KONFLIK RUANG EKSTRAKTIF DI KABUPATEN MOROWALI

Watak utama dari komodifikasi alam dalam industri pertambangan bersandar pada aneka masalah: perburuhan, perampasan ruang publik, tanah, pencemaran air, udara dan mata rantai ekosistem. Sementara itu, zonafikasi ruang dilakukan tidak saja dalam konteks antara provinsi, tapi hal ini berlaku hingga dalam pertarungan para pemilik modal global. Hal itu diberlakukan untuk menjamin keberlangsungan aktivitas ekstraktif. Dengan demikian, praktek perluasan industri pertambangan senantiasa akan beriringan dengan instrument negara yang menjamin secara hukum setiap agenda perluasan pertambangan.

Henri Lefebvre (1991) dalam bukunya yang berjudul “Production of Space” menyatakan, Interseksi antar-wacana ilmu pengetahuan dengan keinginan untuk mengontrol ruang dapat ditemukan secara konkret dalam abstraksi ekonomi yang berimposisi atau berkedudukan secara sadar dalam logika penciptaan terhadap ruang bagi aprosiasi akumulasi kapital. Pada momen tertentu, ilmu pengetahuan tentang ruang berbalik menjadi sarana bagi praktik kapitalisasi ruang yang didominasi logika atau abstraksi ekonomi. Demikian halnya dalam geografi, ruang alamiah dirasionalisasi dan diabstraksi baik secara imajinasi spasial (seperti peta) maupun secara utilitarian (yang menjadikan tanah sebagai asset kapital). Memang tidak secara gamblang produksi ruang ekstraktif diuraikan, namun mengacu pada penjelasan Lefebvre tersebut ekspansi di Kabupaten Morowali dapat terjelaskan.

Pertama, kehadiran Rio Tinto dan PT Inco sejak tahun 1968 hingga kini di Kabupaten Morowali, telah menjadi salah satu penyumbang wacana awal aktivitas produksi ruang ekstraktif tersebut. Kedua perusahaan raksasa tambang internasional ini berekspansi secara serius di Sulawesi Tengah pasca gejolak Politik 1965. Melalui pintu UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Dalam pasal 8 ayat 1 UU itu disebut ”penanaman modal asing dibidang pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan pemerintah atas dasar Kontrak Karya atau bentuk lain sesuai peraturan yang berlaku.” Kedua perusahaan tersebut mendapatkan Kontrak Karya Pertambangan pada generasi ketiga setelah Freeport. Namun Rio Tinto kurang massif dilapangan dan masih lebih berkutat dalam pusaran kampanye dan persiapan awal pra konstruksi. Hanya Inco yang terus memberikan sinyal aktivitas pertambangan di Wilayah Bahodopi Morowali.

Kedua, produksi ruang bagi kebutuhan ekstraktif di Kabupaten Morowali memasuki babak baru setelah pengusaha-pengusaha-kapital- berkebangsaan China terlibat. Diawali sejak tahun 2008, dari rezim Kuasa Pertambangan (KP). Dimana, otoritas daerah diberikan keleluasan untuk menerbitkan KP sebagai implementasi nyata dari konsep otonomi daerah. Momen besar itu bertemu dengan terbitnya regulasi baru pertambangan yakni, UU No 4 tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara yang isinya memberikan otoritas penuh pada Bupati setiap daerah untuk mengeluarkan perizinan tambang.

Sejak dimekarkan pada tahun 1999 hingga kini, Kabupaten Morowali telah menerbitkan izin pertambangan sejumlah 183. Jumlah tersebut merupakan akumulasi dari dua periode penting kepemimpinan dikabupaten itu. Pada periode Datlin Tamalagi, termasuk yang tersubur dalam mengeluarkan izin pertambangan. Tercatat, sedikitnya 120 izin dikeluarkan dari kurang lebih 70 perusahaan yang mencacah diri dalam berbagai nama perusahaan yang berbeda. Kemudian periode Anwar Hafid selanjutnya bertambah menjadi kurang lebih 183 Izin Usaha Pertambangan (IUP). Tetapi dari sekian banyak perusahaan itu, sedikitnya, hingga tahun 2011 hanya kurang lebih 15 perusahaan yang beroperasi dalam pengerukan. Sisanya, hanya menjadi alat jualan para broker tambang.

