Ancaman segera menghantui masyarakat Tojo Una-Una setelah penyakit “obral SDA” menjangkiti rezim Pemerintah Kabupaten itu. Kabupaten Tojo Una-una yang semula masuk dalam wilayah Kabupaten Poso namun berdasar pada UU No.32 Tahun 2003 Kabupaten ini berdiri sendiri. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 5.726 km². Meski terbilang muda, Pemerintah Kabupaten Tojo Una-una telah mengeluarkan sebanyak 21 izin pertambangan, tiga diantaranya kini tengah berencana eksploitasi.
Meski mengundang sejumlah kontroversi dari kalangan masyarakat sipil juga beberapa anggota legislatif setempat. Namun Eksekutif Daerah melalui kepala Dinas Pertambangan sudah terlanjur ambisi menggolkan projek ini, disebutkan ketiga perusahaan tersebut yakni, PT Ina Touna Mining, PT Trinusa Aneka Tambang dan PT Dinar Karya, telah memiliki izin yang lengkap. Padahal, konfirmasi dari masyarakat serta beberapa LSM pendamping setempat menyebutkan bahwa belum ada sosialisasi yang memadai terkait perijinan perusahaan tersebut.
Tambang Pemicu Konflik
Disemua tempat, tidak saja di Kabupaten Tojo Una-una, penggunaan lahan yang luas untuk kebutuhan penggalian bahan tambang menjadi ciri industri pertambangan moderen dewasa ini. Kebutuhan tanah itu biasanya menjadi pangkal konflik, hal itu dimungkinkan karena beberapa alasan; Pertama, karakter unsur mineral tidak terkosentrasi pada satu titik, melainkan berada terpisah. Disamping itu, unsur material ikutan menjadi pertimbangan penting para pengusaha tambang. Hal ini memicu spekulasi penggalian secara sporadik sehingga dibanyak tempat usaha pengerukan tanah terutama nikel di Sulawesi Tengah dilakukan secara massif dalam bentuk Ore. Dikirim menuju negara-negara pemasok dan pengguna nikel terbesar seperti China dan Jepang, untuk kebutuhan pengembangan industri dan teknologi dinegara itu. Tapi berapa jumlah material ikutan, dan jenisnya apa, itu tidak pernah disebutkan;
Sementara itu, penyakit kronis yang selama ini mengidap pertambangan yaitu daya rusak esktreme, kurang menjadi pertimbangan pemerintah, ketika hendak menerbitkan izin pertambangan. Semua diklaim sah dan terjawab, hanya dengan melampirkan laporan-laporan studi rencana kelola lingkungan melalui AMDAL, UPL, dan UKL. Padahal, sudah terbukti dibanyak tempat, aktivitas ekstraksi bukan saja mengancam siklus kehidupan alamiah dikawasan hutan, tetapi dengan telanjang menghancurkan rerantai produksi masyarakat lokal. Terutama sekali fungsi-fungsi Biotis dan ekosistem;
Kedua, problem krusial lainnya adalah soal-soal ketimpangan agraria yang selama ini menjadi pangkal konflik dipertambangan. Proses penguasaan tanah yang luas oleh satu perusahaan tambang, disertai munculnya klaim individu pertanahan berbasis sertifikat dan macam-macamnya, banyak bertentangan dengan status lahan dan prinsip tenurialmasyarakat lokal. Khususnya, bagi masyarakat Adat yang sebagian besar berdiri dibawah naungan hukum adat atau hak ulayat;
Hal itu kemudian kerapkali menjadi efek domino pertambangan karena situasi tersebut mendorong meningkatnya antagonisme dipedesaan. Klaim-klaim pertanahan variatif semacam itu menjadi tonggak proses diferensiasi di pedesaan akibat kehilangan tanah disatu sisi, dan berlangsungnya praktek ekonomi upahan. Sehingga kedudukan masyarakat petani desa yang semula dikira homogen berubah menjadi bagian pengawet bibit konflik dalam pertambangan;
