PALU_ Dalam rilisnya diredaksi Selasa kemarin (3/12), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah (Sulteng) mengatakan bahwa pengusulan perubahan fungsi Kawasan Hutan di Sulteng, diduga kuat salah satunya untuk memenuhi kebutuhan izin pertambangan.
Menurut Koordinator Pelaksana Jatam Sulteng, Muh Taufik, usulan perubahan funga kawasan hutan di Sulteng yang dimohonkan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang kebutuhannya untuk revisi Renvana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dengan luas kawasan 157.594 hektare. Tersebar dihampir semua kabupaten yang ada di Sulawesi Tengah, diantaranya Kabupaten Banggai. Kabupaten Domggala, Kabupaten Morowali, Kabupaten Morowali Utara (Morut), Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Kabupaten Sigi, Kabupaten Tojo Unauna (Touna), Kabupaten Tolitoli dan Kota Palu.
“Kami menduga, di beberapa Kabupaten, usulan rencana perubahan fungsi kawasan hutan sebenarnya untuk kebutuhan izin-izin tambang yang masuk dalam kawasan hutan. Tetapi terkendala proses-proses aktivitasnya, karena harus melakukan pengurusan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ungkap Moh Taufik.
Dikatakannya, dalam usulan perubahan fungsi yang kami temukan, banyak kawasan hutan yang dirubah fungsinya menjadi kawasan Areal Penggunaan Lain (APL), dan pengusulan perubahan ini yang pihaknya menduga untuk kebutuhan izin tambang.
“Karena perusahaan-perusahaan tambang yang wilayahnya sudah menjadi APL tidak perlu lagi mengurus IPPKH. Salah saunya yang kami temukan di Kabupaten Banggai, dengan total perubahan fungsi kawasan hutan mencapai 50.387 hektare menjadi APL,” paparnya.
Taufik juga menyebut pengusutan itu hanya untuk mengakomodir kepentingan pihak tertentu, yang terkendala proses perizinan.
“Sehingga kami menduga pengususlan perubahan fungsi kawasan hutan untuk kebutuhan rencana revisi RTRW, yang ada di beberapa Kabupaten di Sulawesi Tengah. Diduga kebutuhannya hanya untuk mengakomodir kepentingan, perusahaan-perusahaan tambang yang terkendala dalam proses beroperasinya, karena izin-izinnya yang masuk dalam kawasan hutan,” urai Taufik.
Dugaan ini, tandas Taufik, diperkuat dengan temuan Jatam Sulteng, sebagai berikut, pertama menemukan sedikitnya di Kabupaten Banggai pada Mei Tahun 2019, ditemukan 6 perusahaan tambang yang sudah mengantongi izin operasi produksi dari pemerintah daerah sejak tahun 2017 yang sampai dengan tahun 2019 belum memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan dari KLHK.
Kedua di Kabupaten Tolitoli pada tahun 2018 temuan Jatam, menyebutkan aktivitas pertambangan PT Prima Tambang Indonesia diduga masuk dalam kawasan hutan, namun tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dari KLHK.
Tercatat sampai dengan tahun 2019, data yang dimiliki Jatam Sulteng, kawsan hutan yang diberikan untuk kegiatan peretambangan di Sulawesi Tengah luasannya sudah mencapai 16.307 hektare, yang tersebar di Kabupaten Morowali dan Morut, untuk 15 perusahaan tambang.
Untuk itu Jatam Sulteng mendesak pemerintah pusat, khususnya KLHK terkait dengan pengusulan perubahan fungsi kawasan hutan yang ada di Sulteng, yang diduga salah satunya hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan tambang yang wilayahnya masuk dalam kawasan hutan.
“Kami juga mendesak Kementerian tidak lagi memberikan status perubahan fungsi kawasan-kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), yang juga menurut kami hanya akan mempercepat proses bertambahnya lahan kritis di Sulawesi Tengah, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: sk.306/menlhk/pdashl/das.0./7/2018 tercatat seluas 264.874 hektare, lahan baik didalam maupun diluar kawasan hutan di Sulteng kritis,”pungkas Taufik.
Sumber : Radar Sulteng/ Edisi : Rabu, 4 Desember 2019