JATAM SULTENG Desak Kementerian ESDM, Melakukan Moratorium Pemberian Izin Tambang Di Sulawesi Tengah
Setelah berlakunya undang-undang nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perubahan atas undang-undang nomor 4 tahun 2009, yang hampir menarik semua kewenanganmengenai pertambangan ke pemerintah pusat, khususnya di kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, JATAM Sulteng mendesak kementerian tersebut, untuk melakukan Moratorium pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) Di Sulawesi Tengah.
Menurut Taufik, sebagai Koordinator Pelaksana JATAM Sulteng, hal ini menjadi penting untuk dilakukan segera oleh kementerian ESDM, untuk menghindari ancaman konflik agraria di sektor tambang di sulawesi tengah, karena dari hasil temuanJATAM Sulteng, banyak izin-izin usaha pertambang di sulawesi tengah, tumpang tindih dengan wilayah-wilayah pertanian bahkan pemukiman warga.
Diantaranya, dari hasil temuan JATAM Sulteng, adalah izin tambang yang diterbitkan di wilayah Kabupaten Parigi Moutong, di kecamatan kasimbar dengan luas konsesi IUP, mencapai 15.000 Ha, izin pertambangan emas ini hampir mengkapling seluruh wilayah kecamatan kasimbar. Dan berpotensi menimbulkan konflik. Temuan lain JATAM sulteng, izin-izin tambang yang diterbitkkan di wilayah kabupaten tolitoli,dibeberapa kecamatan diantaranya kecamatan dondo juga mengkapling wilayah pertanian dan pemukiman warga.
Bukan hanya itu, menurut dia, aktivitas-aktivitas tambang yang saat ini beroprasi banyak bermasalah, dari mencemari lahan-lahan pertanian warga, seperti yang terjadi di kabupaten banggai, sampai dengan mencemari sumber-sumber air bersih, seperti yang terjadi di wilayah desa pongian kecamatan bunta, sungai di desa tersebut diduga dicemari aktivitas pertambangan nikel.
Sehingga berdasarkan hasil temuan tersebut, JATAM Sulteng mendesak Kementrian ESDM untuk melakukan moratorium pemberian izin tambang di sulteng, dan melakukan peninjauan kembali izin-izin tambang yang tumpang tindih dengan dengan wilayah pertanian, perkebunan bahkan pemukiman warga, yang berpotensi menimbulkan konflik di sulawesi tengah.