CATATAN LAPANGAN: SUARA YANG DISENYAPKAN DARI PADANG TAMBUO

Suasana di desa Uwe Bae yang berjarak hanya beberapa puluh meter dari Kota Ampana, hari itu nampak berbeda. Para ibu rumah tangga terlihat sedang duduk berkumpul disebuah warung milik Hasnah, petani setempat yang masih keturunan Suku Tau Taa WanaAmpana Kabupaten Tojo Una-Una. Diantara mereka, juga terlihat saling mencari kutu sambil menatap penuh keraguan pada setiap kendaraan roda empat yang lalu lalang di desa itu.

Potret Ampana yang dihiasi wewarna hutan alam yang berjejer rapi membentuk tegakan. Orang-orang disana menyebutnya padang Tambuo. Ternyata, sedang menyimpan “bara vulkano” yaitu sebuah ketakutan besar. Masyarakat takut rumah mereka digusur, lahan-lahan pertanian mereka dicukur, dan hutan-hutan mereka dimusnahkan. Ekspresi yang cukup beralasan itu tersimpan rapi dalam kado CSR, terutama rencana penempatan tenaga kerja lokal sebagai buruh perusahaan.

Adalah PT Dinar Karya, sebuah pertambangan Nikel yang membeli lahan konsesi milik PT Arta Graha Nickelindo. Letak konsesi perusahaan ini diperkirakan berada ditengah-tengah hutan alam Ampana yang entah alasan apa, sebagian kawasan itu kini lebih akrab disebut Areal Penggunaan Lain (APL). Atau tepatnya berada di Kecamatan Ulu Bongka. Perusahaan tengah mengatur siasat lembut dengan menyembunyikan rencana eksplorasi mereka pada penduduk setempat.

Perusahaan yang diketahui sedang mengadang-gadang penduduk setempat sebagai tenaga kerja upahan sebesar lima puluh ribu rupiah per-hari itu. Telah membuat jalan lintas koridor dengan membabat habis tegakan hutan yang tumbuh mekar disampingcamp-camp eksplorasinya. Hingga hutan alam itu nampak seperti padang rumput savana.

Ironisnya, prinsip akuntabilitas serta keterbukaan informasi publik menjadi barang langka bagi perusahaan ini. Jangankan sosialisasi, apalagi penerangan pada penduduk setempat, sebagian masyarakat saja tak mengetahui apa nama perusahaan tersebut.

”perusahaan tidak pernah pamit pada saya sebagai ketua dusun,” ungkap Syamsudin yang lahir pada tahun 1967 silam.

Konon kabarnya, rencana pertambangan di Tojo Una-Una sudah menjadi “wasiat khusus” kemenangan Politik Damsik Ladjalani. Pria berkumis yang terpilih kembali sebagai Bupati Tojo Una-Una itu pernah berkata pada media lokal,

“tambang adalah karunia tuhan jadi harus diolah, kenapa juga harus ditolak,” ungkapnya.

Tetapi dibalik “nafsu ketakutan” yang menjangkiti sekujur tubuh masyarakat. Tidak seluruhnya menghapus nurani lahirianya. Sebagai masyarakat lokal, yang memiliki ikatan kuat terhadap alam tetap menyimpan reaksi esensial. Kehendak dasar yang amat kapitalis dalam watak perusahaan memberikan umpan balik yang tidak sejajar, yaitu penolakan.

“kami tidak mau kitorang pe kampung ditambang, tapi kami takut karena ini pemerintah semua toh,” ungkap musliah seorang ibu rumah tangga setempat.

Ekspresi yang cukup beralasan itu menandakan sebuah arogansi struktural. Sebuah pemaksaan sejati, yang didulang dari jabatan politik. Perjalanan dari padang tambuo mentasbihkan raja diatas raja, dan petani dihisap para “raja tambang”. (dika)

Tinggalkan Komentar Anda :