Komunitas penambang rakyat Lintidu kecamatan Palele Kabupaten Buol Sulawesi Tengah, nasibnya kembali terancam. Hal itu disebabkan oleh rencana Investasi tambang PT Suli Internasional (Oktober,2009), sebuah perusahaan tambang emas dari China. Sebelumnya, didesa yang sama telah masuk perusahaan PT Bina Daya Lahan Pertiwi (BLP,September, 2008).
Dan sekarang perusahaan ini sudah masuk dalam tahapan eksplorasi dengan konsesi sekitar 2000 hektar.
Nasib masyarakat penambang yang kini desa mereka telah mengalami pemekaran menjadi desa lintidu dan desa hulubalang ini. Nyaris, sekitar 99 persen akan menjadi barisan pekerja bebas. Pasalnya, hampir secara keseluruhan masyarakat disini memiliki profesi utama sebagai penambang, dan kehidupan pertaniannya bersifat subsisten itu pun hanya terjadi dalam selang waktu musim penambangan. Sementara itu, jumlah penduduk Desa Lintidu sendiri cukup besar dihuni lebih dari 600 KK.
Letak Desa Lintindu secara topografi, wilayahnya berada diketinggian dengan tingkat kemiringan 45 derajat. Posisi desa maupun lokasi penambangan yang akan dibuka berhadapan langsung ke pesisir pantai lintidu, atau Selat Makassar yang merupakan wilayah laut lepas. Hal itu yang mempengaruhi kenapa masyarakat disini memilih menjadi penambang karena dengan berprofesi sebagai nelayan acces terhadap pasar sangat relatif jauh dan sulit. Sehingga hasil –hasil tangkapan memiliki tingkat monetisasi yang sangat rendah karena hanya untuk kebutuhan sehari-hari dan tidak untuk berdagang, dan memang masyarakat disini tidak mengenal perdagangan ikan keluar daerah (Laporan Amir Pakude, 2009).
Rencana pembukaan tambang yang sudah dilakukan dua kali ini bukan tanpa masalah. Secara umum masyarakat sudah melakukan penolakan, namun sampai hari ini perusahaan masih tetap ngotot untuk beroperasi didesa tersebut (2009). Harapan masyarakat, agar lokasi itu tidak ditambang oleh perusahaan. Tujuannya sederhana, tanah itu merupakan sumber penghidupan mereka. Dan tidak pilihan kerja alternatif yang menjanjikan selain menjadi penambang tradisional.
Reaksi keras masyarakat yang terekam dalam Laporan Amir Pakude, SH, (2009). Amir Pakude adalah salah satu pengacara yang juga putra daerah Desa Lintidu, selama ini aktif melakukan protes baik dimedia maupun dalam pertemuan-pertemuan dengan masyarakat. Menyebutkan reaksi itu Terjadi, Pada tanggal 18 Desember 2009, disaat kegiataan pengukuran tanah yang dilakukan oleh perusahaan (PT Suli Internasional) sedang berlangsung. Masyarakat mengejar pihak perusahaan yang saat itu sedang melakukan pengukuran di pesisir pantai. Aksi yang terbilang spontan ini, melibatkan anak-anak, ibu-ibu dan pemuda orang tua di Desa Lintidu. Situasi yang sama pun juga terulang pada pertemuan sosialisasi pembukaan tambang PT Suli Internasional yang dihadiri, Camat Palele, Kapolsek Palele, Dinas Pertambangan Kabupaten Buol, Biro Hukum Kabupaten Buol dan masyarakat Desa Lintidu. Dalam pertemuan itu reaksi keras terlihat dari masyarakat, mereka secara tegas menolak masuknya perusahaan tersebut didaerah mereka, Sebelumnya, kepala desa Lintidu secara pribadi menolak masuk tambang, (2008). Bahkan seluruh aparat pemerintah desa pada saat itu turut serta melakukan upaya penolakan.
Sementara itu sikap penolakan yang sama pun juga dikeluarkan oleh wakil Ketua DPRD Buol Marwan Dahlan melalui release di media Mercusuar (12/1/2010). Menurutnya, ada dua alasan penolakan itu pertama, izin eksploitasi itu bakal mengancam lingkungan, karena secara otomatis PT SI akan melakukan eksplorasi besar-besaran yang berdampak pada lingkungan sekitar, termasuk manusia yang disekitar tambang.
“apakah masyarakat harus menjadi buru ditanah leluhurnya sendiri? ini juga harus menjadi poin yang harus dipertimbangakan pemerintah,” katanya.
Kedua, jika alasan pemerintah menyilahkan PT SI melakukan eksplorasi di Desa Lintidu untuk menaikan pendapatan hasil daerah (PAD) Kabupaten Buol dari sektor pertambangan, juga harus dibarengi dengan pemikiran bagaimana nasib rakyat dengan kebijakan itu.
Kalau menggunakan studi komparasi, aktifitas penambangan dalam negeri yang dilakukan oleh perusahaan besar, hanya menyisahkan balutan kesengsaraan yang cukup panjang bagi rakyat. Sama sekali, eksploitasi pertambangan hanyalah sebuah model perampokan yang didukung oleh regulasi. Dilihat dari segi keuntungan, negara tidak memiliki cukup alasan yang kuat untuk menjadikan tambang sebagai sumber devisa, hal itu disebabkan;
Pertama, sejauh ini seluruh perangkat kerja dalam dunia pertambangan dibalut melului kekuatan modal, yang dimana peran negara ditekan hanya dalam fungsi mengawasi. Sementara, keseluruhan kekuasaan aktifitas di monopoli oleh perusahaan mulai dari sektor hulu hingga hilir. Negara hanya sebagai subyek penerima pajak atau yang disebut sebagai royalty. Akibatnya gunung habis dicukur, hutan habis dibabat, rakyat digusur, negara hanya tetap dalam kondisi miskin dan tak pernah bisa berkecukupan.
Kedua,dalam kasus buol ini, secara jelas pemain utamanya adalah pengusaha dari china yang disebutkan dalam beberapa tahun terakhir merupakan negara yang juga punya ambisi monopoli sumber daya alam, terbukti peringkatnya saat ini kedua dari jepang dalam soal penguasaan batubara. Tentu saja pertimbangan pasar bebas, mesti dilihat sebagai ancaman yang cukup serius, dikarenakan pembebasan pajak ekspor-import berlaku dan itu akan menekan jumlah hasil yang didapatkan negara jika tambang ini beroperasi dan sekaligus awal dari perluasan monopoli baru di Kabupaten Buol.
Melihat kenyataan diatas, naluri pemerintah memberikan eksploitasi emas secara besar-besaran Pada PT Suli hanya menjadi trand kebijakan yang keliru, dan kita patut mencurigai bahwa sesungguhnya pemerintah kabupaten buol tidak menyadari apa sedang dilakukannya? Atau justru sama sekali tidak mengetahui bagaimana cara kerja dan dampak yang dihasilkan dari perusahaan-perusahaan tambang? Jika itu terjadi, maka dengan secara sengaja pemerintah kabupaten Buol telah melakukan upaya penghancuran terhadap komunitas Lintidu Palele, dengan “logika klasik” dalih pertumbuhan ekonomi. Yang isinya penggusuran, perampasan tanah, pencemaran, pemiskinan dan penghancuran komunitas.
Oleh: Andika
Penulis adalah Koordinator Bidang Kampanye dan riset Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah