Palu-Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah pada rabu (6/9) telah melaksanakan rapat koordinasi (rakor) pengendalian pelaksanaan penanaman modal terhadap pemilik Smelter dan pemilik IUP se-Sulawesi Tengah (Suleng) tahun 2017. Dalam siaran persnya, jatam sulteng menyebut agenda tersebut menjadi penanda akan adanya bahaya bagi lingkungan hidup serta masyaraka sekitar tambang ke depan, hal ini berkaitan dengan pertukaran antara perusahaan pemilik smeler dengan perusahaan yang mengantongi izin usaha pertambangan yang bersatus Cn di Wilayah Sulawesi Tengah.
Menurut Eksekutif Kampanye Jatam Sulteng Susanti Idris, atas rakor tersebut, maka jatam sulteng menyampaikan keberatan sebagai berikut, pertama, berdasarkan pengetahuan jatam, bahwa secara umum perusahaan-perusahaan tambang yang berada di sulteng berada dalam kawasan hutan, baik itu hutan produksi, hutan lindung, dan suaka alam.
“Walaupun perusahaan-perusahaan tersebut berstatus CnC tapi keseluruhan tidak mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan,” kata Susanti.
Jatam juga mengingatkan, jangan sampai status CnC kemudian menjadikan perusahaan-perusahaan tersebut melakukan aktivitas tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Hal ini bersesuaian dengan data Kementrian Kehutanan bahwa perusahaan Tambang di Sulteng hanya terdapat dua yang mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, yaitu PT Itamatra dan PT Sulawesi resources.
“Selebihnya tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan hal tersebut adalah tindak pidana di bidang Kehutanan,” tandasnya.
Kedua, walaupun berstatus CnC, perusahaan-perusahaan itu sama sekali bukanlah perusahaan profesional. Sebab, dalam melakukan aktivitas tidak ditunjang dengan kelengkapan dokumen seperti dokumen Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) yang dijadikan sebagai rujukan melakukan aktivitas.
“Sebab tanpa dokumen RKAB, maka perusahaan-perusahaan tersebut menjadi tidak terkontrol dalam hal wilayah akivitasnya,”ujarnya.
Ketiga, Jatam Sulteng mencatat, bahwa kebanyakan perusahaan tidak dilengkapi dengan AMDAL Reklamasi Pasca Tambang dan juga tidak jelas berapa setoran pasca tambang yang mereka setorkan kepada pemerintah.
“Perlu diketahui bahwa Dokumen Pasca Tambang adalah satu dokumen yang tidak terpisah dengan dokumen operasi produksi maupun AMDAL dokumen RKAB, sehingga setelah operasi berdasarkan RKAB maka sudah diketahui berapa jumlah biaya yang harus disetorkan oleh perusahaan di dalam rekening bersama untuk menempatkan jaminan reklamasi pasca tambang,” urainya lagi.
Ke empat, dengan penyerahan informasi oleh pemerintah kepada perusahaan pemilik smelter dengan perusahaan-perusahaan yang dinyatakan berstatus CnC adalah upaya memberikan legitimasi penuh terhadap penyingkiran rakyat yang selama ini menggantungkan hidup pada hasil hutan.
Selain itu, masyarakat juga menggunakan air sungai untuk mengairi pertanian meraeka, maka dengan adanya aktivitas perusahaan-perusahaan tambang secara otomatis akan menghancurkan sumber mata air masyarakat, hal ini bisa dilihat pada kasus petani Bahomakmur yang terpaksa berhenti mengelola sawah kurang lebih 100 hektare, karena sungai Bahomakmur porak poranda akibat aktivitas PT Bintang Delapan Mineral di Morowali.
Kelima, Jatam menyebut Pemprov Sulteng melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral tidak serius membenahi pertambangan di Sulteng. Mereka hanya fokus mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan dampak buruk bagi lingkungan hidup dan masyarakat.
Sumber : Radar Sulteng. Edisi : Minggu, 17 September 2017