Palu, (antarasulteng.com) – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah kembali memperingati Hari Anti Tambang (Hatam) Nasional, 29 Mei, dalam bentuk aksi damai di depan kantor Gubernur dan DPRD Sulteng, Senin petang.
Koordinator aksi Alkiyat mengatakan penetapan Hatam setiap tanggal 29 Mei tahun berjalan merupakan hasil kesepakatan dari pertemuan seluruh masyarakat korban tambang di Cisarua Bogor pada 2010 silam.
“Hari ini juga merupakan hari menolak lupa atas derita masyarakat korban tragedi lumpur Lapindo,” katanya.
Hari ini, kata dia, Jatam menagih janji dari salah satu aspek program Nawacita pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla adalah janji penegakan hukum yang bersih, kepastian hukum kepemilikan tanah, menjunjung HAM dan pemberantasan tambang yang menyalahi aturan dan lingkungan hidup.
Kata dia, Jatam juga menyatakan tidak akan pernah lupa dengan kasus-kasus kriminalisasi terhadap petani di Kecamatan Sojol, penembakan petani di Balaesang Tanjung serta sejumlah kasus pengrusakan hutan mangrove, hutan lindung dan hutan konservasi di Sulawesi Tengah.
“Kami menyerukan kepada seluruh masyarakat Sulteng, bahwa daerah ini telah dikepung tambang dengam tak terbatasnya izin,” ungkapnya.
Saat ini, kata dia, Sulteng yang memiliki luas wilayah 6.184.100 hektare, kini dikuasai 331 Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral dan batu bara, 8 Kontrak Karya (KK), dengan total luasan 2.128.361,43 hektar atau 34,4 persen dari luas wilayah Sulteng.
Kemudian ditambah lagi, dengan 4 blok migas dengan luas 905.998,750 hektar atau 14,6 persen dari luasan Sulteng yang menyebar hampir di seluruh Kabupaten.
“Hari ini kami menyatakan sebagai semangat untuk mengusir PT. Bintang Delapan Mineral, Melawan PT. Donggi Senoro LNG serta mengajak seluruh masyarakat kota Palu untuk bersama-sama menyelamatkan Poboya dari cengkraman PT. Citra Palu Mineral,” tegasnya.
Dampak kerusakan hutan, berkurangnya hewan-hewan endemik, hilangnya tanah sebagai wilayah kelola rakyat, tercemarnya sungai dan lautan merupakan tidak lain adalah akibat industri ekstraktif yang dengan mudah merusak seluruh Sumber Daya Alam di Sulteng.
“Sudah saatnya kita sadar, hidup butuh generasi penerus, sedangkan generasi untuk dapat tumbuh sehat dan sejahtera butuh tanah sebagai alat produksinya. Butuh tanah untuk tempat tinggalnya, butuh tanah untuk ia hidup layak,” tutup Alkiyat. (FZI)
Sumber : http://www.antarasulteng.com/berita/32567/jatam-sulteng-peringati-hari-anti-tambang-nasional
Edisi : Selasa, 30 Mei 2017