Ambisi yang mencolok dalam kuasa politik ditingkat lokal yang tercermin melalui Planning pengelolaan sumber daya alam Morowali yang telah diarsir dalam Peta perencanaan resmi hingga tahun 2030, bagai gayung yang tersambut, zonafikasi ruang dilakukan tidak saja dalam konteks antara provinsi, tapi hal ini berlaku hingga dalam pertarungan para pemilik modal global yang didukung platform ke-ruangan resmi yang dikeluarkan pemerintah ambil contoh misalnya, “Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI)”. Dalam nota ekonomi tersebut disebutkan bahwa 22 kegiatan ekonomi berbasisi Sumber Daya Alam (SDA) akan digenjot. Sementara bagi koridor Sulawesi pada umumnya akan terus meningkatkan produksi tambang, terutama nikel. Telah ditetapkan pada tahun 2013 kegiatan pertambangan akan diintegrasikan ditingkat lokal berbasis pengelolaan hilir. Kebijakan ini disahkan melalui perangkat aturan resmi yakni; Peraturan Presiden No 32 Tahun 2011 yang dikeluarkan tanggal 20 Mei 2011.

Secara keseluruhan kebijakan ini merupakan korelasi antara visi pembangunan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2007. Yang merupakan paket implementasi kerjasama pasar bebas lintas negara melalui sejumlah instrumen resmi seperti: G20, ACFTA, FTA, EPA serta sejumlah kerjasama luar negeri lainnya. Untuk mendukung program ini direncanakan akan dibangun sekitar kurang lebih 120 jenis industri (pabrik) yang disokong melalui peran investasi asing.

Aneka macam instrument ruang diatas dibuat untuk mengakomodasi kegiatan Pertambangan kedalam “Penataan Ruang”. Pemerintah menggunakan logika Berdasarkan UU No.41/1999 tentang Kehutanan. Dimana, Pemerintah Pusat berhak menentukan hutan negara dan merencanakan penggunaan hutan, serta hanya perlu memberi perhatian terhadap rencana tata guna lahan yang dibuat berdasarkan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

Sebab, selama ini tambang tidak diproyeksikan dalam kebijakan ruang nasional karena dilatar belakangi oleh terminologi land use dan land cover dalam penataan ruang. Land use (penggunaan lahan) merupakan alokasi lahan berdasarkan fungsinya, seperti permukiman, pertanian, perkebunan, perdagangan, dan sebagainya. Sementara itu, land cover adalah alokasi lahan yang didasarkan pada tutupan lahannya, seperti sawah, semak, lahan terbangun, lahan terbuka, dan sebagainya. Kedua terminolgi ini tidak menyebutkan baik dari segi fungsi maupun alokasi lahan yang bersifat ekstraktif. Artinya pertambangan tidak termasuk ke dalam keduanya, karena kegiatan sektor pertambangan baru dapat berlangsung apabilah ditemukan kandungan potensi mineral di bawah permukaan tanah pada kedalaman tertentu. (Anonimous, Mengatasi Tumpang Tindih antara Lahan Pertambangan dan Kehutanan, 2008).

Dengan demikian, adanya instrument MP3EI telah mendorong perubahan logika dan terminologi keruangan untuk menge-sahkan sektor pertambangan sebagai bagian dari perencanaan ruang. Artinya sektor ekstraktif menjadi item tambahan dalam fungsi dan alokasi lahan. Disaat yang sama instrument tersebut menjadi wacana kiriman dari nasional yang dibuat untuk menekan a-priori publik terhadap “kelakukan,” dan penyimpangan kebijakan pada level daerah, terutama berkaitan dengan fungsi dan alokasi ruang. Ambil contoh, meluasnya kritik terhadap kuantitas IUP yang terbit di Kabupaten Morowali dan daerah lain, dibantah secara kasar melalui proses evaluasi dan re-organisasi kembali perizinan dalam klaim pertambangan baru dengan istilah Clear and Clean. Dari jumlah lebih dari 183 IUP yang terbit di Kabupaten Morowali, hasilnya adalah 77 perusahaan yang masuk kategori diatas. Dengan demikian, ini menunjukan bahwa kebijakan sektor pertambangan telah menjadi pilihan utama yang di-idam-idamkan, baik dileveL pemerintah daerah maupun tingkat nasional.

