CATATAN AKHIR TAHUN: PETAKA DARI LUBANG TAMBANG

Kecenderungan pembangunan Provinsi Sulawesi Tengah paling tidak dalam kurun 10 tahun terakhir, dikenal luas sedang menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan dalih peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), pada aspek peningkatan investasi disektor eksploitasi bahan baku Sumberdaya Alam (SDA). Hal ini khususnya dapat dilihat pada sektor pertambangan komoditi migas dan mineral. Ambisi ini tidak hanya terbatas pada retorika semata, melainkan telah menjadi trend implementasi kebijakan pada level pemerintah kabupaten. Namun terlepas dari segala macam asumsi yang dipergunakan, sektor pertambangan kini telah menjadi primadona pemerintah daerah ini.

Dibalik superioritas kebijakan ini, tentu saja fakta bagi kesejahteraan rakyat masih belum teratasi. Sebaliknya, yang terjadi tingkat keselamatan rakyat, melalui perlindungan Hak Asasi Sosial Ekonomi Budaya (HAK-EKOSOB) dan Sipil – Politik (SIPOL) semakin terabaikan. Pemburukan nyata terjadi pada aspek layanan alam serta wilayah produksi bahan pangan lokal. Berikut ini beberapa fakta dan problem yang makin matang akibat perluasan industry tambang:

Pertama, Laporan BPS pada tahun 2009, menyebutkan bahwa angka kemiskinan masyarakat Sulawesi Tengah masih menduduki puncak “romantika” pada level yang cukup serius. Angka kemiskinan Sulteng sejak tahun 1999, tercatat 595 ribu jiwa (28,67 persen), tahun 2000, 503 ribu jiwa (24,51 persen). Selanjutnya 2004 angka kemiskinan mencapai 486,3 ribu jiwa (21, 69 persen), 2005, 527,5 ribu jiwa (21,80 persen), di 2006, 566,1 ribu jiwa (24,09 persen). Kemudian 2007 tercatat 557,400 ribu jiwa (22,42 persen) dan 2008 mencapai 524,7 ribu jiwa (20,75 persen. Informasi lainnya menyebutkan bawah tingkat kemiskinan meningkat terutama di wilayah pedesaan.

Sementara itu, bagi sebagian publik, mungkin sudah mengetahui bahwa pemerintah Kabupaten Morowali, dikenal paling agresif mengeluarkan izin pertambangan. Dibalik itu, Ternyata Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah yang menduduki ranking “wahid” tingkat kemiskinan di Sulawesi Tengah. Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Morowali menyebutkan, pada tahun 2008 secara garis besar jumlah keseluruhan Rumah Tangga Miskin mencapai 12,6 ribu. Padahal kita tahu bersama lebih dari 100 “buah” izin skala kuasa pertambangan ada disana. Belum lagi keberadaan beberapa perusahaan skala Trans Nasional Corporations (TNCs) seperti PT Inco, PT Rio Tinto, PT Medco, dan PT Bintang Delapan Mineral.

Derajat kehidupan masyarakat yang kian memburuk tersebut juga mendorong eskalasi migrasi yang tinggi. Banyak penduduk desa pindah ke wilayah perkotaan untuk mengundi nasib. Terutama angkatan kerja produktif. Disamping itu, ada juga sebagian yang menjadi tenaga kerja luar negeri (TKI), buruh perkotaan di Kendari, dan lainnya pergi tanpa kabar. Sasaran perubahan radikal ini dapat ditemui pada masyarakat Desa One Pute Jaya, Desa Bahomakmur, Dusun Kurisa dan Desa Bahomotefe Kabupaten Morowali (lihat, Seputar rakyat edisi 2 tahun 2010).

Persoalan lain, dalam industri pertambangan sistem tenaga kerja cadangan yang digulirkan melalui paket outsourcing, mengakibatkan bertumpuknya pengangguran. PT Inco, menjadi contoh nyata kasus ini. Dimana persaingan tenaga kerja lokal yang digulirkan setiap 3 bulan mengakibatkan antrian panjang tenaga kerja semakin menguat. Belum lagi persaingan dari kalangan migrasi pencari kerja, yang belakangan tumbuh pesat diwilayah ini. Semakin menambah riuk-pikuk masyarakat sekitar tambang (lihat, Seputar Rakyat edisi 2 tahun 2010).

Kedua, Kondisi yang tidak kalah hebat juga ditemukan pada masyarakat Transmigrasi Desa potensial Le-le, dan Desa One Pute Jaya Kabupaten Morowali. Sampai saat ini mereka hidup dalam “penjara” imajinasi Kontrak Karya PT Inco, yang telah mengkapling lahan produktifitas mereka, tanpa kejelasan status tanah. Mereka dibiarkan terselimut ketidakpastian, hidup, miskin dan melarat dengan tingkat pendapatan per KK yang sangat rendah. Lucunya, PT Inco tak mau membayar atau ganti rugi karena tanah tersebut diklaim sebagai miliknya sejak tahun 1969. Padahal kontrak karyanya baru disetujui kembali pada tahun 1996, sungguh ironi.

