Siaran Pers JATAM Sulteng
Eksploitasi Tambang; dan Carut Marut Tenaga Kerja di Sulawesi Tengah.
“Kerusakan Alam, Perampasan tanah petani hingga ketiadaan lapangan kerja buat rakyat Sulawesi Tengah. Lantas, haruskah rakyat tingga diam?”
***
Aktivitas eksploitasi sumber daya alam khususnya dibidang tambang terus mengalami perkembangan yang signifikan, sejak dibukanya kran investasi berbasis sumber daya alam tahun 2008 di Sulawesi Tengah, setidaknya terdapat ratusan perusahaan yang terus melakukan eksploitasi untuk mengirimkan ore mentah keluar negeri. Tetapi, seiring dengan pemberlakuan larangan ekspor mineral mentah membuat perubahan model aktivitas di Sulawesi Tengah.
Aktivitas awal investasi pertambangan di Sulawesi Tengah memiliki dampak yang luar biasa sejak awal; Pertama Industri padat modal tersebut memulai aktivitasnya dengan melakukan pembukaan lahan dihulu sungai, sehingga menimbulkan dampa bencana berupa banjir dirasakan oleh masyarakat setempat akibat terjadinya perubahan fungsi kawasan oleh perusahaan tambang. Kedua;terjadinya krisis air yang berdampak pada terganggunya sistem pertanian warga setempat, sehingga tidak sedikit warga seperti yang berada di kecamatan Bahodopi terpaksa berhenti mengelola lahan pertanian, hal ini berdampak terhadap hilangnya pekerjaan masyarakat. Ketiga; dampak penyakit akibat debu juga terus dirasakan oleh masyarakat. Tiga hal tersebut adalah pemandangan yang terjadi sejak awal hingga saat ini.
Sejak Tahun 2014, perubahan pola eksploitasi dengan pembangunan smelter juga berdampak pada pertambahan jumlah tenaga kerja, beberapa perusahaan pertambangan seperti PT. Indonesian Morowali Industrial Park (IMIP), PT. Sulawesi Mineral Investment (SMI), PT. GCMS, PT.ITSS, PT. BLN, PT. IRNC, PT. Central Omega Resources Indoensia (CORI), PT. Tamaco, PT. Transon Bumindo, PT. Wangxiang Nickel, PT. Hengjaya Mineralindo, PT. TAS dan PT. Bintang Delapan Mineral (BDM). Perusahaan-perusahaan ini menjanjikan jika telah beroprasi akan memberdayakan masyarakat lokal dengan mengakomodir mereka menjadi tenaga kerja.
JATAM Sulteng, dalam kurun 8 bulan terakhir melakukan investigasi dan menemukan fakta bahwa jumlah tenaga kerja yang masuk di Morowali mencapai 8.000 orang dengan jumlah 13 Perusahaan. Contoh PT. IMIP di Morowali yang mempekerjakan kurang lebih 6.000 tenaga kerja, dengan melihat fakta setiap pergantian kerja dalam sehari sebanyak tiga kali, dalam sekali pergantian kurang lebih sebanyak 1.200 orang, jika dikalikan tiga maka terdapat 3.600 pekerja asal tiongkok yang ada disana. Sementara itu, pada pekerjaan kategori konstruksi, jika memperhatikan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor: KEP.247/MEN/X/2011 tentang jabatan yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing (TKA) pada kategori konsruksi: tenaga kerja-kerja asing hanya diwajibkan menempati jabatan (komisaris, direktur, manajer dan ahli teknik). Sementara pada kenyataannya, PT. IMIP mempekerjakan tenaga kerja asing sampai pada pekerjaan menyusun batu bata, mendorong lori dan pekerjaan kecil lainnya (non skil) yang hanya membutuhkan tenaga saja, semuanya dikuasai oleh tenaga kerja Asing. Hal ini sangat tidak bersesuain dengan janji-janji perusahaan dan juga melanggar aturan yang berlaku.
Berdasarkan fakta lapangan, kedatangan tenaga kerja asing di Sulawesi Tengah di dominasi oleh tenaga kerja yang bekerja di sektor pertambangan. Di Kabupaten Morowali, sesuai dengan data terbaru dari dinas tenaga kerja dan transmigrasi Sulawesi Tengah menurut Mustafa Hasyim,SE kepala seksi bidang pengawasan tenaga kerja, bahwa jumlah tenaga kerja asing sebanyak 1.292 orang. Khususnya para TKA yang bekerja di lokasi pembangunan smelter di Kawasan Industri Morowali Tsiangshan di Kecamatan Bahodopi. Anehnya, para TKA itu kebanyakan memiliki paspor kunjungan wisata.
Olehnya, dari sejumlah kasus ketimpangan dan masalah yang ditimbulkan oleh perusahaan tambang yang ada di Sulawesi Tengah. JATAM Mendesak, Pertama: Pemerintah segera Melakukan evaluasi menyeluruh kepada perusahaan-perusahaan tambang, baik dari segi kerusakan alam, dampak lingkungan, penggusuran dan pemakaian tenaga kerja yang tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kedua; memberikan sanksi kepada perusahaan yang tidak memberi dampak kesejahteraan kepada rakyat sekitar tambang.