CATATAN LAPANGAN: AIR TERCEMAR, PETANI BOLANO LAMBUNU GAGAL PANEN
Kecamatan Bolano Lambunu Kabupaten Parigi Moutong, memiliki luas wilayah mencapai 382,47 Km2, atau sekitar 6,14 persen luas wilayah Kabupaten Parigi Moutong. Sebelumnya, Kecamatan Bolano Lambunu, memiliki 30 desa, namun setelah dimekarkan menjadi dua kecamatan, yakni Kecamatan Bolano Lambunu dan Kecamatan Ongka Malino, yang kemudian, memiliki 11 desa definitive: Desa Wanagading, Lambunu, Kotanagaya, Margapura, Petu Nasugi, Gunung Sari, Siendeng, Lambunu Utara, Tirtanagaya, Anutapura dan Lambunu Timur. Desa Tirtanagaya, adalah desa yang paling luas, mencapai 116,24 Km2. Sedangkan wilayah paling kecil adalah Desa Margapura, dengan luas 4,26 Km2 (BPS- Parimo: 2011).
Sementara, jumlah penduduk Kecamatan Bolano Lambunu pada tahun 2011 sebanyak 20.362 Jiwa, atau mencapai 4,83 persen. Sehingga, kepadatan penduduk mencapai 53 Jiwa/Km2, lebih rendah di bandingkan dengan angka rata-rata Kabupaten Parigi Moutong (68 jiwa/Km2). Kepadatan penduduk terbesar berada di Desa Margapura, karena luas wilayah yang paling sempit, sehingga kepadatan penduduk mencapai 441 jiwa/km2. Kepadatan penduduk paling kecil berada di Desa Tirtanagaya (17 jiwa/km2), karena luas desa tersebut paling besar di banding dengan luas wilayah lainnya. (BPS-Parimo 2011).
DI Kecamatan Bolano Lambunu tersebut, terdapat Perusahaan Tambang, PT. Matoa Ujung. PT Matoa ujung, meski belum memiliki izin produksi, namun perusahaan tambang yang terhitung sejak awal tahun 2012 itu, sudah beroperasi, dengan luas lahan IUP kurang lebih 5387 hektare. Menurut Tutin Hermawati, Anggota DPRD Parigi Moutong, sampai saat ini PT. Matoa Ujung hanya mengantongi izin eksplorasi, dan belum memiliki izin eksploitasi. Hal tersebut, juga dibenarkan oleh Moh. Idrus, Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kabupaten Parigi Moutong, juga di tambah dengan pernyataan dari beberapa warga Desa Petunasugi, Tirtanagaya, Gunung Sari, Margapura, Kotanagaya dan Wanagading (Daerah Transmigrasi).
Perusahaan tambang asal Korea tersebut, dipimpin oleh A—Ling, namun untuk menghindari kontradiksi lebih besar, maka A—Ling menggandeng penduduk setempat, Syahrun Balike. Secara Administratif, PT Matoa Ujung, beroperasi di wilayah Desa Tirtanagaya (Daerah Transmigrasi) Kecamatan Bolano Lambunu, tepatnya di gunung Modoko.
Di gunung Modoko itu, terdapat sumber air, yang disebut orang-orang setempat, sungai “Raja kering”. Sungai tersebut, mengalir ke sawah-sawah warga. Dan, satu-satunya sungai yang selama ini menyuplai air untuk lahan persawahan sebesar 2001 hektar. Namun, atas beroperasinya perusahaan tambang di areal hulu, maka sungai tercemar oleh limbah perusahaan, yang di duga, tidak memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Angka terkecil mengenai luas lahan yang informasinya kami dapatkan melalui beberapa warga Desa Petunasugi, mencapai 60 Ha di wilayah pegunungan Madoko Desa Tirtanagaya. Dengan modal enam eskavator, diperkirakan luas lahan yang bakal dikonsesinya akan semakin bertambah. Apalagi jika bicara mengenai sistim pengupahan buruhnya. Nandang (Warga Desa Tirtanagaya) Asal Pulau Jawa. Hampir satu tahun penuh bekerja sebagai Mekanik di perusahaan PT. Matoa Ujung, bahkan sempat menjadi orang kepercayaan A-Ling saat itu. Hanya karena ia menyadari bahwa upah yang diberikan perusahaan padanya dan rekan kerjanya tidak sesuai dengan tenaga dan hasil kerja mereka, maka ia berinisiatif untuk menggerakkan teman-temannya demi menuntut kenaikan upah. Tapi, dia mengalami beberapa kecaman baik dari pihak perusahaan maupun Satpol PP yang bertugas menjaga keamanan. Bahkan dari A-ling (Bos Perusahaan PT. Matoa Ujung) ia dicoba bujuk untuk diberikan kenaikan upah secara pribadi (Bukan bersama rekan), agar ia bisa kembali bekerja sebagai mekanik di perusahaan itu. Manisnya, Nandang lebih mengutamakan rekannya dari pada pribadinya, sampai akhirnya dia memilih berhenti bekerja di perusahaan PT. Matoa ujung dan lebih memilih kembali untuk bertani.
Tabel Luas lahan Sawah Menurut Jenis Irigasi tahun 2011 (ha):
Desa Tehnis ½ Tehnis Sederhana Desa Tadah Hujan Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Wanagading – – – – 42 42
Lambunu – – – – – –
Kotanagaya 228 – – – – 228
Margapura 321 – – – – 321
Petu nasugi 388 – – – – 388
Gunung sari – – 374 – – 374
Siendeng 214 – – – – 214
Lambunu Utara – 234 – – 54 288
Tirtanagaya 89 – – – – 89
Anutapura 47 – – – – 47
Lambunu timur – – – – 10 10
Tahun 2011 1 287 234 374 – 106 2 001
Tahun 2010 3 968 – 1 414 140 180 5 702
Petani Sawah Menderita Kerugian
Pernyataan dari beberapa petani di Desa Petunasugi, bahwa terhitung dua kali panen padi terakhir, rata-rata petani sawah di kecamatan tersebut, mengalami penurunan hasil panen yang signifikan, disebabkan sumber air yang mengairi sawah mereka, sudah tercemar dengan limbah perusahaan tambang. Jika sebelumnya hasil panen mencapai 3 Ton/Ha, maka sekarang, dengan kondisi air yang sudah di cemari oleh limbah tambang tersebut hanya menghasilkan 1,8 Ton/ha.
Hal itu, pernah dinyatakan oleh Pak Maman, petani asal Desa Petunasugi, “…Kalau dulu, sebelum air ini tercemar dengan limbah tambang, rata-rata dari petani disini, mampu menghasilkan 3 Ton padi/ha. Tapi, kalau sekarang, 1,8 Ton saja, itu sudah susah dicapai…” (Wawancara Aktivis Jatam, Selasa 23 April 2013).
Kata Pak Nandang, asal Desa Tirtanagaya, “…Dulu, kondisi sungai masih bisa dipakai untuk mencuci, mandi, bahkan ada beberapa warga, yang belum punya sumur sendiri, biasanya mereka menggunakan air untuk keperluan memasak. Sekarang, untuk mencuci pakaian saja sudah tak boleh, apalagi, digunakan untuk memasak!” (Wawancara Aktivis Jatam, Selasa 23 April 2013).
Kata Pak Wirno, Kepala Pengamat Perairan Kec. Bolano Lambunu, “Air kita ini, banyak sekali lumpurnya. Dulu, biasanya kami melakukan Pengerukan sampah maksimal satu bulan dua kali. Tapi sekarang, malah seminggu sekali. Bahkan bukan hanya sampah lagi, tapi endapan lumpur. Coba mas perhatikan, mulai dari jam 07 pagi, sampai jam 12 siang, air sungai masih sedikit kelihatan jernih, tapi tidak sejernih dulu mas. Tapi coba perhatikan mulai dari jam 1 siang sampai malam. Airnya sudah berubah wujud. Coklat kental dan sedikit berminyak. Bahkan kalau sekarang, pengendapan lumpurnya sudah mencapai 5 Cm/hari. Kondisi air ini, berubah secara bersamaan dengan aktivitas pertambangan di gunung Desa Tirtanagaya. (Wawancara Aktivis Jatam, Selasa 23 April 2013).
Analisis sederhananya, jika asumsi mengenai penurunan hasil panen yang katanya hanya disebabkan faktor iklim, penyakit atau hama, maka petani-petani di desa lain, yang notabenenya tidak memakai air tersebut, mendapatkan hasil panen yang melimpah.
Jika melihat dan mendengar beberapa keluhan dari petani mengenai penurunan hasil panen padi, maka bisa diperkirakan Kecamatan Bolano Lambunu bakal kehilangan reputasinya yang selama ini dikenal sebagai Daerah Swasembada Pangan untuk Kabupaten Parigi Moutong. Bahkan akan menambah deretan angka kemiskinan di Kabupaten Parigi Moutong, khususnya Kecamatan Bolano Lambunu. Apalagi terhitung sejak tahun 1981, Kecamatan ini tertunjuk sebagai salah satu dari beberapa kecamatan di Sulawesi Tengah sebagai Daerah Transmigrasi yang sampai saat ini, menampung warga asal Pulau Jawa yang notabene bermata pencaharian sebagai petani sawah. Maka dipastikan masyarakat transmigran ini akan kehilangan lapangan pekerjaannya jika pemerintah tidak segera bertindak untuk menyelesaikan masalah ini.
Oleh: Alkiyat J. Dariseh
* Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Dondo (IPPMD) Palu, 2012-2013.