Palu, Metro Sulawesi-Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah mengungkapakan ada tiga tambang yang masih beroperasi dengan menggunakan mercuri dan sianida di wilayah tambang poboya, senin, 8 Mei 2017.
Eksekutif kampanye dan Advokasi Jatam Sulteng Moh Taufik mengungkapkan hasil investigasi jatam sulteng ada tiga perusahaan yang masih melakukan aktivitas di Poboya adalah PT. MD, PT. PL, dan PT. MA.
“kami sangat mendukung upaya wali kota palu untuk melakukan penegakan hukum kepada pelaku-pelaku ilegal dan juga pengusaha yang menjual belikan sianida danmercuri,” katanya.
“posisi aktivitas pertambangan di poboya ada pada dataran tinggi, sehingga mudah terbawa angin kelingkungan daerah Poboya itu sendiri, belum lagi lingkungan pertambangan berdekatan langsung dengan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sehingga akan berakibat pencemaran terhadap lingkungan,” sambungnya.
Pihaknya menjelaskan mercuri dan sianida difungsikan sebagai pemurnian antara batu dan emas, jika digunakan penampungan untuk melakukan pemurnian, maka penampungan diisi dengan kapasitas daya tampung 1.000 truk untuk sekali pengisian penampungan.
“jika dimurnikan itu akan menghasilkan 28 kgemas murni, proses perendaman hingga satu bulan, cara seperti itu tidak sesuai dengan aturan,” katanya.
“tiga perusahaan sebenarnya memiliki beberapa pelanggaran, yang pertama, Perusahaan tersebut tidak memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Kedua, perusahaan tersebut masuk dalam Kawasan Hutan Konservasi. Ketiga, pelanggaran undang-undang no 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungna Hidup. Mereka tidak memenuhi Analisisi Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL),” sambungnya.
Moh. Taufik menjelaskan tiga perusahaan tersebut masuk secara ilegal, karena lahan Masyarakat yang telah memiliki izin untuk di kelolah.
“Mereka menyewa lahan masyarakat untuk mereka dikelolah, satu hektar dihargai Rp.40.000.000 hingga Rp.50.000.000 juta per tahun,” katanya.
“tambang rakyat secara tradisional sejak tahun 2009, namun tiga perusahaan tersebut mulai beraktivitas sejak tahun 2012,” sambungnya.
Pihaknya juga menambahkan masi mengumpulkan beberapa data untuk melaporkan perusahaan yang beraktivitas di Poboya.
“Jika penegakan hukum tidak ditanggapai pada tinggakat kota hingga provinsi, kami akan membawa kasus ini ke Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Dirjen Penegakan Hukum (Gakum) KLHK. (man)
Sumber : Metro Sulawesi/Edisi : Senin, 8 Mei 2017