Palu, Metrosulawesi_ Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah menyebut penerbitan izin pertambangan di daerah menjadi ancaman bencana yang cukup serius.
“Berdasarkan data yang dimiliki oleh Jatam terdapat 39 IUP operasi produksi untuk izin pertambangan pasir, batu dan kerikil yang berada di Kota Palu, diterbitkan oleh pemerintah daerah dan satu kontrak karya yang diterbitkan oleh pemerintah pusat lewat Kementerian energi Sumber Daya Mineral Republik Indonesia untuk PT Citra Palu Mineral dengan komoditas emas di Kecamatan Palu Timur,” kata Koordinator Pelaksana Jatam Sulteng Moh Taufik, Selasa 17 September 2019.
Laki-laki berambut gondrong itu mengatakan, ada beberapa hasil temuan Jatam terkait penerbitan izin tambnag yang akan menimbulkan potensi bencana di antaranya, penerbitan 39 izin usaha pertambangan untuk kegiatan pertambangan pasir, batu dan kerikil, yang diterbitkan oleh pemerintah dearah, semua berada di Kecamatan Palu Barat sebelum di mekarkan menjadi Kecamatan ulujadi.
“Dalam perda RTRW Kota Palu Nomor 16 tentang rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu Tahun 2010-2030 Kecamatan Ulujadi sendiri sebelum berpisah dari kecamatan Palu Barat ditetapkan sebagai wilayah kawasan rawan bencana tanah longsor,”tegasnya.
Ancaman bencana alam juga mengintai masyarakat Kecamatan Mantikulore, khususnya Kelurahan Poboya setelah diterbitkannya Peningkatan IUP Operasi Produksi PT Citra Palu Mineral oleh Kementerian ESDM Republik Indonesia dengan Nomor 422.K/30.DJB/2017.
“Karena penerbitan IUP OP untuk PT Citra Palu Mineral yang ternyata juga diduga bertentangan dengan Perda RTRW Kota Palu, dalam Perda RTRW menyebutkan bahwa Kecamatan Mantikulore juga masuk dalam kawasan rawan bencana tanah longsor,” ungkap Taufik.
Bukan hanya itu, penerbitan izin pertambangan ini menjadi kekhawatiran Jatam Sulteng pasca bencana alam gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang terjadi pada 28 September 2018 lalu.
“Kekhawatiran ini timbul setelah pemerintah merilis peta zonasi rawan bencana yang dibago menjadi empat kategori zona. Zona terlarang, zona terbatas, zona bersyarat dan zona pengembangan. Dalam pembagian zona ini Kecamatan Ulujadi masuk dalam zona terlarang daN Kecamatan Mantikulore masuk dalam zona terbatas yang rawan likuefaksi”.
Olehnya, Jatam Sulteng mendesak pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk melakukan peninjauan kembali penerbitan izin-izin tambang baik mineral logam, maupun non logam pasca bencana di Kota Palu.
“Untuk pemerintah provinsi sendiri berdasarkan kewenangan yang diberikan penting kiranya untuk kembali melakukan moratorium izin tambang pasir Palu-Donggala, yang sebelumnya sudah dikeluarkan di tahun 2016 yang berlaku sampai dengan tahun 2018,” tegasnya.
Dikatakan, banjir bandang yang terjadi pada 9 Juli 2019 di Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah menurut dugaan Jatam Sulteng diakibatkan oleh eksploitasi perusahaan-perusahaan tambang di wilayah hulu.
Menurut data yang dimiliki oleh Jatam Sulteng, sampia dengan tahun 2019 tercatat 38 perusahaan tambang yang beropersi di Kabupaten Morowali dengan luas konsesi mencapai 127 ribu hektare dan luas konsesi yang masuk dalam kawasan hutan mencapai 6.189 hektare. Salah satunya masuk di Kecamatan Bahodopi Kabupaten Morowali tempat dimana banjir bandang terjadi, yang mengakibatkan kerugian mencapai ratusan miliar.
“Bencana banjir yang terjadi di Kabupaten Morowali juga sebenarnya mengancam Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah yang juga izin usaha pertambangannya masif diterbitkan oleh pemerintah daerah dan pusat,” ungkapnya.
“Kota Palu dikenal sebagai ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah yang paling masif terbitkan izin usaha Pertambangan untuk kegiatan pertambangan pasir, batu dan kerikil,” tandasnya.
Penerbitan izin pertambangan di Kota Palu, kata Taufik, sebenarnya menjadi ancaman bencana yang cukup serius. Berdasarkan hasil temuan Jatam Sulteng, dibeberapa tempat penerbitan izin usaha pertambangan juga ditetapkan dalam Perda RTRW Kota Palu Nomor 16 Tahun 2010-2030 sebagai kawasan rawan bencana.
Sumber : Metrosulawesi / Edisi : 17 September 2019