Begitu pula dengan issu-issu konflik lahan antara pertambangan, lingkungan hidup dan Kehutanan. Agar tidak terkesan ambigu dan saling tabrak kebijakan, presiden SBY mengeluarkan satu instrument untuk menjembatani konflik parsial antara dimensi keruangan ini dengan mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 10 tahun 2011. Yang isinya menegaskan moratorium hutan, atau penghentian sementara aktivitas ekonomi yang masuk dalam kawasan hutan. Paling tidak, semangat jedah hutan yang dimaksud meliputi; 1) penghentian izin baru; 2) penetapan peta indikatif terbaru. Namun tidak dijelaskan secara terperinci tentang penetapan zona ekonomi koridor nikel, dan perluasan kawasan-kawasan ekonomi ekstraktif yang banyak merambah kawasan hutan.

Celakanya, kebijakan baru ini belum juga sempat direalisasikan secara nyata dan konsisten. Presiden SBY kembali mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 28 tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Penambangan Bawah Tanah. Argumentasi dasar pemerintah menerbitkan aturan ini ditengarai dua hal; Pertama, untuk melindungi aktivitas pertambangan yang telah dan akan dilakukan dalam kawasan hutan dari issu moratorium dan REDD (Reducing Emission from Deforestration and Forest Degradation); Kedua, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNB) dari penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan (investasi tambang dan lain-lain) di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan dengan alasan sebagai pengganti lahan kompensasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; Ketiga, Keberadaan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dianggap sebagai instrument yang mempersempit ruang gerak industri pertambangan yang telah dan akan berjalan, menyebabkan penggunaan lahan tumpang tindih sehingga diperlukan instrument hukum sebagai jalan tengah.

Kecelakaan kebijakan semacam ini menjadi arena likuidasi baru terhadap akses rakyat dalam kebijakan ruang, baik ditingkat nasional maupun pada tingkat lokal. Dimana, pada situasi tertentu rakyat (petani-transmigrasi dan masyarakat adat ) yang mencoba meningkatkan tarap ekonominya melalui perluasan sarana pertanian akan berlawanan dengan aparatur negara yang bertugas menjaga zona larangan seperti; hutan lindung, kawasan konservasi, cagar alam, dan taman nasional. Sementara disatu fihak, ruang kelola dan hutan tersier disapu habis oleh klaim ruang industri ekstraktif melalui Peta IUP dan Kontrak Karya atau sejenisnya.

Dengan demikian, prinsip diatas merupakan bangunan besar yang mengandung beberapa hal: Pertama, prinsip neoliberalisme berupa liberalisasi sekaligus privatisasi sumber daya alam (baik yang reneweble maupun non reneweble) berbasis perangkat legal instrument; Kedua, penghancuran dan pemagaran secara privat oleh korporasi terhadap ruang-ruang produksi publik, baik masyarakat adat maupun petani pra–kapitalis melalui percepatan dan perluasan ekonomi melalui pembangunan fasilitas bagi kebutuhan industrialiasi berbasis kapital. Yang dikukuhkan secara serius melalui penerapan jalur koridor eksploitasi nikel di Pulau Sulawesi. Ketiga, kebijakan ini menempatkan negara sebagai pemandu resmi terhadap pertarungan dan ekspansi kapital global.

Bagaimana pun, keberadaan industri ekstraktif kian mengalami perluasan yang signifikan, namun disaat yang sama belum merubah profile buruk pertambangan secara umum di Indonesia khususnya, efek kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat didaerah asal eksploitasi. Justru sebaliknya, ancaman terburuk datang dari ekspansi industri pertambangan.

Perseteruan Global dan Lapangan

Meluasnya areal konsesi pertambangan di Kabupaten Morowali berimbas pada daya dukung ruang bagi produski rakyat. Hal demikian juga berlaku antara perusahaan tambang. Pemerintah Morowali yang efektif menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), disatu pihak, sementara penguasaan areal konsesi pertambangan dipegang secara luas pada korporasi besar yang berbasis Kontrak Karya (KK) sehingga mendorong tumpang tindih lahan.

Ekses konflik ruang diatas dapat dipahami sebagai berikut; Pertama, konflik kepentingan lahan oleh berbagai korporasi terutama seputar Bahodopi. Wilayah ini adalah daerah paling sering diributkan oleh berbagai perusahaan tambang karena selain Rio Tinto dan Inco, terdapat 43 IUP yang diterbitkan oleh Bupati Morowali Anwar Hafid. Empat perusahaan sudah melakukan aktivitas pra konstruksi diantranya: Sulawesi Resources, GSMI, Bintang Delapan Mineral, PT PAN China.