Ketiga, konflik transparansi, ini berkaitan dengan informasi awal terkait persetujuan masyarakat. Dalam prakteknya, biasanya muncul dari pengambilan keputusan terkait persetujuan penggunaan lahan. Pemerintah sering berpatokan hanya pada proses perijinan dengan sejumlah klaim lainnya yang diberlakukan secara khusus pada jenis industri ini. Sementara arus aspirasi dan kehendak dasar masyarakat berdasarkan fakta-fakta empiris diabaikan, kurang diakomodir, justru diabaikan;
Bukan saja tidak meminta persetujuan dengan masyarakat setempat, dibanyak kasus, keputusan layak atau patut tidaknya sebuah industri tambang justru didesain sedemikian rupa melalui macam-macam cara yang tidak demokratis; mulai dari tanda-tangan penduduk, perkelahian, bahkan pula disertai intimidasi tanpa sebab. Problem yang ditimbulkan itu, bukannya diselesaikan justru seringkali didorong menjadi konflik terbuka akibat munculnya dualisme kelompok dimasyarakat antara yang pro dan kontra terhadap pertambangan.
Pengalaman Dari PT. Artha Prima Nickelindo
Dibalik rencana pertambangan oleh Pemerintah Kabupaten Tojo Una-una, ternyata terdapat masalah penting yang bisa dijadikan pengalaman. Laporan Hasil Investigasi Yayasan Merah Putih dan Forum Masyarakat Ulu Bongka tahun 2008, pada PT. Artha Prima Nickelindo ditemuan informasi penting;
Pertama, lokasi pertambangan PT. Artha Prima Nickelindo berada di kawasanRapalemba dan Rapapato’o (dalam bahasa lokal yang berarti puncak) merupakan dua dari sekian daerah yang berada di ketinggian mengelilingi beberapa desa di KecamatanUlubongka dan Ampana Kota dengan ketinggian sekitar 350 meter dari permukaan laut.Ancaman terganggunya tata air, hilangnya fungsi pokok kawasan hutan, menurunnya kesuburan tanah, dan erosi. Sehingga berpotensi menimbulkan bencana pada daerah-daerah sekitar yang lebih rendah, seperti Desa Marowo, Bonevoto, Padang Tumbuo, dan Kelurahan Malotong. Bencana tersebut dapat berupa banjir, longsor, dan kekeringan;
Kedua, dalam titik lokasi pertambangan ditemukan perkebunan masyarakat dengan jenis tanaman produktif berupa cengkeh, kakao, padi, kemiri, kelapa, pisang, dan ubi-ubian.Tanaman tersebut sebagian berada di areal rencana pertambangan nikel PT. Artha Prima Nickelindo, dan sebagian berada di Dusun Ue Bae Desa Padang Tumbuo dan Fombo Do’o Desa Marowo. Kedua tempat tersebut terdapat pemukiman penduduk dengan jumlah kurang lebih 350 jiwa, dan berbatasan langsung dengan areal rencana pertambangan nikel, atau berada di kaki gunung (pu’u) Rapalemba dan Rapapato’o;
Ketiga, sampai saat ini Pemda Tojo Una-una belum memiliki Perda (Peraturan Daerah) tentang Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tojo Una-Una yang mengatur kesesuaian fungsi kawasan, arah perkembangan, dan struktur wilayah. Perda Tata Ruang merupakanlandasan hukum dan dasar berpijak bagi siapapun yang akan melakukan pemanfaatan ruang dan kawasan (kawasan lindung dan budaya), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 24 tahun 1999 tentang Penataan Ruang.
