HITAM NIKEL DI SEKITAR BUPATI
Bupati Morowali menyewakan lahan untuk pasar dan rumah sakit kepada perusahaan tambang. Diduga mengalir suap.
TANAH galian menggunung di lahan pinggir jalan utama Desa Ganda-Ganda, Kecamatan Petasia, Morowali. Hanya ada bangunan kumuh dengan satu unit ekskavator dan sebuah mobil tangki minyak di halamannya, lahan itu seperti tak pernah tersentuh manusia.
Padahal tanah 2,5 hektare di Sulawesi Tengah itu tercatat sebagai konsesi tambang PT Asiamax Mining Indonesia. ”Setiap bulan saya ambil gaji di rumah itu,” kata Syarifudin Djafar, Selasa pekan lalu.
Syarifudin bekerja sebagai sopir ekskavator yang bertugas menggali tanah untuk mencari nikel bagi PT Asiamax. Tapi ia tak bertahan lama. Dua bulan sejak mulai bekerja pada awal tahun lalu, ia memutuskan keluar dan berpindah ke perusahaan tambang lain. Laki-laki 39 tahun warga Morowali itu mengetahui bahwa lahan tersebut mestinya untuk Rumah Sakit Umum Daerah, bukan digali oleh PT Asiamax.
Syahdan, pada 2005 Dewan Perwakilan Rakyat Morowali menyetujui permintaan pemerintah daerah membangun rumah sakit senilai Rp 9 miliar. Lahannya ditetapkan di simpang jalan Desa Ganda-Ganda.
Adapun rumah sakit di Petasia seluas 6.000 meter persegi yang dibangun Belanda sudah tak sanggup menampung pasien yang datang membeludak setiap hari. ”Kami kewalahan sehingga perlu rumah sakit baru,” kata Simon Sinaeng, Kepala Rumah Sakit Petasia periode 2005-2012.
Seharusnya pada 2012 Morowali sudah memiliki rumah sakit baru. Tak jelas alasannya, pembangunan rumah sakit itu tak pernah terlaksana. Belakangan malah datang alat-alat berat ke Desa Ganda-Ganda. Bukan untuk membangun rumah sakit, melainkan menggali tanah buat mencari nikel.
Morowali adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Tengah yang tanahnya mengandung cadangan nikel melimpah. ”PT Asiamax punya izin pinjam pakai pertambangan di lahan tersebut,” kata Simon.
Bupati Anwar Hafid mengizinkan PT Asiamax melakukan penggalian di sana. Syaratnya mudah saja: merenovasi bangunan dan harus angkat kaki ketika pemerintah daerah akan membangun rumah sakit. Nyatanya, hingga pekan lalu tak terlihat tanda-tanda pembangunan tiang pancang untuk bangunan rumah sakit yang anggarannya diambil dari pos pembangunan desa sejak 2003 itu.
Keputusan Bupati Anwar ini memantik curiga berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat di Morowali. Rinaldy Damanik, pegiat antikorupsi di sana, membawa segepok dokumen ke Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta dua pekan lalu. Ia menuding Anwar Hafid menyelewengkan anggaran pembangunan desa Rp 16,36 miliar plus pemakaian tak jelas anggaran daerah 2010 sebesar Rp 50,26 miliar. ”Itu anggaran untuk membangun rumah sakit dan pasar,” kata Rinaldy.
Rupanya bukan hanya lahan untuk rumah sakit yang disewakan ke perusahaan tambang, lahan buat membangun pasar Petasia di Desa Bahoue juga dipinjamkan. Pada 2010 Anwar meneken izin penambangan PT Graha Sumber Mining. Setahun kemudian izin itu berpindah ke PT Mulia Pacific Resources. Semuanya perusahaan penggalian nikel. ”Saya tak tahu berapa sewanya, tapi memang ada izin pinjam pakai di lokasi itu,” kata Abdul Rifai Bagenda, Lurah Bahoue.
Rinaldy Damanik mencurigai ada suap dalam pemberian izin itu. Indikasinya, izin penambangan bisa cepat keluar untuk lahan yang sudah disetujui sebagai tempat pembangunan fasilitas publik. Dugaan suap itu dikuatkan pengakuan seorang pengusaha tambang yang memiliki konsesi di Morowali. ”Saya pernah menyuap Rp 1 miliar,” kata pengusaha asal Jakarta yang minta namanya tak disebutkan ini. Hanya bertahan setahun, pengusaha ini angkat kaki dari lokasi penambangan.
