Realitas pertambangan di Sulawesi Tengah kian semerawut dalam berbagai pola sogokan sosial. Masyarakat selalu ditiupkan angin surga dengan berbagai program sosial seperti yang dijalankan oleh PT. Kemilau Nusantara Utama di Moutong. Hal itu dianggap sebagai kompensasi eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) yang sebetulnya secara nilai ekonomi sangat tidak ber-imbang. Anehnya, Pemerintah selalu menjadi garda terdepan dalam mendorong suksesnya projek yang tidak hanya merugikan rakyat, tetapi daerah dan bangsa secara umum.
Di Parigi Moutong eksploitasi SDA kategori mineral emas, melalui PT. Kemilau Nusantara Utama rencananya akan mengeksploitasi deposit emas pada gunung Tagena luas konsesi sebesar 80 hektare. Proyek penambangan ini berada di dua kecamatan yakni kecamatan Moutong dan kecamatan Taopa. Perusahaan yang dimotori langsung oleh seorang investor berkebangsaan korea tersebut, menggandeng politisi handal Partai Golkar yang juga Tokoh nasional Marwa Daud Ibrahim. Pada kegiatan sosialisasi program pemberdayaan masyarakat di Kecamatan Moutong yang di fasilitasi langsung oleh Wakil Bupati, dihadiri sejumlah petinggi TNI dan Polisi di Kabupaten Parigi Moutong. Dalam Sosialisasi tersebut gambaran tentang masa depan masyarakat pasca dan berlangsungnya praktek penambangan ini dengan ragam sogokan sosial, di sampaikan langsung oleh ibu Prof.Dr. Marwa Daud Ibrahim yang diamini oleh jajaran SKPD Kabupaten Parigi Moutong dibawah pimpinan wakil Bupati Syamsu Rizal.
Sebelum lebih jauh, masyarakat, pemerintah dan unsur pemerhati pertambangan di Kabupaten Parigi Moutong bagai terhipnotis dan termakan rayuan surga pertambangan. Perlu untuk diketahui bahwa praktek penambangan di Parigi Moutong adalah hal baru, kemungkinan kerugian dan kompensasi yang dihasilkan tidak sesuai keinginan masyarakat;
Pertama, secara tehknis menurut ibu Marwa Daud Ibrahim bahwa praktek penambangan yang akan dilakukan di daerah Moutong ini menggunakan tekonologi modern yang tidak menggunakan air, senyawa kimia dan tidak merubah kondisi alam. Pernyataan semacam itu tentu saja sulit untuk dirasionalisasi secara ilmiah. Sebab dalam praktek pertambangan, secara umum proses esktraksi bahan galian dijalankan lazimnya di dekat permukaan dan juga ada yang terkumpul di bawah permukaan tanah yang relatif agak dalam. Selain itu bahan galian tersebut ada yang keras. Ada yang lunak bahkan setengah kompak. Karena terdesak keperluan bahkan ada galian yang berada di bawah air. Atas dasar cara kerjanya, bahan galian industri biasanya ditambang dengan cara: digali, disemprot dengan pompa bertekanan tinggi, dan disedot dengan pompa hisap.
Berdasarkan tempat kegiatan pertambangan, maka eksploitasi juga dilakukan dengan cara Tambang Terbuka, Tambang Bawah Tanah, dan juga Peledakan. [1] Tambang terbuka, semua kegiatan penambangan dilakukan di permukaan bumi. Pada kegiatan penambangan ini khususnya untuk bahan galian industri disebut sebagai kuari. Berdasarkan atas produk yang dihasilkan, letak dan bentuknya dibagi menjadi kuari tipe sisi bukit, dan kuari tipe lubang galian. [2] Sedangkan tambang bawah tanah, dikenal dengan lubang tikus (atau geophering), yang diterapkan untuk endapan bahan galian industri atau urat bijih dengan bentuk dan ukuran tidak teratur serta tersebar tidak merata. Arah penambangan biasanya mengikuti arah bentuk endapan atau urat bijih yang ditambang (Sukandarrumuid, 1999 dalam Gali-gali, 2001).
Sejauh ini praktek pertambangan adalah usaha pemisahan kandungan material yang saling mengikat menggunakan cairan dan senyawa kimia. Apalagi, Pertambangan Emas yang di buka melalui perusahaan sekelas PT. Kemilau Nusantara Utama yang secara nama boleh dikata pendatang baru didunia pertambangan dan tidak sehebat perusahaan raksasa tambang lainnya, yang memiliki standar dan kualifikasi pengelolaan lingkungan. Aspek seperti pengelolaan limbah, pencegahan polusi, dan pencemaran sulit diartikulasikan dalam pertanggung jawaban perusahaan secara lebih luas. Sementara Penggunaan bahan-bahan senyawa kimia berupa, Cairan Merkuri, Sianida, adalah sesuatu yang lazim dalam industry baik skala besar maupun kecil.
Kedua, Dampak kerusakan lingkungan yang paling menonojol akibat dari Eksploitasi SDA adalah perubahan bentang alam secara drastic. Hal ini tentu akan merugikan masyarakat Moutong mengingat [1] Tambang Emas seluas 80 hektar ini berada di pegunungan Tagena Moutong Timur. [2] Mayoritas masyarakat di daerah ini adalah petani. Tidak adanya sistem irigasi yang memadai telah meciptakan Ketergantungan siklus alam secara massif, hal itu yang menentukan berhasil-tidaknya tanaman pertanian masyarakat di dua kecamatan yakni Moutong dan Taopa. Kondisi ini sudah berlangsung secara turun temurun.
