Langkah Hua Pioneer Batalkan Permintaan Izin Pembuangan Tailing di Laut Morowali Sebaiknya Jadi Standar Semua Perusahaan
Siaran Pers Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Jatam Sulawesi Tengah, Yayasan Tanah Merdeka
Perusahaan nikel untuk baterai kendaraan listrik, Hua Pioneer membatalkan permintaan izin pembuangan tailing ke laut Morowali. Nani Hendiarti, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Marves, mengungkapkan bahwa penarikan permintaan izin terkait kompleksitas dampak tailing di laut.
Sebelumnya, empat perusahaan yang akan beroperasi di Inodnesia Morowali Industrial Park (IMIP) ini berencana membuang 25 juta ton tailing pertahun ke laut. Total investasi mencapai USD 4,79 miliar.Dua di antaranya, PT QMB New Energy Materials dan PT Huayue Nickel & Cobalt, telah memulai konstruksi smelter sejak 2019 lalu. Produk berupa mixed hydroxide precipitate dan nikel sulfat akan digunakan sebagai bahan baku katoda baterai kendaraan listrik.
Tsingshan Group, investor utama dua kawasan industri nikel di Morowali dan Weda, memiliki QMB adalah investor lainnya dari salah satu empat perusahaan tersebut?kepemilikian atas keempat perusahaan tersebut. Salah satu investor QMB adalah raksasa baterai asal Tiongkok, Contemporary Amperex Technology (CATL), sementara Zhejiang Huayou Cobalt, produsen kobalt terbesar dunia, merupakan investor utama Huayue.
Pembuangan tailing ke laut adalah metode paling murah, dibandingkan dengan pengelolaan di darat seperti dam tailing atau drystack. Metode ini berisiko besar bagi ekosistem dan masyarakat pesisir. Keragaman hayati dan fungsi ekosistem laut akan terancam oleh suntikan tailing dalam volume besar yang mengandung berbagai limbah logam beracun.
Banyak negara telah meninggalkan dan menentang metode pembuangan tailing ke laut. Amerika Serikat dan Kanada melarang praktik ini. Bahkan Tiongkok termasuk dalam 51 negara yang mendukung pelarangan praktik pembuangan tailing ke laut di International Union for Conservation of Nature Congress tahun 2016.
Moh Taufik, Kordinator JATAM Sulteng menyatakan “pembatalan rencana pembuangan limbah tailing yang dilakukan oleh PT Hua Pioneer Indonesia salah satu kabar baik bagi masyarakat pesisir di wilayah laut pesisir Kabupaten Morowali. Ini akan menyelamatkan perairan Morowali yang termasuk dalam coral triangle, yaitu kawasan perairan dibarat Samudara Pasifick, termasuk Indonesia, yang mengandung keragaman spesies yang sangat tinggi (hampir 600 spesies terumbu karang ) dan menjadi penopang biota laut disekitarnya. Setidaknya 3.000 ha terumbu karang di bawah Laut Morowali, khususnya ±710 ha di Kecamatan Bahodopi,. Tahun 2018, Morowali menjadi produsen perikanan laut tangkap tertinggi di Sulawesi tengah dengan 34,12 kiloton, setara Rp 678,9 miliar. Ekositem yang sekaya ini menjadi habitat bagi banyak biota laut termasuk ikan yang ditangkap nelayan.
Dari temuan kami juga di PERDA Sulawesi Tengah Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil (RZWPK3) Nomor 10 Tahun 2017, lokasi rencana perairan pipah bawah laut untuk penempatan tailing, di Desa Fatufia Kecamatan Bahodopi Kabupaten Morowali yang direncanakan oleh PT. Hua Pioneer Indonesia, tidak diatur dalam Perda Sulawesi Tengah tentang RZWPK3 No 10 Tahun 2017, sebagaimana tertuang pada pasal 31 ayat (3). sehingga, memang tidak adalasan untuk melakukan rencana pembuangan limbah tailing, yang akan membawa bencana bagi wilayah pesisir laut Morowali.”
Sejak industri berkembang, para nelayan harus melaut lebih jauh karena limbah PLTU dan tanah merah sisa bijih nikel dibuang ke laut tempat biasa mereka menangkap ikan. Akibatnya perlu lebih banyak biaya.
Pius Ginting, Kordinator AEER menyatakan, langkah ini dapat menjadi contoh kepada perusahaan lainnya di Indonesia untuk perlindungan ekosistem laut Indonesia. Saat ini masih ada perusahan nikel masih menunggu izin pembuangan tailing ke laut di Pulau Obi. Volume tailing yang akan dibuang rencananya sebesar 6 juta ton pertahun. Terdapat fenomena upwelling di lokasi rencana pembuangan tailing di perairan barat Pulau Obi, massa air laut naik ke permukaan sehingga memperbesar bahaya pembuangan tailing ke laut. Praktik ini melanggar PermenLHK No. P.12 Tahun 2018 yang melarang pembuangan tailing di perairan yang terdapat fenomena upwelling.Masih sedikitnya penelitian laut dalam membuat dampak tailing terhadap ekosistem laut dalam belum diketahui dengan jelas. Rencana ini harus mendapat perhatian khusus karena akan memberi citra kotor pada produk nikel baterai Indonesia di pasar global.
Yayasan Tanah Merdeka menyatakan industri nikel diharapkan tidak mengejar kemenangan kompetitif dengan mengabaikan warga lokal dan kebaikan kehidupan para pekerja. Tiga pemimpin serikat buruh dipecat setelah mengorganisir aksi demonstrasi yang menuntut perbaikan kualitas kondisi kerja Agustus lalu. Mereka adalah Afdal (Serikat Pekerja Industri Morowali), Sahlun Saidi (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Morowali), dan Agus Salim (Federasi Serikat Pekerja Nasional Indonesia Morowali).
Dorongan hilirisasi lewat bateri kendaraan listrik dengan memberikan manfaat udara bersih di perkotaan hendaknya tidak meninggalkan jejak kehancuran keragaman hayati laut dan darat di daerah pelosok, peminggiran kehidupan warga lokal dan buruh yang tak sejahtera.
Disamping itu, proyek nikel baterai tidak menjadi sumber emisi karbon baru yang berseberangan dengan tujuan awal elektrifikasi kendaraan global dengan penggunaa PLTU batu bara. Kapasitas PLTU di kawasan IMIP akan mencapai 2410 MW dengan beberapa unit berada dalam proses konstruksi.
Kontak Media:
M Taufik, JATAM Sulawesi Tengah, 082292095416
Pius Ginting, AEER, info@aeer.info