Kota Palu, Sulawesi Tengah terancam krisis lingkungan akibat aktivitas pertambangan emas ilegal di daerah Poboya. Penggunaan merkuri dalam penambangan emas di daerah itu berpotensi mengontaminasi 400 ribu jiwa penduduk Kota Palu.
Penelitian Dinas Kesehatan Kota Palu pada 2014 menunjukkan, 7 dari 10 sampel sumur Baku Mutu Air Bersih di Kota Palu memiliki kadar Merkuri 0,005 ppm.
“Ini lima kali lipat di atas standar normal yang ditetapkan Kementerian LHK,” kata Merah Jhohansyah Ismail koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dalam pertemuan di Jakarta, Jumat (22/9/2017).
Para penambang emas ilegal menggunakan merkuri untuk memurnikan hasil penambangan. Alasan mereka, merkuri lebih murah dan cepat dalam pemurnian tambang emas.
Para aktivis lingkungan menilai, penggunaan merkuri di area tambang yang bersandingan dengan pipa-pipa air PDAM dapat mengontaminasi warga. Dampak lanjutnya, kontaminasi merkuri bisa membuat kerusakan syaraf pada warga pengguna air PDAM di daerah itu.
“Operasi penambangan juga berada di Taman Hutan Raya yang merupakan kawasan konservasi. Padahal, kawasan konservasi mestinya bebas dari segala aktivitas eksploitatif,” kata Merah.
Menurut Merah, kondisi di Palu merupakan contoh kondisi darurat tambang dan merkuri di Indonesia. Berdasarkan data yang ia kantongi, sebanyak 34 persen wilayah Indonesia telah dikapling untuk tambang, termasuk pertambangan emas. JATAM mencatat terdapat 628 izin usaha pertambangan emas juga tambang-tambang emas ilegal yang tersebar di 850 titik di seluruh Indonesia.
“Kita tentu tidak mau generasi baru tumbuh dalam kondisi cacat, lumpuh, dan mati di usia dini, anak-anak mengalami penurunan kecerdasan dan kemampuan otak akibat terus-menerus terpapar racun merkuri dan sianida,” kata dia.
Pemerintah Indonesia telah menandatangani Minamata Convention on Mercury (Konvensi Minamata mengenai Merkuri) pada 10 Oktober 2013 di Kumamoto, Jepang. Pada 13 September kemarin, Indonesia secara resmi juga telah meratifikasi Konvensi Minamata dan disahkan menjadi Undang-undang. Konvensi itu bertujuan melindungi kesehatan manusia dan keselamatan lingkungan hidup dari emisi, pelepasan merkuri, serta senyawa merkuri yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, menyatakan, Depository Konvensi Minamata tersebut telah dilakukan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di Markas PBB New York pada Jumat (22/9), pukul 22.15 WIB.
Menurut Siti, pengesahan konvensi ini memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk berperan lebih aktif berkaitan dengan pelaksanaan Konvensi Minamata. Peran aktif tersebut termasuk dalam pengembangan prosedur, pedoman dan modalitas lainnya.
Selain itu, pengesahan ini juga memberikan peluang besar bagi Indonesia untuk memperoleh manfaat dalam mengakses sumber pendanaan, teknologi transfer, peningkatan kapasitas dan kerja sama internasional untuk mendukung Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanganan Merkuri, demikian Siti mengatakan seperti dikabarkan Antara.
Sumber: Tirto.id
Baca juga: Kota Palu Darurat Merkuri, Kompas, 23 September 2017
Berita ini juga dimuat pada laman https://www.jatam.org