Bagaimana pun, ketiga perkara diatas akan menimbulkan masalah dimasa depanantara rencana pertambangan nikel (secara khusus PT. Artha Prima Nickelindo) dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tojo Una-Una. Hal diatas sekaligus membuktikan bahwa kesiapan Pemda terkait rencana besar ini sama sekali tidak memadai. Tidak memadai dalam soal pengetahuan baik secara tekhnis maupun secara prinsipil substansial dari seluruh rangkaian cara kerja industri pertambangan yang sarat dengan kapitalisasi dan konsentrasi banyak hal.
Pasar Nikel yang “Gambling”
Dimanapun, prinsip penyerapan laba yang massif menjadi lakon utama menengarai prinsip pertambangan kekinian. Surplus ke-ekonomian pertambangan lebih banyak terserap keluar ketimbang dinikmati oleh pemilik hutan, sungai, tanah dan air yang menghuni wilayah sekitar kawasan pertambangan. Pasokan komoditi tambang khususnya nikel sejauh ini banyak diserap oleh kebutuhan pasar industri maju seperi China dan Jepang.
Sehingga, usaha Pemerintah Tojo Una-una untuk memaksimalkan daya keruk dan eksploitasi sumber daya alam menimbulkan sejumlah masalah terutama soal aspek keuntungan secara ekonomi. Bergantungnya nasib hasil-hasil tambang pada pasar memicu pertanyaan, Bagaimana menghitung manfaat dari pertambangan, sementara harga dan lakon usahanya tak menentu?Siapa yang akan diuntungkan, dan siapa yang akan bertanggung jawab dengan resiko tersebut? Berikut adalah beberapa alasan yang melatari pertanyaan diatas ;Pertama, Laporan Commodities Insight Bank Mandiri Maret 2010 menyebutkan, konsumsi nikel Industri stainelss steel China telah menyerap sekitar 2/3 dari permintaan nikel dunia. Sejak krisis harga komoditas, harga nikel mencapai titik terendah pada 24 Oktober 2008 yang menyentuh level USD 9.025 per ton. Akibat pengaruh krisis keuangan global, harga nikel di awal tahun 2009 telah jatuh lebih dari 80% yang terutama dipengaruhi oleh anjloknya permintaan karena konsumen utama nikel yakni industri pengolahan stainless steel sangat agresif melakukan pengurangan inventory.
Kedua, masih dalam laporan yang sama pada awal Agustus 2009, harga nikel telah meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding posisi terendah sebelumnya. Kenaikan harga pada beberapa bulan tersebut didorong lebih karena didorong oleh ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan akan membaik di tahun 2010.
Selain itu, peningkatan harga tersebut tidak menetap pada satu level tertentu karena permintaan nikel global sangat dipengaruhi oleh aktivitas industri stainless steel di China yang menjadi konsumen nikel terbesar dunia. Dalam rentang tahun 2000-2009, permintaan nikel China tumbuh rata-rata 25% per tahun. Diperkirakan ke depan, arah dan besaran harga nikel akan sangat tergantung pada seberapa jauh recovery ekonomi global memenuhi ekspektasi pasar. Artinya tidak ada satu ramalan pasti terkait dengan nasib komiditi nikel dalam negeri, pemerintah sangat berjudi. Porsi eksploitasi nikel hanya dipersembahkan pada kebutuhan pasar, bukan untuk meningkatkan daya saing ekonomi dalam negeri.
Ketiga, belum lagi bicara aspek safety provit dan besaran nilai surplus secara nominal yang lebih banyak terkosentrasi pada kapitalis asing. Karena proses pertambangan dalam negeri didominasi arus modal luar negeri. Tipe pebisnis tambang hanya menyerap keluar seluruh energi yang dihasilkan dari pertambangan. Kalau pun ada perusahaan yang bekerja menggunakan pola Penanaman Modal Dalam Negeri, sebagian besar hanya bertindak sebagai broker perijinan, dan penghutang terbesar di Bankir-Bankir internasional.