Dalam pertambangan kategori mineral hal lain yang juga menarik adalah penggunaan air. Tambang emas di kenal adalah pertambangan yang paling rakus menggunakan air. Keberadaan pegunungan Tagena jika di lihat, adalah kawasan cadangan suplay air bagi kebutuhan pertanian dan perladangan masyarakat setempat. Kemungkinan rusaknya sistem hidrologi didaerah ini sangat besar di akibatkan dari proses pembabatan hutan, penggalian dan pencemaran akibat polusi pabrik emas. Pada sisi lain wilayah ini sangat rentan dengan banjir, hampir setiap tahun daerah ini di beritakan selalui mendapatkan jatah banjir. Terakhir banjir terjadi pada tanggal 14 May 2009 yang merendam tiga Desa yakni Desa Moutong Barat, Salumpengut, dan Desa Gio (Koran Indonesia, 2009).
Ketiga, nilai ekonomi yang didapatkan dari hasil pertambangan Emas Moutong juga tidak memiliki sandaran jelas. Komposisi kepemilikan saham sepertinya tidak mendapatkan tempat dari proyek pertambangan ini, selain dari pada ketentuan royalty sesuai aturan pertambangan. Jika dilihat dari segi jumlah, komoditisasi Emas ini akan lebih menguntungkan pihak investor ketimbang daerah dan rakyat. Sebab keberadaan PT. Kemilau Nusantara Utama katanya hanya menjanjikan pekerja sebanyak 100 orang bagi penduduk lokal, jumlahnya jauh lebih sedikit di banding jumlah pekerja yang berada pada pertambangan tromol rakyat, di Kelurahan Poboya Palu. Sementara jumlah penduduk di dua kecamatan areal konsesi emas ini, berdasarkan data BPS Parigi Moutong 2008 secara keseluruhan adalah kurang lebih 43.000 jiwa dan mayoritas berprofesi sebagai petani.
Kegamangan juga terlihat jelas, pada saat sosialisasi pemberdayaan masyarakat lingkar tambang yang dilakukan oleh perusahan PT. Kemilau Nusantara Utama, pada tanggal 28 Oktober 2009 Di gedung pertemuan masyarakat Moutong. Juru bicara perusahaan Marwa Daud Ibrahim sulit menjawab pertanyaan masyarakat terkait kualifikasi tenaga kerja. Menurut masyarakat mereka adalah petani dan bagaimana mungkin bisa beradaftasi secara cepat dalam industrialisasi pertambangan tersebut. Kemungkinan arus migrasi tenaga kerja dari luar, akan sangat memungkinkan untuk menggeser keberadaan masyarakat di kecamatan Moutong jika melihat kenyataan tersebut.
Ironisnya, janji kesejahteraan yang di tawarkan oleh perusahaan lebih mengarah pada semangat Corperation Sosial Resposibility (CSR) standar lazim kompensasi perusahaan. Pada umumnya, Hal itu bertujuan untuk menjaga hubungan hak diantara masyarkat dengan penambang agar tetap kelihatan lebih peduli dan manusiawi. Program yang di tawarkan pun tidak lebih jauh lebih maju, dari apa yang sudah dikerjakan masyarakat di Kecamatan Moutong misalnya, pembagian hewan ternak, pembangunan sekolah yang sesungguhnya nilai tukarnya secara ekonomis tidak berimbang dengan deposit emas yang dikeruk serta nilai kerugian jangka panjang yang harus dirasakan masyarakat.
Melihat kenyataan diatas, pertambangan Emas di Moutong sudah harus berubah orientasinya pada posisi yang lebih menguntungkan bagi daerah dan masyarakat. Banyak hal yang bisa dilakukan dari pemanfaatan SDA ini misalnya, [1] pemerintah Parigi Moutong mendorong kepemilikan saham secara mayorotas atas pertambangan ini. Hal itu dilakukan diluar kompensasi tanggung jawab sosial dan lingkungan serta royalty sesuai aturan pertambangan. [2] jika ternyata pertambangan ini sama sekali tidak bisa menjawab problem kesejahteraan seperti yang dijanjikan sebaiknya di tutup saja.
Oleh: ANDIKA (2009)
Penulis adalah Koordinator Departemen Riset dan Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam Sulteng)
Sumber :
Indonesia Koran (2009)” Tiga Desa di Kabupaten Parigi Moutong Terendam Banjir”
Bulletin Gali gali Volume 3, Nomor 10 Maret 2001 dari Buku berjudul Bahan Galian Industri, karangan Sukandarrumuidi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1999
Sangadji Anto, (2008) “Pemerintah, NGO,apa yang harus berubah pada pertambangan Poboya”
Sudarmadji, (2007) “Pembangunan berkelanjutan, lingkungan hidup dan otonomi daerah” Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Dies UGM ke-58 PEMBANGUNAN WILAYAH BERBASIS LINGKUNGAN DI INDONESIA di Yogyakarta”
Baiquni, M. dan Susilawardani. (2002)” Pembangunan yang Tidak Berkelanjutan: Refleksi Kritis
Pembangunan Indonesia. ideAs dan TransMedia Global Wacana. Yogya