BAHAYA TAMBANG MENGINTAI WARGA WATUSAMPU DAN BANAWA

Bahaya Tambang Mengintai

Warga Watusampu Dan Banawa

Sektor pertambangan menjadi primadona yang telah membuat negara menganaktirikan sektor pertanian, perkebunan, perikanan dan kehutanan. Pertambangan dianggap gampang mendatangkan uang tunai tanpa membebani pemerintah dengan pengadaan infrastruktur. Akselerasi pembangunan melalui pengelolaan Sumber Daya Alam terutama melalui bidang pertambangan sebagai jawaban untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), penyediaan lapangan kerja, percepatan pertumbuhan ekonomi, percepatan pembangunan desa tertinggal atau pengurangan kemiskinan perlu dicermati. Seabab pada kenyataanya, para pelaku pertambangan selalu memberikan ilusi-ilusi tentang kemakmuran dan kesejahteraan dari eksploitasi kekayaan alam yang dikeruk dari bumi Indonesia umumnya dan Donggala pada khususnya adalah mantera yang digulirkan terus menerus untuk menghegemoni rakyat bahwa kehadiran industri di atas mutlak diperlukan.

Apa yang nyata dari aktivitas pertambangan? Pertambangan, kegiatan untuk mendapatkan logam dan mineral dengan cara membongkar tanah yang kemudian hancurkan: gunung, hutan, sungai, laut dan penduduk kampung. Pertambangan adalah kegiatan paling merusak (alam dan kehidupan sosial) yang dimiliki orang kaya dan hanya menguntungan orang kaya. Pertambangan adalah lubang besar yang menganga dan digali oleh para pembohong (Mark Twian). Pertambangan adalah industri yang banyak mitos dan kebohongan.

Mengapa pertambangan dan lingkungan hidup adalah dua topik yang berlawanan sepanjang masa? Sebab pertambangan selalu dilihat sebagai bidang yang akan memberikan percepatan aliran devisa, penyedian lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, percepatan daerah tertinggal, dan lebih dari itu mengurangi kemiskinan. Namun semua ini merupakan mantera yang terus digulirkan untuk memberi keyakinan bagi rakyat. Pada kenyataanya, hingga hari ini belum ada daerah tambang yang maju. Padahal, kegiatan ini mendapat dukungan dari negara dan dukungan modal korporasi/perusahan multi-nasional.

Dari kenyataan serta bukti-buki lapangan yang dihimpun oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah, bahwa di kawasan pertambangan galian pasir, batu dan kerikil (Sirtukil) di Kecamatan Banawa, tercatat 17 perusahaan yang beroperasi, akan mewariskan kerusakan lingkungan dan sosial 4 – 5 tahun mendatang. Tercatat pula, pada tahun 2016, jumlah penderita infeksi saluran pernapasan (ISPA) di Kecamatan Banawa sebanyak 367 orang bahkan mencapai angka 500 orang. Belum lagi berbicara kelangkaan air bersih yang menurut warga setempat tidak jarang menjadi pemicu konflik baru di masyarakat. Selain itu, dampak yang paling dirasakan warga setempat, adalah menurunya hasil tangkapan laut oleh nelayan tradisional yang telah turun-temurun berprofesi sebagai nelayan tradisional, yang tidak lain penyebabnya adalah pengendapan debu yang menutup tempat bertelur dan berkembangbiaknya biota laut, hasil pengerukan gunung oleh perusahaan tambang galian sirtukil.

Olehnya, kami dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah, mendesak pihak Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Propinsi Sulawesi Tengah agar:

Segera mengevaluasi kembali perizinan perusahaan pertambangan yang ada di sepanjang jalur Trans Palu – Donggala, khususnya Kelurahan Watusampu dan Kecamatan Banawa.

Tinggalkan Komentar Anda :