PALU, SWARAKALTARA.COM – Banjir bandang yang terjadi pada tangga 9 Juli 2019 di Kabupaten Morowali Povinsi Sulawesi Tengah menurut dugaan kami diakibatkan oleh eksploitasi perusahaan perusahaan tambang di wilayah hulu, menurut data yang di miliki oleh Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah mencatat sampai dengan tahun 2019 tercatat 38 perusahaan tambang yang beroprasi di Kabupaten Morowali dengan luas konsesi mencapai 127 ribu hektare dan luas konsesi yang masuk dalam kawasan hutan mencapai 6189 Ha, salah satunya masuk di Kecamatan Bahodopi Kabupaten Morowali tempat dimana banjir bandang terjadi. Yang mengakibatkan kerugian mencapai ratusan miliar.
Bencana banjir yang terjadi di Kabupaten Morowali juga sebenarnya mengancam Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah yang juga izin usaha pertambangannya masif di terbitkan oleh pemerintah daerah dan pusat, Kota Palu dikenal sebagai ibu Kota Provinsi sulawesi tengah yang paling masif diterbitkan izin usaha pertambangan untuk kegiatan pertambangan pasir, batu dan kerikil.
Penerbitan izin pertambangan di kota palu sebenarnya menjadi ancaman bencana yang juga cukup serius, berdasarkan hasil temuan JATAM SULTENG, di beberapa tempat penerbitan izin usaha pertambangan juga di tetapkan dalam perda RTRW Kota palu Nomor 16 Tahun 2010-2030 sebagai kawasan rawan bencana. Berdasarkan data yang dimiliki oleh JATAM terdapat 39 IUP Operasi Produksi untuk Izin Pertambangan Pasir, Batu dan Kerikil yang berada di kota palu, di terbitkan oleh pemerintah daerah dan 1 Kontrak Karya yang diterbitkan oleh pemerintah pusat lewat Kementerian energi sumber daya mineral Republik Indonesia untuk PT. Citra Palu Mineral dengan komoditas emas di kecamatan palu timur yang sebelum di mekarkan menjadi kecamatan Mantikolere pada tahun 2012. Berikut beberapa hasil temuan JATAM terkait penerbitan izin tambang yang akan menimbulkan potensi bencana.
- Penerbitan 39 Izin Usaha Pertauntuk kegiatan pertambangan pasir, batu dan kerikil, yang di terbitkan oleh pemerintah daerah, semua berada di Kecamatan Palu Barat sebelum di mekarkan menjadi Kecamatan ulujadi. Dalam perda RTRW Kota Palu Nomor 16 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu Tahun 2010- 2030 Kecamatan Ulujadi sendiri sebelum berpisah dari kecamatan palu barat di tetapkan sebagai wilayah kawasan rawan bencana tanah longsor.
- Ancaman bencana alam juga mengintai masyarakat kecamatan mantikolere yang sebelumnya bergabung dengan kecamatan palu timur. Sebelum di bentuk kecamatan sendiri pada tahun 2012. Khususnya kelurahan poboya setelah diterbitkannya Peningkatan IUP Operasi Produksi PT. Citra Palu Mineral Oleh Kementerian ESDM Republik Indonesia dengan Nomor 422.K/30.DJB/2017. Karena penerbitan IUP OP untuk PT. Citra Palu Mineral yang ternyata juga diduga bertentangan dengan Perda RTRW kota Palu, Dalam Perda RTRW menyebutkan bahwa Kecamatan mantikolore juga masuk dalam kawasan rawan bencana tanah longsor.
- Bukan hanya itu penerbitan izin pertambangan ini menjadi kekhawatiran kami di JATAM SULTENG Pasca bencana alam Gempa Bumi, Tsunami, dan likuifaksi, yang terjadi pada tanggal 28 September 2018. Kekhawatiran ini timbul setelah pemerintah merilis peta zonasi rawan bencana yang di bagi menjadi empat kategori Zona, 1. Zona Terlarang 2. Zona Terbatas 3. Zona Bersyarat dan 4. Zona Pengembangan, dalam pembagian zona ini kecamatan ulujadi masuk dalam Zona Terlarang dan kecamatan mantikolere masuk dalam Zona Terbatas yang rawan likufikasi,
Maka dari kami di JATAM SULTENG mendesak pemerintah pusat maupun pemerintah daerah penting untuk melakukan peninjauan kembali penerbitan izin-izin tambang baik mineral Logam, maupun non logam Pasca Bencana di Kota Palu, dan untuk pemerintah provinsi sendiri berdasarkan kewenangan yang diberikan penting kiranya untuk kembali melakukan moratorium izin tambang pasir palu donggala, yang sebelumnya sudah dikeluarkan di tahun 2016 yang berlaku sampai dengan tahun 2018.