineral. Berbagai issu pun di lempar kepermukaan, salah satunya adalah pencemaran. Kuatnya propaganda media, menimbulkan respon sentimental dari penduduk kota. Anggapan yang timbul adalah, kegiatan orang Poboya merupakan tindakan merusak dan akan berdampak pada masyarakat kota secara luas, utamanya bagi konsumen air.
Issu itu kemudian bergulir dan berkembang menjadi semacam stigmatisasi. Pemerintah kemudian sempat berdalih pada stigmatisasi tersebut untuk mendorong moratorium. Celakanya, Sasaran moratorium bukan untuk mengatur pengelolaan emas Poboya, dalam kerangka kepemilikan rakyat. Tetapi, belakangan ketahuan kalau dibalik seluruh riuh gemuruh pertambangan ini tidak lepas dari “tangan-tangan tidak kentara” Bumi Resources.
Menolak Kontrak Karya (KK) Sebuah perjalanan Panjang
Kapitalisasi emas Poboya dimulai tahun 1997 melalui penandatanganan persetujuan kontrak karya oleh presiden RI. Melalui surat Presiden RI No. B-143/Pres/3/1997 tanggal 7 Maret 1997, PT Citra Palu Mineral resmi menjadi perusahan pemegang KK generasi ke VI, dengan bahan galian utama emas dan mineral ikutannya. Melalui East Kalimantan Coal Pte. Ltd, Rio Tinto menguasai 90 persen saham PT Citra Palu Mineral. Saham sisa sebanyak 10 persen dimiliki oleh PT Arlia Karyamaska. KK PT Citra Palu Mineral seluas 561.050 hektar membentang dari Kabupaten Buol, Tolitoli Donggala,dan Parigi Moutong (Sekarang masuk daerah kabupaten baru mekar, Sigi Biromaru). Ironisnya saat itu, pada peta proyek berjudul ‘Prospek Palu Sulawesi Tengah’ tertulis bahwa lahan yang mereka gunakan berada di dalam Tahura (Taman Hutan Raya), yang merupakan kawasan konservasi sekaligus areal resapan air (Seputar Rakyat, 2003).
Sejak awal, sebetulnya telah banyak terjadi konflik akibat keberadaam PT Citra Palu Mineral, dengan Departemen Kehutanan misalnya, melalui PHPA. Departemen Kehutanan menolak rencana pengeboran uji coba oleh PT Citra Palu Mineral lewat surat No. 682/DJ-VI/ Bidprog/1997. Penolakan ini dilakukaan karena areal tambang PT Citra Palu Mineral tumpang tindih dengan kawasan konservasi Tahura Poboya. Kemudian pada Tanggal 31 Mei 1999 Kepala BKSDA Sulawesi Tengah dengan suratnya No. 87/BKSDA ST-2/1999 menyampaikan laporan atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan PT Citra Palu Mineral. PT Citra Palu Mineral belum mendapatkan ijin dari kehutanan saat melakukan pengeboran di dalam kawasan Tahura pada saat itu. Pengeboran dimulai pada tanggal 3 September 1998 sedangkan ijin dikeluarkan pada 28 september 1998. Pengeboran dilakukan pada 11 lokasi meskipun sebenarnya sudah terdapat sekitar 20 titik pengeboran di dalam kawasan Tahura. PT Citra Palu Mineral sendiri merupakan salah satu dari 22 perusahaan tambang yang paling kontroversial, karena lokasinya berada dalam kawasan lindung (Seputar Rakyat, 2003).
Berbagai proses yang tidak transparan telah dilakukan PT Citra Palu Mineral dalam rencana pertambangannya. Pada tahap eksplorasi, mereka telah ‘menjual’ kontrak karya mereka kepada perusahaan transnasional lainnya, yaitu Newcrest. Kegiatan pertambangan PT Citra Palu Mineral baru disampaikan secara terbuka kepada masyarakat Palu setelah 3 tahun perusahaan melakukan eksplorasi di kawasan tersebut (Seputar Rakyat, 2003).
Tanggal 3 April 2003, Departemen Kehutanan mengeluarkan siaran pers yang berisi Tahura Poboya tidak termasuk kawasan yang direkomendasikan untuk dimasuki industri tambang. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah bahkan tidak memberikan rekomendasi untuk penambangan di Poboya. Gubernur Sulawesi Tengah Prof (Emeretus) Aminuddin Ponulele dikenal paling keras menentang rencana penambangan di Poboya. Sikap keras Aminuddin bahkan sudah disampaikan sejak masih menjabat sebagai Ketua DPRD Tingkat I Sulawesi Tengah. Sebagai pakar ekologi, Aminuddin menganggap penambangan di Poboya akan merusak lingkungan (Lihat, Seputar Rakyat, 2003).
