KABAR TERANYAR DARI TAMBANG EMAS POBOYA (BAGIAN 1)
Truk tangki pengangkut air sedang mendaki di jalan bebatuan penuh debu saat motor saya berbelok ke arah Kantor Kelurahan Poboya di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Air dari dalam truk sesekali tumpah membasahi jalanan yang kering kerontang.
Di sisi kiri kanan jalan, terlihat pabrik tromol, las dan jejeran kios. Sepi. Hanya desing suara tromol terdengar dari pabrik yang masih operasi. Poboya kini telah berubah. Jalan-jalan mulai lengang, terlihat beberapa tukang ojek mangkal menunggu penumpang. Berbeda dengan tiga atau empat tahun lalu. Saat itu, Poboya sedang “demam tambang” dan diserbu oleh manusia dari berbagai penjuru yang tergiur dengan emas Poboya.
Perubahan terjadi kala transisi teknologi dari tromol menuju ke kolam perendaman emas. Transisi ini mengakibatkan banyak orang kehilangan pekerjaan dan tak sanggup bersaing dengan perusahaan yang memiliki modal besar untuk membeli teknologi dan jaminan keamanan berusaha.
Kini sawah dan jagung kembali bergairah. Masyarakat yang meninggalkan tromol kembali bertani di lembah sempadan sungai yang disebut orang-orang sebagai Poboya bawah. Warga pendatang ke kampung halaman. Beberapa mencari tempat pengolahan emas yang sama dengan Poboya.
Stevandi, Manager Kampanye Walhi Sulteng mengatakan, agar penempatkan masalah Poboya dengan benar guna memilah begitu banyak arus kepentingan.
“Apakah tambang rakyat (Poboya) murni tambang rakyat? Atau ada kepentingan,” katanya.
Dulu, dia berharap pertambangan rakyat tertata baik dan bisa memberikan manfaat kepada warga bila proses betul-betul merata untuk masyarakat.
Model pengolahan dengan organisasi kuat untuk mendorong distribusi hasil pengelolaan sumber daya alam memberikan manfaat.
Sekarang, katanya, warga Poboya terjepit dalam arus modal besar dan ketidakberpihakan pemerintah.
“Masyarakat tak mungkin berhasil kembali ke kegiatan pertanian dalam waktu cepat. Mungkin saja berhasil kalau ada dukungan pemerintah,” katanya.
Sebagian daerah tempat tambang rakyat itupun, katanya, merupakan taman hutan rakyat. Seharusnya, kata Stevandi, beban pemulihan ekologis bisa bersinergi dengan negara.
Bagi Walhi, pemulihan Poboya bisa dilakukan dengan catatan, tak memberi ruang bagi eksploitasi PT Citra Palu Minerals (CPM), beroperasi. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada akhir Desember lalu, mengeluarkan izin operasi produksi kepada anak usaha Bumi Resources ini, di Poboya—wilayah tambang rakyat juga masuk konsesi perusahaan. Izin Menteri ESDM ini sudah digugat Walhi ke PTUN Jakarta.
“Agenda memulihkan lingkungan di Poboya jadi sia-sia bila operasi produksi CPM tetap berlanjut,” katanya.
Mercuri ke sianida
Tambang Poboya mencatat perubahan teknologi dalam beberapa dekade. Akhir 90-an hingga awal 2000, warga mendulang emas di sempadan Sungai Poboya.
Warga mengolah emas dengan alat sederhana mirip belanga goreng untuk mengayun pasir di dalam air.
Geliat penambangan ilegal di Kelurahan Poboya, Palu, Sulawesi Tengah ini pertama kali terbuka pada 2005 melalui aktivitas tradisional ditangani kelembagaan adat Suku Kaili.
Pada 2011, Pemerintah Palu mengeluarkan Perda No 3/2011 soal pertambangan rakyat dengan melegalkan pengolahan emas tradisional itu.
Tambang terus berkembang. Bak magnet, orangpun berdatangan dari berbagai daerah. Puncaknya, pada 2014, Poboya, memiliki sekitar, 3.500 penambang aktif dengan tromol hampir 20.000. Pada masa inilah, intervensi pengusaha skala menengah mengembangkan teknologi baru mesti tanpa izin pengelolaan.
Mereka mengembangkan perendaman emas dalam bentuk kolam-kolam penampungan raksasa.
Data lapangan tahun 2017 dari UPT Tahura Poboya Paneki, sebuah lembaga yang mengelola kawasan hutan itu, menyebutkan, dalam sehari rata-rata sekitar 40-50 truk hilir mudik di areal pertambangan Poboya.
“Data terakhir kami tercatat sekitar 40-50 truk setiap hari keluar masuk mengangkut material emas,” kata Bambang, Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Tahura Poboya Paneki, Sulawesi Tengah.
Menurut Taufik, Manager Kampanye Jatam Sulteng, perbedaan tromol dengan perendaman. Tromol gunakan bahan dasar merkuri, sedang perendaman pakai merkuri dan sianida.
Hasil produksi perendaman lebih besar dari tromol. Tromol hanya dipelihara untuk masyarakat mengambil sisa-sisa material. Sekarang alat berat tak aktif, ada 47 kolam perendaman emas, sebagian tromol tetap aktif.
Menurut Jatam, perusahaan hanya bermain petak umpet dengan petugas keamanan. Penutupan tambang, katanya, dipenuhi kamuflase untuk mengelabui petugas. Mereka, katanya, mengatasnamakan rakyat.
“Buruh skop di Poboya sudah ratusan orang bersumber dari Palupi, Buluri dan Lasoani. Masyarakat kembali antusias setelah alat berat berhenti beroperasi,” kata N, inisial Warga Poboya yang bertugas sebagai pengawas truk di lokasi tambang.
Setiap hari, pria asli Poboya ini memegang jatah sekitar 500 kali angkutan material. Dia mengepalai sejumlah dump truk di Palu yang hendak ikut mengais rejeki di tambang Poboya.
“Saya mengambil persenan dari setiap truk, perusahaan mempercayakan saya memegang uang truk. Satu kali angkutan Rp200.000, rata-rata truk bisa tujuh kali muatan. Waktu kerja hanya sampai pukul 17.00.”
Hasil investigasi Jatam Sulteng per Januari 2018, saat ini ada 47 kolam perendaman beroperasi di tambang Poboya. Dalam satu kolam rata-rata hasilkan Rp2,5 miliar dengan harga konstan dalam satu kali produksi per triwulan. Dalam setahun rata-rata kolam empat kali produksi.
”Produksi Rp2,5 miliar x 47 kolam, dikalikan empat kali setahun jadi Rp17 triliun-an pertahun,” kata Taufik.
Informasi yang berkembang warga Poboya sudah tak gunakan merkuri, beralih ke sianida, bagi Stevandi, sama saja.
Antara merkuri dan sianida, katanya, sama-sama berbahaya. Peredaran merkuri pun masih ada, terbukti dari Polda Sulteng baru mengamankan lima kg.
“Fakta-fakta semacam itu penting diketahui sekalipun masyarakat mengakui tak lagi gunakan merkuri, tetapi temuan-temuan Polda jadi bukti, merkuri masih ada.” (Bersambung)
Disadur dari sumber : http://www.mongabay.co.id/2018/03/06/kabar-teranyar-dari-tambang-emas-poboya-bagian-1/
Foto utama: Gambar dari udara pertambangan ilegal di Poboya pada 2017.
oleh Andika Dhika [Palu] di 6 March 2018