Begitu pula yang terjadi di wilayah Banggai, Industri migas milik DSLNG, hasil Joint Venture berwatak “penjajahan” antara pertamina sebagai perwakilan pemerintah dengan swasta/asing menghasilkan komposisi pemilikan saham Mitsubushi 51 persen, Medco-LNG 20 persen, dan Pertamina 29 persen. Yang hingga kini masa pembangunannya telah digenjot, namun lagi-lagi maha-projek ini rupanya menelan tanah warga, dan dikabarkan sampai sekarang masih bermasalah ganti rugi.

Sementara itu, daerah Banggai lainnya, Desa Nuhon, masih dihantui keperkasaan PT ANI, yang “nafsunya” tidak pernah pudar untuk menggali biji nikel di wilayah ini. PT ANI, mendapatkan konsesi dari pemerintah seluas 7000 hektar. Yang separuh jumlanya merupakan tanah adat masyarakat setempat. Warisan turun-temurun dan sudah menjadi soko guru penghidupan masyarakat setempat. Yang masih memiliki pola konsumsi bergantung pada layanan alam. Beberapa penggalan cerita ini semakin menambah rumit ketimpangan agraria yang memang selama ini, belum tuntas dilakukan pembaruan.

Ketiga, Akibat lain dari massif-nya pertambangan, kerusakan hutan semakin merajalela terutama pada kawasan hutan primer. Kapasitas penyangga sudah terlanjur dijamah, misalnya kawasan hutan di Bahodopi yang kini dikeruk oleh PT INCO dan PT Bintang Delapan Mineral untuk menuai nikel. Jumlah luasannya diperkirakan sudah mencapai ratusan hektar. Disamping itu, dampak lainnya adalah banjir langganan, yang kini semakin tidak kenal waktu. Tercatat, dalam tahun 2010 sudah terjadi 4 kali banjir diwilayah ini khususnya Bahodopi. Banjir ini diikuti dengan pencemaran sungai dimusim kering, hal ini sekaligus melengkapi penderitaan warga.

Situasi yang buruk itu sudah seringkali dikeluhkan masyarakat tapi tidak mendapatkan tempat dikantor-kantor pemerintah setempat. Berbagai protes sudah dilakukan warga. Misalnya Desa Bahomakmur, pernah melakukan demonstrasi mendatangi kantor PT Bintang Delapan Mineral untuk menuntut pertanggung jawaban. Tapi naas, sebanyak 7 orang petani tersebut ditangkapi oleh aparat Polres Morowali, dituduh melakukan tindakan anarkis.

Begitu pula yang terjadi disekitar konsesi PT Inco, warga juga kerapkali mendapatkan banjir kiriman. Akibatnya, hewan ternak, tanaman palawija, dan lumbung-lumbung mereka hanyut dibawa banjir. Tapi saat mereka protes dan minta pertanggungjawaban perusahaan. Lagi-lagi mereka hanya dapat janji. Sialnya, warga kadang dapat komoentar yang tidak “etis” dari pihak perusahaan bahwa “banjir itu kiriman tuhan untuk mencuci kampung”.

Keempat, Pada wilayah lain seperti Kota Palu, Donggala, dan Parigi Moutong, juga mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda. Pengerukan pasir untuk kebutuhan eksport di beberapa wilayah ini semakin tidak terkendali. Teluk Palu misalnya, kekhasan bahari daerah ini banyak dihuni ikan untuk konsumsi masyarakat perkotaan. Kini menjadi sasaran lalu lintas kapal tongkang. Alhasil, konflik antara nelayan versus pengusaha tambang pasir semakin terpelihara. Pada pertengahan 2010, beberapa nelayan Loli-Oge ditangkapi akibat protes pada perusahaan. Karena ladang rumput laut dan rompon milik mereka ditabrak tongkang (pengangkut pasir).

Berdasarkan uraian diatas, cerita sukses pertambangan tidak bisa lagi hanya dilihat dari satu sudut pandang. Yaitu logika pertumbuhan ekonomi atau yang lazim berdasarkan keputusan pemerintah semata. Sebaliknya, pembangunan harus kembali diletakan secara objektif, yang didasari pada pengarus-utamaan keselamatan rakyat. Tanpa harus mengejar eskploitasi alam dari investasi tambang. Karena sejauh ini model pengelolaan tambang yang diterapkan terbukti hanya menciptakan malapetaka, dan kerusakan yang serius.

Oleh: Andika

(Penulis Pernah Menjadi Manager Riset dan Kampanye Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah, 2011)

Tinggalkan Komentar Anda :