CATATAN LAPANGAN: MANGROVE DAN KONSERVASI BANGKIRIANG KORBAN DSLNG

Seperti pada umumnya projek-projek besar, masyarakat umum pasti mengalami kesulitan untuk menjangkau hingga ke wilayah penting dalam aktivitas perusahaan. Dibutuhkan macam-macam prasyarat. Terlebih lagi medan dan jarak serta sistem pengamanan yang ketat membuat upaya untuk masuk ke lokasi memerlukan kepiawaian tersendiri. Begitulah yang terjadi saat aktivis JATAM Sulteng saat hendak melihat aktivitas eksplorasi sumur-sumur migas Donggi Senoro Liquid Natural Gas (DLNG).

Namun pada kawasan perencanaan pembangunan infrastruktur industry pengolahan dan jetty itu terlihat agak mudah karena dapat dijangkau. Tidak ada pengawalan yang ketat, dari situ diketahui bahwa belum ada aktifitas berat yang dilakukan, selain pemasangan patok batas dan beberapa karyawan perusahaan yang melakukan pengukuran, meski belum diketahui maksud dilakukannya pengukuran tersebut.

Sebuah terbitan Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu, Kertas Posisi 10 tahun 2011 yang ditulis oleh Danel Lasimpo menjelaskan, bahwa Proyek ini dalam skema hulu (upstream) adalah PT. Medco Energy International dan PT. Pertamina E & P pemilik tiga blok konsesi migas diwilayah Kab. Morowali dan Kab. Banggai, masing-masing Blok Toili, Blok Sinoro dan Blok Matindok, dan kepemilikan saham dua perusahaan tersebut masing-masing 50%. Namun demikian secara lebih rinci dijelaskan bahwa Blok Senoro dan Blok Toili dalam perkembangannya kemudian lebih dikenal dengan sebutan Blok Sinoro – Toili karena kedua blok tersebut dikelola oleh dua konsorsium, yang kemudian tergabung dalam JOB Pertamina – Medco EP Tomori Sulawesi (JOB PMTS), sedangkan untuk Blok Matindok hanya dikelola oleh PT. Pertamina melalui PT. Pertamina EP PPGM (Proyek Pengembangan Gas Matindok).

Masih dalam tulisan yang sama, mengutip release Mitsubishi Corp, melalui situs resmi perusahaan tersebut, pada keputusan terakhir tentang investasi eksploitasi LNG Donggi-Sinoro yang dilaksanakan oleh PT Donggi-Senoro LNG, di mana Mitsubishi memiliki saham 51%. Jumlah investasi adalah 2,8 milyar dolar (230 milyar yen). DS-LNG berencana mulai menjual LNG 2 juta ton per tahun sejak akhir tahun 2014. Kontrak EPC (Engineering, Procurement, and Construction Contract) akan ditandatangani dengan JGC (Japan Gasoline Company) Corporation. DSLNG sudah menandatangani kontrak jualbeli dengan Chubu Electronic dan Kyushu Electronic. Setelah keputusan terakhir komposisi kepemilikan saham di Sulawesi LNG Development (Mitsubishi 75% + Korea Gas (Kogas) 25%) 59.9%, Pertamina Hulu Energy 29%, Medco LNG Indonesia 11.1% saham4.

Ikhwal dari seluruh cerita investasi tentu tak lepas dari proses-proses pencitraan yang isinya adalah kebaikan-kebaikan yang terproduksi secara sistematis dan teorganisasi. Begitu pula dalam maha projek DSLNG. Untuk memuluskan bisnis ini, perusahaan melakukan proses-proses pencitraan dengan menggunakan berbagai sarana yang tersedia. Membentuk opini public merupakan bagian paling mendasar dari beragam kegiatan non-konstruksi yang dilakukan mereka dan hasilnya hingga saat ini aktifitas perusahaan dapat berjalan dengan baik tanpa mendapat halangan yang cukup berarti.

Perangkat yang sering digunakan adalah hirarki Pemerintah daerah sampai ke tingkat Desa, militer, polisi, sector swasta dan akademisi beserta pers. Diyakini oleh berbagai pihak telah berkontribusi terhadap penyebarluasan informasi yang tidak berimbang. Beberapa organisasi lokal berbasis kerukunan seperti yang dibentuk pemuda Batui, juga telah menjadi bagian didalamnya.

Diduga kuat, beberapa periode pemerintahan kab. Banggai (termasuk saat ini), juga memiliki peran yang signifikan dalam berbagai usaha untuk memuluskan aktifitas perusahaan. Seperti lazimnya investasi, perkawinan antara kekuasaan politik dan modal turut mempengaruhi beberapa tokoh masyarakat dan organisasi lokal agar pihak perusahaan mendapat persetujuan dari masyarakat sekitar areal konsesi dan sejauh ini, hal itu juga cukup berhasil. Berikut ini beberapa catatan lapangan yang sempat dihimpun oleh JATAM Sulteng:

Tanah : Menjadi Objek Sengketa Karena Dikomoditi

Masyarakat yang bersinggungan langsung dengan aktifitas perusahaan sejak Pra-Konstruksi harus mengambil keputusan yang keliru ketika berhadapan dan melakukan pembelaan atas akitifitas yang dilakukan pihak perusahaan saat kegiatan pra-konstruksi seperti; riset geologis, core drilling, sampai pembebasan lahan yang diperkirakan masih tersisa kurang lebih 2 persen.

Salah seorang masyarakat lokal menyebutkan, pola-pola pembebasan lahan dinilai masih sangat merugikan, sehingga mereka masih ingin memperjuangkan kembali nilai ganti rugi lahan yang diberikan perusahaan.” mereka hanya mengganti rugi tanah tapi tidak memberikan ganti rugi atas tanaman dan nilai ekonomis lain yang dirasakan masyarakat”ujarnya. Sementara itu konon kabarnya, bagi beberapa masyarakat migrant atau pemilik lahan yang mata pencaharian utamanya bukan sebagai petani, ganti rugi semacam itu sudah cukup menguntungkan karena nilai ganti rugi tanah dijadikan sebagai modal usaha baru pada desa lain.

Dari 298 Ha, prosentase perusahaan menyebutkan bahwa sekitar 97 persen lahan telah dibebaskan oleh perusahaan dan kurang 2 persen masih dimiliki oleh masyarakat. Tapi ironisnya, diperkirakan sekitar 50 persen lahan tersebut telah dimiliki oleh pengusaha lokal, yang sebelumnya telah membeli dengan harga yang sangat rendah pada masyarakat. Bahkan dalam rapat Pansus angket Uso yang dilakukan DPRD Banggai, terungkap bahwa ada beberapa orang yang punya hubungan dekat dengan elit kekuasaan lokal mempunyai beberapa hektar lahan yang di bayarkan oleh perusahaan. Saat informasi coba ditelusuri pada beberapa warga yang mendapat ganti rugi lahan, membenarkan sekaligus bingung atas status kepemilikan lahan orang tersebut diwilayah desa mereka.

Hampir sebagian besar lahan masyarakat yang dibebaskan oleh pihak perusahaan memang menggunakan jasa pihak ke-3 yakni PT. Banggai Sentral Sulawesi. Semua lahan yang dibebaskan oleh perusahaan memiliki bukti penyerahan dari pemilik lahan, namun dari beberapa pemilik lahan yang berhasil dibebaskan perusahaan. Ternyata ditemukan adanya beberapa manipulasi yang dilakukan oleh tim 9 bentukan pemerintah daerah Banggai. Macam-macam intrik dilakukan agar warga mau melepaskan lahan mereka. Tidak berhenti disitu, proses-proses yang tidak sehat lainnya juga menyusul hingga proses intimidasi yang dilakukan oleh aparat militer dan pemerintah kecamatan pada saat pembayaran di salah satu kantor perseroan diluwuk PT. BSS, menandai hal ini.

Bagi sebagian masyarakat lokal yang belum melepaskan lahannya menilai, pola-pola yang digunakan perusahaan terkait pembebasan lahan tidak transparan. Sehingga mereka akan bertahan disaat perusahaan akan melakukan penggusuran masa konstruksi, termasuk sisa lahan yang belum dilepaskan oleh pemilik pada perusahaan, akan mereka pertahankan hingga perusahaan mau terbuka menyampaikan jumlah dan melakukan pembayaran kepada mereka. Sementara itu, untuk pengembangan industry migas ini seluruhnya membutuhkan lahan dengan perincian Kilang 298 Ha, Jetty dan Bongkar muat 74 Ha, Jalur pipa 47 km dan Sumur migas 12 Ha.

Ibarat jejaring benang kusut, masalah yang timbul dari proses komoditi tanah semacam ini seakan tak pernah berhenti. Masalah lain yang tengah sibuk digunjingkan warga desa Solan Kec. Kintom adalah pasca survey geologis yang dilakukan PT. Ekspan dilahan kebun mereka. Yang hingga kini masih meninggalkan 5 lubang sisa pengeboran yang dikhawatirkan akan membahayakan keselamatan warga yang akan melintas didaerah tersebut.

Sementara itu, pihak perusahaan yang belum mengganti rugi atas tanaman produktif pemilik lahan merupakan alasan kuat sehingga para pemilik lahan masih terus memanfaatkan tanaman produktif mereka seperti kelapa, coklat, kemiri bahkan ada beberapa lahan yang mulai ditanami dengan tanaman bulanan lagi seperti buah-buahan dan rempah-rempah. Walaupun diatas lahan tersebut telah dibatasi dengan kawat berduri dan papan peringatan perusahaan untuk tidak memasuki lahan yang telah menjadi asset mereka. Dan bagi mereka yang khawatir untuk mengikuti apa yang warga lain lakukan, saat ini mereka mulai melakukan pembukaan lahan baru atau mengganti alat produksi mereka seperti ojek, pedagang, nelayan, pembantu rumah tangga bahkan ada yang menjadi buruh tani.

Sebanyak 90 persen pemilik lahan yang telah di bebaskan adalah petani sedangkan sisanya adalah PNS, Nelayan, pedagang. Dari prosentase tersebut mayoritas mereka adalah petani kelapa dan coklat tradisional. Pada musim antara akan menanam padi ladang, kacang tanah atau menjadi nelayan tradisional. Perlu diketahui pula bahwa ditahun 2008-2009 dimana pembebasan lahan dilakukan beberapa komoditas petani seperti kopra dan kacang tanah menurun (Kopra : Rp. 3.500.-/Kg s/d Rp. 4.250.-/Kg; Kacang tanah : Rp. 2.500.-/Kg s/d Rp.3.500/Kg) yang kalau diperhatikan harga tersebut tentu saja tidak akan menutupi biaya yang harus dikeluarkan petani dalam masa produksi, misalnya saja Kopra, pemanenan buah, sewa angkut ke tempat pengasapan, sewa kupas dan belah, sewa angkat dan jaga diatas tempat pengasapan sampai sewa angkut ke tempat penjualan; Kacang tanah, biaya pembukaan lahan, pembersihan lokasi, penanaman, pembersihan tanaman, panen sampai sewa angkut ke tempat penjualan.

Oleh: Ardat

(kontributor JATAM Sulteng)

Tinggalkan Komentar Anda :