CATATAN LAPANGAN; POBOYA DETIK-DETIK PENGGUSURAN

Seperti menghitung waktu, pikiran terus dibawa tenggelam dalam pusaran kewaspadaan. Ini bukan drama berseri, atau putaran dongeng radio yang menanti untuk diputar. Tetapi sebuah irama kecemasan yang terus terproduksi dari kutipan-kutipan koran, cukup tajam dan melilit kepentingan sang arus bawah dengan judul besar ”penggusuran”. Begitulah kini nasib para penambang rakyat Poboya, dibuai disayang karena Perwali, dan dilempar tanpa tali berhadapan Kontrak Karya.

Kecemasan telah berubah menjadi kabar tentang penertiban tambang rakyat Poboya yang direncanakan oleh PT Citra Palu Mineral (CPM) pada bulan maret 2011. Dan nampaknya bukanlah sebuah isapan jempol semata. Terlihat lebih matang dan terlampau naif untuk diragukan. Dikabarkan, aparat keamanan melalui Polda Sulteng sudah menyiapkan sekitar 3000 personil anggota Brimob kelapa dua yang akan turun langsung dalam mengeksekusi para penambang Poboya. Kabar sensasional ini juga ditandai dengan undangan Kapolda Sulteng, DPRD Kota dan Propinsi, pada Barisan Pemuda Tara (Batara) untuk berdialog. Tujuannya, agar alat berat perusahaan bisa masuk ke areal tambang emas yang ada di kelurahan poboya.

Dalam pertemuan tersebut fihak Perusahaan berusaha menegosiasikan kepentingannya dengan Batara. Seperti lazimnya negosiasi, perusahaan ber-dalih tidak akan mengebor dekat lubang yang digali masyarakat. Sebaliknya, janji pun ditebar, masyarakat penambang akan diakomodir menjadi pekerja di titik pengeboran PT CPM. Lucunya, perusahaan juga menyampaikan bahwa aktivitas mereka saat ini masih dalam tahap penelitian dan pengembangan. Semua seakan-akan masih serba awal karena kandungan emas tersebut belum ditentukan. Setelah itu, barulah perusahaan akan membangun pabrik, jalan dan terowongan.

“Hutan Morowali nyaris tidak ada sejarahnya perusahaan tambang yang mensejahterahkan masyarakat lokal. Justru sebaliknya, rakyat local kehilangan lapangan kerja dan bukan lagi penentu diatas tanahnya sendiri.”

Meski bujukan PT CPM menggiurkan, namun itu tak menjadi penting bagi Batara. Organisasi yang muncul setelahBooming emas Poboya ini tetap pada pendiriannya menolak rencana tambang PT CPM. Seakan ingin membuktikan sikapnya, pada hari selasa tanggal 1 Februari 2011, para penambang melakukan blokir jalan menahan alat berat PT CPM, insiden ini pun memaksa Walikota Palu Rusdi Mastura untuk turun lapangan menemui para penambang. Disaat yang sama, salah satu punggawa Partai Golkar ini meminta perusahaan untuk melakukan komunikasi dengan pemerintah sebelum memobilisasi alat berat ke Poboya.

Sementara itu, entah jenuh, dan mungkin juga kesal, seakan mengancam, manager Eksternal CPM Syahrial Suandi, yang dikutip dari salah satu media lokal menyatakan akan dialog dengan kepolisian terkait dengan penghadangan tersebut. Serta akan membuat pertemuan dengan pemerintah Kota dan para penambang. Tetapi semua serba kilat, keadaan tiba-tiba berbalik arah. Rusdi Mastura yang sebelumnya dikenal legowo dengan para penambang, justru pasca pertemuan antar fihak ini, Wali Kota Palu bersama Polda Sulteng mengancam untuk menertibkan para penambang jika tidak mau diatur. Bahasa ini seakan menunjukan kalau tertib itu hanya berlaku bagi perusahaan besar, dan bagi usaha-usaha kecil rakyat bisa disebut anarki. .Aroma yang tidak sedap dalam “pertarungan medali” sebagai penambang pun kian tak terbendung.

Ibarat sebuah bola salju yang sedang melaju dari arah perkotaan, muncul issu sebanyak 11 orang penambang dikabarkan hilang tertimbun longsor di dalam lubang saat melakukan aktivitas menambang. Berita yang belum dipastikan kebenarannya ini bahkan di dahului oleh Polda Sulteng yang menurunkan alat barat ke lokasi tambang untuk mencari korban, bukannya sia-sia tapi tak satu pun penambang ditemukan seperti yang diberitakan. Ini Ironi, dan menambah kusam cerita objektif tambang rakyat Poboya.

Sementara itu, pemantauan lapangan mengenai adanya isu penertiban. Sempat dilakukan bincang-bincang dengan beberapa orang salah satunya adalah kelompok BATARA. Agus Walahi mengatakan, pihaknya saat ini sudah melakukan siaga 1 (Satu ) terkait dengan isu penertiban tersebut dan ia berharap melalui media ini masyarakat pembaca juga bisa ikut menolak CPM karena selain merusak lingkungan, perusahaan tersebut juga akan menggusur sekitar kurang lebih 10.000 orang yang selama ini menggantungkan hidupnya disana.

Pria jangkung kelahiran Poboya ini menambahkan,” nyaris tidak ada sejarahnya di negeri ini perusahaan tambang yang mensejahterahkan masyarakat lokal. Justru sebaliknya, rakyat local kehilangan lapangan kerja dan bukan lagi penentu diatas tanahnya sendiri. Sementara tenaga kerja yang direkrut hanya yang berpendidikan di bidang pertambangan dan berbagai keahlian teknis lainnya.” Ungkapnya yang penuh gumam kekesalan.

Tak jauh berbeda, semangat mencari rezeki menjadi alasan untuk menolak PT CPM. seorang tukang ojek yang enggan di tuliskan namanya mengaku selama ini mendapat rezeki dari tambang rakyat di Poboya. Ia mengatakan

“kalau perusahaan masuk dan mengggusur tambang rakyat ini maka kami akan kehilangan kerja kalau sudah begitu anak kami mau makan apa, sementara saya punya 3 (tiga) orang anak yang rata-rata masih sekolah. Kalau bisa pemerintah jangan seenaknya saja memberikan izin kepada perusahaan, perhatikanlah kami masyarakat kecil, jangan nanti ada Pemilu baru datang berjanji kepada masyarakat, tapi sekaranglah harusnya pemerintah datang membela rakyat kecil.” Ujarnya(ivent,adi,ato,adi,irul).

Komentar Anda :

Alamat email anda tidak akan disiarkan.