SUARAAGRARIA.com, Sulteng: Sejak kehadiran Rio Tinto dan PT Inco tahun 1968 yang mendapatkan izin Kontrak Karya, hingga kini di Kabupaten Morowali, telah menjadi salah satu penyumbang wacana awal aktivitas produksi nikel di Sulawesi Tengah.
Kedua perusahaan raksasa tambang internasional ini berekspansi secara serius di Sulawesi Tengah pasca gejolak Politik 1965. Melalui UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Dalam pasal 8 ayat 1 UU itu disebut
“Penanaman modal asing dibidang pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan pemerintah atas dasar Kontrak Karya atau bentuk lain sesuai peraturan yang berlaku”.
Kedua perusahaan tersebut juga mendapatkan Kontrak Karya Pertambangan pada generasi ketiga setelah Freeport. Namun Rio Tinto kurang aktif di lapangan dan masih lebih berkutat dalam kampanye dan persiapan awal pra-konstruksi. Hanya Inco yang sekarang telah berubah menjadi PT. Vale Indonesia terus memberikan sinyal aktivitas pertambangan di Wilayah Bahodopi Morowali.
Di Kabupaten Morowali memasuki babak baru setelah pengusaha-pengusaha-kapital- berkebangsaan China terlibat. Diawali sejak tahun 2008, dari rezim Kuasa Pertambangan (KP). Dimana, otoritas daerah diberikan keleluasan untuk menerbitkan KP sebagai implementasi nyata dari konsep otonomi daerah. Momen besar itu bertemu dengan terbitnya regulasi baru pertambangan yakni, UU No 4 tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara yang isinya memberikan otoritas penuh pada Bupati setiap daerah untuk mengeluarkan perizinan tambang.
Hasilnya berdasarkan temuan Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah (Jatam Sulteng), dalam kurun dua bulan terakhir yang terus melakukan investigasi luasan serta izin tambang yang di keluarkan oleh pemerintah Kab. Morowali, dan ditemukan fakta bahwa jumlah IUP yang telah memenuhi kategori Clear N Clean (CNC) sebanyak 177 IUP dengan total arela penguasaan 600.089 Ha. Jumlah tersebut sangat fantastic mengingat kab. Morowali berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduknya 206.189 Orang yang sebagian besar penduduk Morowali bekerja di sektor pertanian. Selain itu, Jatam Sulteng menemukan indikasi pelanggaran hukum sebagai berikut;
Pertama: Berdasarkan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan batu bara dijelaskan, jika dalam pemberian IUP kepada pengusaha tambang seharusnya mengikuti standar yang telah ditetapkan, yaitu penetapan wilayah pertambangan (WP) dan Penetapan wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), kemudian tahap terakhir adalah pemberian IUP. Tapi, pada kenyataanya hingga saat ini Kab. Morowali setelah dilakukan penetapan 177 IUP yang masuk dalam kategori CNC tdk memenuhi standar yang diterbitkan oleh Undang-undang.
Kedua: Jatam Sulteng menemukan fakta bahwa diatas lahan Kontrak Karya juga ditemukan 43 IUP yang dikeluarkan oleh pemerintah kab. Ini menjelaskan jika kebijakan pemerintah kab. Morowali tumpang tindih dengan keputusan pemerintah pusat.
Ketiga: aktivitas pertambangan terbanyak berada di wilayah hutan, sebagaimana hasil investigasi jatam Sulteng, tidak kurang dari 5 IUP yang sedang melakukan aktifitas produksi didalam kawasan hutan yang hingga saat ini belum memiliki pinjam pakai kawasan dari kementrian kehutanan dan terus dibiarkan oleh aparat penegak hukum.
Ke empat: aktifitas eksploitasi juga berada diatas lahan perkebunan yang telah lama dikuasai oleh masyarakat, setidaknya perusahaan tambang juga ikut berperan dalam menimbulkan ketegangan di antara masyarakat itu sendiri, juga bias paling dahsyat adalah pencemaran sumber air yang berimplikasi pada gangguan kesehatan masyarakat di wilayah Ganda-ganda dan Petasia serta memerahnya laut akibat pengangkutan ore nikel yang dilakukan oleh perusahaan dari dermaga/pelabuhan ke kapal induk pengangkutan.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, kami dari Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah, dengan ini menyatakan sikap sebagai berikut;
Mendesak Bupati Morowali untuk mencabut seluruh IUP yang berada di kabupaten Morowali untuk keselamatan rakyat karena menabrak aturan UU Minerba.
Mendesak Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah untuk memeriksa Bupati Morowali atas terbitnya IUP yang tidak prosedural dan tumpang tindih (Ilegal).
*Direktur Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah
Oleh: Etal Douw
Sumber:http://suaraagraria.com. Jumat, 27 September 2013