Penolakan juga disuarakan langsung oleh sejumlah tokoh masyarakat yang berada di lingkaran konsesi Kontrak Karya CPM misalnya Adjaliman, Jarewe, Isra, Amlan dan lain-lain. Tokoh-tokoh masyarakat yang getol menyuarakan penolakan terhadap rencana pertambangan di daerah mereka bergabung membentuk Aliansi Kambuno. Aliansi Kambuno adalah alat pemersatu diantara masyarakat lingkar tambang meliputi: Kelurahan Poboya, Kawatuna, Lasoani, Vatutela, dan parigi.
Dalam perkembangannya, PT Bumi Resources membeli saham PT Citra Palu Mineral dari PT NewCress dengan komposisi kepemilikan saham 99,9 %. PT Bumi Resources adalah salah satu perusahaan skala Trans Nasional Coorperation milik Abu Rizal Bakrie yang juga pejabat menteri rezim SBY-JK (sekarang Ketua Umum Golkar terpilih periode 2009-2014). Laporan kepemilikan saham tanggal 31 Desember tahun 2007 menyebut bahwa PT Bumi Resources Resources merupakan aliansi modal dari sejumlah perusahaan raksasa yakni PT Samuel Sekuritas Indonesia 3.69%, JPMorgan Chase Bank Na Re Nominees Ltd. 1.95%, Bank of New York 1.89% dan PT Bakrie and Brothers Tbk 14.28%, serta Jupiter Asia No. 1 Pte. LTD 4.30%.
Rakyat Mencari Pemerintah
Tambang produksi rakyat di Poboya merupakan kasus pertama Sulawesi Tengah yang menggunakan mesin tromol, sebagai alat pendukung produktifitas hasil tambang emas secara besar-besaran. Yang direspon masyarakat secara antusias yang dibuktikan dengan adanya keterlibatan sekitar 200-an pemuda masyarakat Poboya (Walhi 2009) pada awal-awal ide ini dipraktekkan.
Mononjol, argumentasi rakyat setempat pun terbentuk. Tambang emas Poboya diasumsikan secara tradisional berhasil menekan jumlah pengangguran di sekitar wilayah Poboya. Karena para pemuda yang biasanya mengganggur, kini banyak menghabiskan waktu dan tenaganya untuk bekerja mencari butiran emas. Jenis pekerjaan tersebut antara lain menjadi penjaga lubang, teknisi tromol, pemahat batu dan ada pula sebagian yang bekerja sebagai pengangkut hasil galian.
Selain mempertontonkan parade percikan pasir dan batu yang dikerjakan oleh beragam orang, terlihat juga aktivitas yang begitu seirama antara hadirnya pendatang dari berbagai daerah seperti pedagang kain, makanan, maupun jajanan. Rantai perdagangan bahkan telah merebak hingga ke tempat-tempat mesin tromol di Poboya. Para pedagang datang menjajakan aneka makanan dan minuman siap saji kepada para teknisi tromol. Hampir tak terlihat sebuah aktivitas yang sia-sia disana. Semua orang kelihatan begitu menghargai waktu, layaknya masyarakat pekerja dalam era industrialisasi masa kini. Peran-peran mereka sangat berjalan dinamis dengan pembagian kerja yang kelihatan penuh keteraturan.
Sementara itu, sejauh yang dirasakan, keterlibatan pemerintah dalam mengatur pengelolaan tambang tromol tak terlalu menonjol. Harapan itu seakan menjadi asa yang sulit digapai. Ditengah arus keterbatasan, masyarakat hanya bisa menyanyikan suara sendunya melalui demonstrasi. Padahal pada segment krusial seperti inilah, semestinya kehadiran pemerintah dalam penyelamatan asset rakyat dihadapan raksasa kapitalis pertambangan Bumi Resources menjadi keharusan, termasuk mengorbankan individualisme jabatan bagi keselamatan rakyat sekalipun.
Ide-ide yang keluar dari mulut pemerintah tak terlepas dari soal-soal mikro seperti:PAD, legalitas, kartu identitas dan lain-lain. Bahkan saat ini dibawah kendali perusahaan daerah (PD) perdagangan Mercuri, dan Sianida dikontrol melalui satu pintu penjualan. Dan disaat yang sama, pertanggung jawaban pemerintah terhadap nasib mereka masih terus berusaha ditemukan. Diintip melalui kliping-kliping koran, rumor-rumor liar dalam kelompok-kelompok kecil mereka sebagai pemahat gunung bebatuan.
Andika
(Penulis Pernah Menjadi Manager Kampanye dan Riset Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah)