Suara keresahan memecah hiruk-pikuk lalulintas. Puluhan Aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah, merobek fokus para pengendara. Membungkam cibir orang-orang yang duduk sibuk di warung-warung, di emperan toko dan swalayan. Membuat sarang dongkol tepat di dada para penguasa yang tengah duduk manis dibalik setir mobil mewahnya, sebab, traffic light mendadak berhenti pada satu warna. Merah. Menegaskan perjuangan.
Gema teriakan kehancuran lingkungan terlontar gagah dari tenggorokan para aktivis ini. Tarian-tarian kepincangan mata pencaharian nelayan tradisional, terus diragakan oleh “Budi Dum” sebagai aktor utama dari aksi teaterikal itu.
Gelinding derum menyeruak di sepanjang jalan S.Parman hingga Samratulangi Kota Palu. Pemuda berpeluh pekat, terbungkus pukat, menjinjing dayung berlumur tanah, menjadi simbol peng-anaktirian pemerintah terhadap nelayan tradisional sepanjang pesisir Palu – Donggala.
Ekspresi kelaparan, kepincangan serta kehilangan ruang kelola rakyat terus diperagakan Budi Dum dalam teater itu. Tak luput orasi-orasi kepedihan, kemunafikan dan kesewenang-wenangan terus diteriakkan sejumlah aktivis JATAM Sulteng. “Mendesak Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Propinsi Sulawesi Tengah, agar segera mengevaluasi perusahaan tambang sepanjang pesisir pantai Palu – Donggala.” Itulah fokus tuntutan JATAM Sulteng.
Tambang, sampai saat ini masih menjadi sektor yang diprimadonakan pemerintah dalam memacu laju pertumbuhan ekonomi daerah. Tidak luput hal ini menjadikan negara menutup sebelah matanya pada sektor pertanian dan perikanan. Tercatat, tidak kurang dari 27 perusahaan tambang galian batuan yang beroperasi sepanjang pesisir pantai Palu – Donggala menjadi pemicu utama kerusakan lingkungan serta pergeseran sosial. Sejak 5 tahun terakhir nelayan mengalami penurunan pendapatan akibat hasil tangkapan ikan yang semakin hari semakin berkurang.
Kini, tambang mewariskan kerusakan lingkungan kepada warga watusampu dan Banawa. Hilir-mudik truk pengangkut material hasil kerukan gunung, menerbangkan debu pekat di sepanjang pesisir. Mengendap di batu karang, hingga menutup tempat bertelurnya ikan dan biota laut lainnya menjadi penyebab pincangnya mata pencaharian nelayan tradisional setempat. Alat-alat produksi nelayan terkapar, terlantar di pinggiran pantai menunjukkan hilangnya fungsi pakai.
Angel teatear kali ini, mengeksplor kondisi nyata nelayan di sepanjang pesisir pantai Palu – Donggala. Budi Dum memperagakan kesengsaraan nelayan, tersungkur lemah dibawa penindasan pemodal yang seenaknya mengeruk kaki gunung gawalise. Bermandi debu dalam kesehariannya, sarat akan penyakit ISPA, kotor dan kering akibat kehabisan sumber air bersih. Sementara pihak perusahaan terus memoles dirinya di depan pemerintah yang gila dengan trek rekor (dalam meningkatkan PAD) dari tehun ke tahun, meski ruang kelola rakyat dirampas. Kesehatan disita dari tubuh mereka. Nyatanya, kolaborasi antara pemerintah dan pengusaha tambang mewariskan kesengsaraan bagi rakyat.
Aksi teater itu tentunya mendapat perhatian yang berbeda dari sejumlah kalangan. Semuanya tergantung pada masing-masing kepentingan.
Namun, “Satu hal yang pasti, kami, JATAM Sulteng, akan terus melakukan langkah-langkah penolakan terhadap perusahaan tambang yang merusak lingkungan serta mewariskan kesengsaraan bagi rakyat Sulawesi Tengah.” Tutup Moh. Taufik dalam orasinya.
Oleh : Kiyat JD