Sehingga hal-hal mendasar yang mestinya diterima oleh masyarakat seperti jaminan kesejahteraan, keselamatan kerja, kesehatan setempat, dan lingkungan hidup menjadi kosong dalam praktek pertambangan. Meski ada mekanisme Corporation Social Responsibility (CSR), tapi sejauh pengalaman menunjukan bahwa hak mendasar rakyat tidak lebih dari suguhan “gula-gula” perusahaan untuk meng”inpus penderitaan masyarakat sekitar tambang.
Keempat, produk regulasi yang mengatur pertambangan dalam negeri juga tidak memberikan gambaran yang ketat tentang prinsip dasar tujuan ekspolitasi pertambangan yang diharapkan. Regulasi hanya mengatur tentang royalti, pajak-pajak produksi, Land rent, dan seterusnya. Meskipun dalam Undang-Undang no 4 tahun 2009 sudah diatur soal kewajiban para pemilik Izin Usaha Pertambangan untuk menjual produksi pada kebutuhan dalam negeri.
Tetapi sekali lagi, itu hanya menjadi produk perundang-undangan, prakteknya hampir sebagian besar hasil tambang komoditi nikel dari Sulawesi lebih banyak diserap untuk kebutuhan industri di China. Dari uraian ini, dengan jelas, bahwa asumsi kesejahteraan masyarakat yang didengungkan oleh Pemerintah Tojo Una-Una sulit dibuktikan, kalau pun kasar bisa disebut hanya “pepesan kosong”. Orientasi pendapatan berbasis pajak bukanlah sebuah jalan keluar bagi kesejahteraan rakyat, karena sesungguhnya kerugian yang ditimbulkan dari dampak pertambangan jauh lebih besar nilainya ketimbang manfaat ekonominya secara langsung.
Jalan adil Bagi Rakyat dan Lingkungan
Kalau pun dipaksa harus memilih, maka sebaiknya pemda Tojo Una-una lebih memperhatikan aspek peningkatan ekonomi lokal, terutama sumber-sumber ekonomi berbasis kehutanan guna pemberdayaan setempat. Sudah saatnya masyarakat terutama petani penggarap pedesaan diberdayakan sebagai modal sosial menggenjot pertumbuhan ekonomi daerah. Ketimbang menyerahkan nasib secara berjudi pada “mitos” industri pertambangan.
Ada dua hal yang mendasari alasan ini: Pertama, Kabupaten Tojo Una-una adalah salah satu daerah yang masih memiliki tutupan hutan yang lumayan baik. Hal itu dibuktikan penetapan Tojo sebagai salah satu wilayah Demonstrasi Aktivity (DA) Reducing Emision Deforestation and Degradation (REDD). Selain itu, sejauh ini banyak sekali masyarakat lokal disana yang hidup dalam hutan dan masih mengandalkan hasil-hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan misalnya, Suku To Ta’a. Pengembangan potensi lokal semacam ini jauh lebih bermanfaat langsung pada masyarakat setempat, misalnya koperasi usaha Rotan, damar dan lain-lain. Dan menjaga kelestarian hutan lebih bermanfaat tidak saja bagi kebutuhan ekonomi masyarakat tapi juga penguatan modal sosial kabupaten tersebut.
Kedua, Pemda Tojo Una-una patut belajar dari berbagai pengalaman yang sudah diungkap diatas. Bahwa sejauh ini eksploitasi pertambangan sulit diukur relevansinya dengan porsi pertumbuhan ekonomi masyarakat, maupun daerah. Sebab, selain karena komiditi tambang bergantung pada siklus pasar, resapan surflus tambang porsinya sama sekali kabur dalam aturan pertambangan kita yang memang sangat jongos. Dengan demikian, jika proses penggalian nikel (eskploitasi) tetap dilakukan di Tojo Una-una itu sama halnya Pemda telah turut serta memimpin penghancuran generasi dimasa akan datang. Karena layanan alam mereka dikuras.
Oleh: Andika
(Penulis Pernah Menjadi Manager Riset dan Kampanye Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah)