IBU TALO DAN BIDAYA : “KHARISMA PEREMPUAN MENOLAK TAMBANG”

Pada kasus penolakan terhadap tambang galian C di Desa Loli Kabupaten Donggala, Ibu Talo dan Ibu Bidaya merupakan dua pelopor kunci perjuangan tersebut. Mereka (Ibu Talo dan Ibu Bidaya), telah berperan cukup lama mengikuti pertemuan demi pertemuan untuk menggalang persatuan masyarakat, utamanya perempuan Desa Loli. Usaha-usahanya dalam melakukan penolakan, dilakukan dengan bantuan aktifis NGO di Kota Palu seperti YPR, Jatam Sulteng, Walhi Sulteng dan jaringannya yang bersatu dalam TERKAM (Koalisi Masyarakat Korban Tambang, 2002).

Perempuan yang kesehariannya mengais rejeki melalui pekerjaan mengumpul batu dibantaran sungai ini, menolak kehadiran tambang galian C karena terang akan mengancam basis (sumber) penghidupan mereka. Sebab jika tambang ini beroperasi, maka secara jelas akan menimbulkan situasi yang sangat tidak menguntungkan bagi mereka. Hal itu sudah terbukti saat ini, dimana lokasi pengumpulan batu semakin jauh mendekati kaki gunung. Ditambah lagi, semakin meluasnya areal galian yang menyebabkan mereka kesulitan mencari sumber-sumber alam bagi kebutuhan sehari-hari seperti kayu bakar. Disamping itu, masalah lain yang kian terasa adalah jarak bantaran sungai dengan lokasi pengumpulan batu, sangat menyulitkan mereka yang secara fisik mulai rentan oleh usia.

Berbagai tantangan sudah kental merintangi perjuangan Ibu Talo dan Ibu Bidaya, bersama kawan-kawannya. Mulai dari ancaman intimidasi, terror bahkan kriminalisasi psykologis pun, pernah mereka alami. Hingga saat ini, perjuangan mereka belum berhenti, hanya intensitas tekanannya mulai mengalami penurunan. Bukan tanpa alasan, kerasnya reaksi dari pihak perusahaan dan lemahnya respon pemerintah menjadi salah satu alasan.

Pertama, dalam kasus ini peran serta pemerintah dalam menyelesaikan konflik antara perusahaan dengan masyarakat, selalu tidak mendapatkan respon yang menggembirakan. Dari awal upaya yang dilakukan oleh Ibu Talo bersama masyarakat lainya, selalu tersandung di persoalan kepekaan pemerintah. Bahkan yang terburuk, hingga saat ini pemerintah belum melakukan pengakuan terhadap hubungan historis masyarakat Loli terhadap tanah, yang sangat berbeda dengan pola umum yakni tanah budel atau lahan komunal.

Dalam catatan sejarah lisan orang Loli yang sempat direkam oleh Jatam Sulteng. Tanah bagi masyarakat Loli adalah subjek yang memiliki status dan pengakuan, karena tanah adalah bagian dari kehidupan yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia., begitulah bukti dari sejarah lisan tentang tanah yang mereka tempati sebagai nilai-nilai pada setiap manusia dalam mengelola dan memanfaatkan tanah.

Lolitasiburi begitu sebutannya, adalah tanah sumber kehidupan tanah adat yang dikuasai oleh masyarakat. Tanah ini merupakan areal perbukitan yang melintang dipinggiran jalan poros Palu – Donggala. Areal ini juga memiliki sejarah dan cerita yang cukup panjang, karera tanah ini telah dihuni oleh 20 orang tua, tempat dimana mereka berkebun menanam jagung, ubi dan lainnya. Dari 20 orang pertama pemilik sebagian masih hidup. Oleh karena itu, tidak heran kalau tanah ini akan selalu diperjuangkan dan dipertahankan orang lolitasiburi sampai apapun resikonya (Jatam, 2003).

Namun seiring dengan masuknya projek tambang galian C, semua nilai-nilai dan prinsip-prinsip pengelolaan tanah itu, terberangus oleh transaksi jual beli tanah. Tanah mereka berubah menjadi komoditi baru, yang tidak saja menghasilkan persaingan dengan perusahaan, tetapi yang paling memperihatinkan adalah persaingan diantara penduduk sendiri, yang “kencang” terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Kedua, keberadaan tambang galian C ini, selain menimbulkan dampak tekhnis yang sangat memperihatinkan. Perubahan tatanan sosial masyarakat pun terjadi misalnya, arus migrasi besar-besaran masyarakat dari luar. Tidak hanya pekerja, tetapi para tuan-tuan tak bertanah yang memiliki modal, datang mematok tanah-tanah nenek moyang mereka dengan sejumlah harga tertentu.

Hal itu sangat nampak dan kelihatan dengan jelas apabilah kita melakukan perjalanan dari Kota Palu menuju Donggala atau sebaliknya. Akan kita temui bangunan-bangunan yang cukup mewah menghiasi sudut-sudut jalan. Namun, situasi yang kontras akan kita dapatkan apabila sejenak kaki dilangkahkan sedikit kebelakang rumah-rumah itu. Disana berjejer rumah penduduk asli, termasuk rumah Ibu Talo dengan pemandangan kumuh.

Perbedaan kehidupan itu juga menjadi salah satu situasi yang tidak menguntungkan bagi perjuangan Ibu Talo dan Ibu Bidaya. Kepentingan yang berbeda atas struktur masalah tidak bisa dan sangat sulit memperat persatuan mereka dalam melakukan agenda-agenda penolakan tambang galian C. Meskipun saat ini, Ibu Talo pun masih terus berjuang misalnya, mengorganisir para ibu-ibu lainnya, menambah pengetahuan, dan pemahaman mereka didampingi langsung aktifis perempuan yang tergabung dalam Solidaritas Perempuan (SP). Mereka mendirikan sekolah Perempuan untuk mendukung perjuangan itu.

Disela-sela rutinitas belajar para ibu-ibu ini, Aktifitas buldozzer pun tidak berhenti menganggu ketenteraman masyarakat. Saat ini di desa Loli, ada sekitar lima perusahaan yang terus beroperasi, dampak-dampak seperti polusi udara, kebisingan, perubahan bentang alam mulai menimbulkan masalah. Misalnya, gangguan saluran pernapasan, tidak tanggung-tanggug telah menimbulkan penyakit, yang kontan meresahkan. Apa yang menjadi kekhawatiran mereka beberapa tahun silam telah menjadi bukti nyata, terang menusuk rasa keadilan mereka. Kita berharap upaya-upaya Ibu Talo dan Ibu Bidaya tidak kondor oleh gertakan-gertakan para kaum aristocrat, pemilik uang dan lain-lainnya.

Penulis adalah Koordinator Kampanye dan Riset Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah.

 

Oleh: Andika (2009)

Tinggalkan Komentar Anda :