Perusahaan yang menempati lahan rumah sakit dan pasar itu tak satu pun yang bersedia menanggapi tuduhan kongkalikong dengan Bupati Anwar. Kepala Cabang PT Graha Sumber Mining Indonesia Roni Sitaba menghindar setiap kali Tempo hendak menemui atau menghubunginya melalui telepon. ”Saya lagi rapat, ada tamu,” katanya.
Dua nomor telepon PT Mulia Pacific Resources, yang ditulis berkantor di Menara Standard Chartered lantai 18, Jakarta, tak bisa dihubungi. Alamat PT Mulia itu tertera pada surat izin yang diterbitkan Bupati Anwar Hafid. Ketika didatangi ke Gedung Standard, petugas informasi gedung menyatakan tak ada PT Mulia dalam daftar penyewa ruangan kantor.
Mengetahui keputusannya dilaporkan ke KPK, Anwar Hafid menanggapinya dengan ringan. Menurut dia, warganya tak paham mekanisme dan manajemen pemerintahan. Soal dugaan suap, ia menjawabnya dengan tertawa, ”Ah, itu laporan orang sirik saja.”
Bukan cuma Rinaldy yang melapor. Pada Desember 2012, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sulawesi Tengah Saliman Simanjutak juga melaporkan atasannya kepada Kepala Polri dan Jaksa Agung. Ia menuduh Bupati Anwar menerbitkan 43 izin pertambangan untuk perusahaan lain di lahan konsesi PT Vale Indonesia—dulu bernama PT Inco. Saliman meminta polisi dan jaksa mengusut penerbitan izin itu karena menimbulkan kekacauan penambangan nikel.
Perusahaan baru yang diberi izin ternyata tak membayar pajak dan royalti. Akibatnya, meski ada 117 perusahaan tambang nikel di Morowali, pendapatan asli daerah dari pajak hanya Rp 20 miliar pada 2012. ”Ini kacau sekali. Ada yang salah dengan izin-izin itu,” kata Saliman.
Jaringan Advokasi Tambang, lembaga advokasi lingkungan, sudah sering memprotes keputusan Anwar yang mengobral izin penambangan di daerahnya. Bukan hanya perusahaan lokal, para penambang juga berasal dari negara lain. Dari 44 perusahaan yang memegang izin penambangan nikel, 23 sudah memasuki tahap produksi. ”Setiap bulan satu juta kubik tanah Morowali diangkut ke luar negeri,” kata Syahrudin A. Douw, Direktur Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah.
Rinaldy Damanik dan Jaringan Advokasi Tambang juga pernah memprotes Bupati Anwar yang menarik uang jaminan perusahaan tambang di BRI Bungku Rp 3,9 miliar. Ini uang jaminan perusahaan yang tak boleh dicairkan karena akan dipakai untuk memperbaiki lingkungan yang rusak akibat penggalian setelah konsesinya selesai. Anwar malah memerintahkan anggota stafnya, Gemmahwaty, menarik uang itu.
Penarikan duit itu jelas melanggar Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 135.K/201/M.PE/1996. Anwar Hafid mengelak dengan mengatakan pencairan uang itu kesalahan Gemmahwaty. ”Itu salah staf dan sudah diselesaikan,” katanya. Tak jelas penyelesaian seperti apa yang ia maksud.
Gemmahwaty kini bergabung dengan Rinaldy Damanik melaporkan bekas bosnya itu ke KPK. Sudah empat kali ia bolak- balik Jakarta-Morowali. ”Saya menyerahkan banyak dokumen dugaan penyelewengan,” katanya.
Juru bicara KPK, Johan Budi Prabowo, mengakui ada laporan masuk soal dugaan korupsi Bupati Morowali. ”Masih ditelaah, belum ada kesimpulan,” katanya. KPK yang diberi dokumen, Kejaksaan Agung yang bergerak menyelidiki. Satu tim diterjunkan ke Morowali dan memanggil Bupati Anwar ke Jakarta untuk diperiksa. Sama seperti KPK, juru bicara Kejaksaan Agung, Setia Untung Arimuladi, mengatakan kasus ini baru tahap permulaan. *MARIA RITA HASUGIAN (JAKARTA), AMAR BURASE (MOROWALI), DARLIS MUHAMMAD (PALU).
Sumber: Majalah Tempo.co Edisi: 48 | | 14 JULI 2013