Kota Palu dikenal sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah, daerah yang paling masif diterbitkan izin usaha pertambangan untuk kegiatan pertambangan pasir, batu dan kerikil.
Koordinator Pelaksana Jatam Sulteng, Moh. Taufik dalam keterangan tertulis yang diterima PaluPoso, Selasa (17/9), mengatakan, penerbitan izin pertambangan di Kota Palu sebenarnya menjadi ancaman bencana yang juga cukup serius.
“Hasil temuan Jatam Sulteng, di beberapa tempat penerbitan izin usaha pertambangan juga ditetapkan dalam Perda RTRW Kota Palu Nomor 16 Tahun 2010-2030 sebagai kawasan rawan bencana,” kata Taufik.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh Jatam kata Taufik, terdapat 39 IUP operasi produksi untuk Izin pertambangan Pasir, batu dan kerikil yang berada di Kota Palu diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. Selain itu, satu Kontrak Karya yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Energi Sumber Daya Mineral Republik Indonesia untuk PT Citra Palu Mineral (PT CPM) dengan komoditas emas di Kecamatan Palu Timur, sebelum dimekarkan menjadi Kecamatan Mantikulore pada tahun 2012.
Berikut beberapa hasil temuan Jatam terkait penerbitan izin tambang yang akan menimbulkan potensi bencana;
Pertama, penerbitan 39 Izin Usaha Pertambangan untuk kegiatan pertambangan pasir, batu dan kerikil, yang diterbitkan oleh pemerintah daerah, semua berada di Kecamatan Palu Barat sebelum dimekarkan menjadi Kecamatan Ulujadi. Dalam Perda RTRW Kota Palu Nomor 16 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu Tahun 2010- 2030, Kecamatan Ulujadi sendiri sebelum berpisah dari Kecamatan Palu Barat di tetapkan sebagai wilayah kawasan rawan bencana tanah longsor.
Kedua, ancaman bencana alam juga mengintai masyarakat Kecamatan Mantikolere yang sebelumnya bergabung dengan Kecamatan Palu Timur, sebelum dibentuk kecamatan sendiri pada tahun 2012. Khususnya Kelurahan Poboya setelah diterbitkannya Peningkatan IUP Operasi Produksi PT Citra Palu Mineral oleh Kementerian ESDM Republik Indonesia dengan Nomor 422.K/30.DJB/2017. Karena penerbitan IUP OP untuk PT Citra Palu Mineral yang ternyata juga diduga bertentangan dengan Perda RTRW Kota Palu. Dalam Perda RTRW menyebutkan bahwa Kecamatan Mantikulore juga masuk dalam kawasan rawan bencana tanah longsor.
Ketiga, bukan hanya itu penerbitan izin pertambangan ini menjadi kekhawatiran aktivis tambang khususnya Jatam di Sulteng pasca bencana gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi, yang terjadi pada 28 September 2018. Kekhawatiran ini timbul setelah pemerintah merilis peta zonasi rawan bencana yang dibagi menjadi empat kategori zona. 1, Zona Terlarang; 2, Zona Terbatas; 3, Zona Bersyarat; dan 4; Zona Pengembangan.
“Dalam pembagian zona ini, Kecamatan Ulujadi masuk dalam Zona Terlarang dan Kecamatan Mantikulore masuk dalam Zona Terbatas yang rawan likuefaksi,” ujar Taufik.
Olehnya, kata Taufik, Jatam Sulteng mendesak pemerintah pusat maupun pemerintah daerah agar segera melakukan peninjauan kembali penerbitan izin-izin tambang baik mineral logam maupun non-logam pascabencana di Kota Palu.
“Dan, untuk pemerintah provinsi sendiri berdasarkan kewenangan yang diberikan penting kiranya untuk kembali melakukan moratorium izin tambang pasir Palu Donggala, yang sebelumnya sudah dikeluarkan di tahun 2016 yang berlaku sampai dengan tahun 2018,” ujarnya.
Hingga berita ini ditulis, Kepala Dinas Energi Sumber Daya Meneral (ESDM) Provinsi Sulawesi Tengah, Yanmart Nainggolan, belum bisa dihubungi untuk dimintai keterangan ihwal temuan Jatam terkait penerbitan izin tambang yang akan menimbulkan potensi bencana di Kota Palu tersebut.