Demikian halnya yang terjadi pada PT Rio Tinto sempat berselisih panjang dengan pihak Pemerintah setempat, akibat Bupati Morowali, Anwar Hafid menerbitkan sejumlah IUP diatas lahan yang diklaim Rio Tinto. Namun belakangan dikabarkan bahwa kedua pihak sudah mencapai kesepakatan. Hal itu disampaikan oleh Staf Ahli Bupati Morowali Christian Rongko mengatakan, Rio Tinto sepakat akan mengganti biaya riil yang telah dikeluarkan pemilik KP ditambah premium yang wajar. Kesepakatan tersebut telah dicapai dalam pertemuan Senin 24 November 2007 yang melibatkakan antara pejabat keempat Pemda di lokasi tambang yakni Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, dan Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, manajemen Rio Tinto, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen ESDM (Okezone, 25 November 2008).

Kondisi diatas tentu sangat berakhir dramatis jika dilihat dari serangan Rio Tinto selama beberapa tahun terakhir. Setelah sebelumnya lahan nikel perencanaan KK yang diklaimnya terbentur oleh IUP PT Bintang Delapan Mineral. Salah satu jalan yang ditempuh perusahaan ini adalah dengan melakukan protes terhadap kebijakan Pemda Morowali yang telah melakukan penerbitan IUP diatas lahan perencanaan Kontrak Karya Mereka. Perkara tumpang tindih lahan ini pula yang telah membakar nafsu tamak Rio Tinto. Menggugat pemerintah Daerah Kabupaten Morowali di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palu pada Juni 2008.

Atas rangkaian konflik itulah menyeret beberapa politisi nasional untuk angkat Bicara. Mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla yang juga mantan Ketua Partai Golkar menyarankan kepada kedua belah pihak: antara Pemda Morowali dengan Rio Tinto untuk membicarakan hal ini dan mencari jalan keluar. Keduanya, oleh Yusuf Kalla diharapkan untuk menjelaskan satu sama lain apakah dimungkinkan pembagian lahan atau ada mekanisme lain (KOMPAS, kamis 21/8 2008).

Respon Yusuf Kalla semacam ini dapat dipahami sebagai tindakan seorang politisi sekaligus seorang pelaku ekonomi nasional (pedagang) yang berkepentingan. Kepentingan besar Yusuf Kalla atas operasi Rio Tinto cukup besar. Itu bisa dilihat dari rencana suplay energi listrik oleh PT Poso Energy dari Sulewana ke kantong-kantong produksi tambang besar di Sulawesi khususnya Morowali dan Sulawesi Tenggara, tempat dimana Rio Tinto akan menancapkan Imperium bisnis terbarunya. Sementara itu, PT Poso energy adalah perusahaan milik keluarga Yusuf Kalla yang di drive (Baca; dikendalikan) oleh adik kandung Yusuf Kalla yakni Halim Kalla.

Pertikaian antara perusahaan-perusahaan tidak saja berlaku pada level internasional, tapi juga berlaku langsung hingga ke lokasi-lokasi pertambangan. Namun karena prinsip keduanya seringkali ketemu dalam negosiasi-negosiasi tertentu misalnya, konsorsium, subtitusi projek, hingga praktek akuisisi dan merger. Sehingga perbedaan itu bukan menjadi konflik yang sifatnya permanen. Hanya saja, dibalik konflik itu, rakyat kerapkali menjadi korban nomor satu. Ambil contoh misalnya, Kasus gugatan PT. Rio Tinto terhadap Bupati Morowali yang mengeluarkan izin pertambangan pada PT. Bintang Delapan Mineral. Yang sekarang publik tidak tahu ujungnya kemana. Belakangan diketahui ada proses penciutan lahan disana.

Kasus lainnya yang marak adalah gugatan Bupati Morowali terhadap PT Inco. Bukan saja ancaman melalui jalur pengadilan, Bupati Morowali juga mengancam Inco dengan memobilisasi protes masyarakat melalui kesatuan kepala desa dan organisasi petani ditingkat lokal. Namun belakangan ketahuan, bahwa dibelakang Bupati Morowali terdapat sejumlah nama perusahaan China, salah satunya adalah PT. PAN China. Akhir dari episode ini, PT Inco mensubtitusi rencana projek pembangunan pabrik feronikel pada PT. PAN China.

Atas berbagai aksi dan protes yang dilancarkan dilapangan sepertinya bukanlah sesuatu yang berarti bagi eksistensi perusahaan ini. Dilaporkan, bahwa saat ini Inco sedang membidik kemungkinan baru untuk mengajukan IUP mengikuti prosedur Undang-Undang nomor 4 Tentang Mineral dan Batubara. Meski telah mendapatkan pembaruan Kontrak Karya pada tahun 1996, tapi pihak Inco menilai Undang-undang baru akan memberikan keleluasaan pada korporasi sekaligus dapat menjadi alasan untuk menunda pembangunan pabrik, sebagaimana yang dituntut oleh Pemerintah Kabupaten dan masyarakat Morowali (Lihat, Laporan Tahunan Inco tahun 2010). Pertimbangan itu sejalan dengan dugaan banyak pemerhati, bahwa UU minerba akan mengembalikan status monopoli dalam pertambangan oleh karena prasyarat operasi produksi pertambangan meskilah ditunjang dengan fasilitas pengelolaan hilir termasuk pabrik feronikel. Sementara jika dilihat dari nilai modal dalam pembangunan pabrik mustahil bagi korporasi lokal dapat melakukannya, sebab angka yang harus diregoh dari kantong setiap pemilik IUP dapat mencapai miliaran rupiah. Dengan demikian, keberadaan UU minerba berhasil melikuidasi perusahaan –perusahaan yang bermodal kecil dari arena kompetisi industri pertambangan.

Sementara itu, persaingan antara perusahaan kerapkali memanfaatkan penduduk setempat secara kasar. Mereka memobilisasi kekuatan masyarakat sekitar tambang untuk melakukan penolakan dengan janji CSR, Comdev, dan macam-macam fasilitas lips service yang tinggi. Kasus itu terlihat jelas dalam konflik lahan di Desa Tangofa, Kecamatan Bungku Selatan, dimana kebun masyarakat diperebutkan sebagai lokasi tambang nikel antara PT. Total Prima Indonesia (TPI) dengan PT Heng Jaya Mineralindo (HJM). Kasus ini bermula dari pembangunan infrastruktur jalan Hauling oleh PT TPI. PT HJM mengklaim bahwa lokasi itu milik mereka berdasarkan keputusan Bupati Morowali Nomor:540-2/SK.003/DESDM/XII/2009, sebaliknya, PT TPI mengacu pada Keputusan Bupati Morowali Nomor: 540-2/SK.001/DESDM/III/2011 tentang persetujuan Revisi Kuasa Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi, tanggal 10 maret 2011. Kedua perusahan itu masing-masing mengantongi lahan: PT HJM, 6776 hektare dan PT TPI seluas 1511 hektare. Namun bukti kuat dimiliki oleh PT HJM berdasarkan peta titik koordinat sementara PT TPI tidak ada (Bungku Pos, edisi xxxx/April tahun V 2011).

Oleh karena, ganti rugi lahan tidak juga direalisasikan dari PT HJM akhirnya moment ini digunakan PT TPI untuk mendorong mobilisasi massa agar mendukung perusahaan itu. Terbukti, sebagian masyarakat dari tiga desa yakni: Desa Tangofa, Desa Oneete, dan Desa Tandaole. Pada 18 April 2011, masyarakat tiga desa tersebut dibawah pimpinan Akrif Peohoa mantan aktivis pergerakan Morowali yang juga bertindak langsung sebagai Publik Relations PT TPI, melakukan demonstrasi di depan Kantor Bupati Morowali. Para demonstran itu mendesak Pemda Morowali segera mencabut izin PT. HJM dengan berbagai alasan, misalnya kerusakan lingkungan, perampasan tanah, dan ingkat janji(Bungku pos, edisi xxxx/April tahun V 2011).

PT TPI memanfaatkan keterikatan ganti rugi tanah sebagai media untuk menghalau secepat mungkin PT HJM dari lokasi tambang. Mereka menjanjikan ganti rugi lahan sebesar 2000 rupiah per meter dan tanaman 150 rupiah per pohon. Sementara realisasi dana Community Development (CD) masyarakat dijanjikan sebesar 5000 rupiah per-metriks ton dengan pembagian 2000 rupiah untuk masyarakat dan 3000 untuk pembangunan. Disaat yang sama, konflik kedua perusahaan ini melahirkan dua kubu yang berkembang di masyarakat, sebagian masih mendukung PT HJM dan sebagian lain lagi mendukung PT TPI.

Demikian halnya yang terjadi dengan kasus PT General Sumber Mining Indonesia (GSMI), anak perusahaan Aneka Tambang yang telah beroperasi sembilan bulan di Kecamatan Petasia, Kabupaten Morowali. Perusahaan ini melakukan penimbunan landasan pelabuhan ditengah-tengah pemukiman Desa Ganda-Ganda yang membuat puluhan nelayan tidak dapat menikmati hasil usahanya. Selain itu, ijin perusahaan ini diduga kuat Ilegal. sebelumnya lokasi ini juga tumpang tindih dengan perusahaan tambang lokal yang tidak sempat beroperasi.

Secara keseluruhan ada tiga desa dan satu kelurahan yang terkenai dampaknya, namun hanya Desa Ganda-Ganda dan Kelurahaan Bahoue yang terkonsolidasi menuntut dengan cara aksi massa. Mereka mendatangi lokasi perusahaan dan melakukan pendudukan dengan memasang tenda menghalangi aktivitas perusahaan. Proses konsolidasi yang dilakukan kurang lebih lima hari berhasil membuat perusahaan ini hengkang dari lokasi tersebut. Tetapi hanya berselang dua minggu, tepatnya April 2011, PT Mulia Pacific Resources (MPR) anak perusahaan PT Omega Central Resources menggantikan PT GSMI dengan cara mengcopy paste syarat-syarat tekhnis pertambangan, seperti AMDAL. Yang diketahui bahwa memang sebelumnya diatas lokasi tersebut bertumpuk banyak sekali IUP, dengan perusahaan yang berbeda-beda. Sementara, PT GSMI harus pindah mencari lokasi ditempat lain. Menurut kabar, Bupati Anwar Hafid telah menyediakan lahan di seputar Bahodopi sebagai gantinya. Lahan itu kemungkinan besar diatas lahan klaim KK PT INCO yang inklud dalam 42 IUP lainnya.

Kedua, eskalasi konflik lahan diatas berakibat pada meningkatnya pragmatisme masyarakat. Orientasi perjuangan dan protes-protes yang dilancarkan terhadap perusahaan tambang seringkali dibelokkan dengan kepentingan individual, atau kelompok tertentu yang secara kasar dinilai melalui uang. Sehingga hal itu berdampak ada aneka macam tuntutan mereka; ada yang semula tanahnya ingin dikembalikan, dan ada pula yang terjebak dengan pragmatisme tanah.

Pragmatisme tanah berkembang sejak trand ganti rugi tanah diperkenalkan oleh PT Hoffmen tahun 2008-2009, salah satu pemilik IUP. Selanjutnya, eskalasi proses transaksi tanah pun meluas kedaerah tetangganya yang sedang diincar oleh investor tambang. Kondisi ini tak bisa tereelakkan setelah Pemerintah Kabupaten Morowali melalui Bupati Anwar Hafid menerbitkan Surat Kepemilikan Tanah (SKT) yang disusul oleh otoritas pihak kecamatan dan kepala desa. Dalam kurun dua hingga tiga tahun terakhir fenomena penerbitan SKT mencolok dilakukan hampir sebagian besar desa-desa yang diterkenai perluasan ekspanti tambang. Dua kecamatan paling aktif melakukan penerbitan SKT adalah Bahodopi dan Bungku selatan. Dipastikan, mayoritas masyarakat yang berada dilingkar tambang tersebut terlibat dalam jual beli tanah secara massif.

Sementara itu, terdapat masyarakat yang diorganisir oleh kepentingan Bupati melawan PT Inco (kini Vale Indonesia) dengan membangun serikat tani dan kepala desa dalam persatuan melawan Inco. Pada tahun 2010, masyarakat yang berada di empat belas lingkar tambang sering dimobilisasi oleh para aktivis lokal yang ditunjuk sebagai perpanjangan tangan bupati untuk melakukan pressureterhadap Inco yang disusul statement keras Bupati di media lokal dan nasional, yang kadang-kadang dipimpin langsung oleh kepala desa.

Ada juga kesatuan aksi aktivis lokal yang diboncengi kepentingan perusahaan yang lain. Sementara dilapangan belum ada aktivitas apa-apa yang dilakukan Inco, justru aktivitas yang parah itu dilakukan oleh PT BDM. Sementara BDM juga terlibat dalam propaganda anti kapitalis asing dengan membiayai sejumlah aktivis mendirikan posko dan tenda anti kapitalis asing. Sementara itu, para Tokoh-Tokoh Politik lokal baik yang berada diluar maupun dalam parlemen, semua punya investor bawaan masing-masing untuk didukung aktivitas tambangnya. Hanya segelintir orang saja yang punya integritas sisanya terlibat dalam permainan “api” pertambangan.

(Tulisan ini disarikan dari Draft Kertas Posisi JATAM Sulteng)

Andika

(Manager Riset dan Kampanye JATAM Sulteng, 2012)

Tinggalkan Komentar Anda :