TAMBANG EMAS YANG SEMBRONO SEBABKAN PENYAKIT MINAMATA

Ribuan orang Minamata menderita gara-gara perusahaan yang sembrono. Jangan sampai hal ini terjadi di Indonesia.

 

tirto.id – Lebih dari 60 tahun sudah Tragedi Minamata, berlalu. Namun, Nagamoto Kenji masih harus menanggung penderitaan hingga kini. Dengan tergagap ia bercerita bagaimana hidupnya menjadi terdiskriminasi karena kondisi fisik yang ia alami: sulit bicara dan tremor di kedua tangan.

“Ini sangat menyakitkan, bahkan lebih dari sakit. Hingga kini, saya cacat karena Chisso,” katanya.

Chisso Co. Ltd. merupakan pabrik terbesar di Jepang yang memproduksi pupuk kimia, asam asetat, vinil klorida, dan plasticizer. Dalam memproduksi asam asetat, mereka menggunakan merkuri (raksa) sebagai katalis. Sistem pengolahan limbah yang sangat buruk membuat Chisso membuang limbah merkuri ke Teluk Minamata. Inilah cikal bakal terjadinya tragedi Minamata.

Tragedi ini terjadi sekitar tahun 1960 di Teluk Minamata, kota Minamata, Jepang. Kurang lebih 17.000 orang melapor kepada pemerintah setelah mengalami gejala susah berbicara, lumpuh, berjalan terhuyung-huyung, tremor, kejang-kejang, keterbelakangan mental, hingga kematian. Itu semua adalah gejala penyakit Minamata. Penyakit ini terjadi karena akumulasi racun metil merkuri pada manusia.

Gejala serupa ditunjukkan oleh hewan di lingkungan sekitar, seperti kucing, burung camar, dan gagak. Hewan-hewan tersebut menggelepar dan mati setelah menyantap ikan dari Teluk Minamata.

Penyakit ini pertama kali terdeteksi pada bulan Mei 1956. Hasil laut di Teluk Minamata menunjukkan kontaminasi merkuri tingkat tinggi, yakni 5,61 sampai 35,7 μg/L. Padahal, masyarakat kota ini bisa mengkonsumsi ikan dari Teluk Minamata sebanyak 3 kg per hari.

“Kami mengganti kerugian masyarakat mulai dari ongkos berobat, sampai perawatan pijatnya. Setahun bisa mengeluarkan hingga 2 miliar yen (Rp 237 miliar),” kata Nagano, Juru Bicara JNC, anak perusahaan Chisso.

Namun, seperti yang dikatakan Nagamoto, ganti rugi yang diberikan tak akan menyembuhkan cacat fisik yang mereka derita. Apalagi masih banyak masyarakat terdampak Minamata yang hingga kini tak terdata dan mendapat kompensasi lantaran malu untuk melaporkan keadaan dirinya.

Pencemaran Merkuri di Dunia dan Indonesia

Pemerintah Jepang, dengan sigap menangani Tragedi Minamata. Agar ikan di Teluk Minamata tidak menyebar dan membuat dampak penyakit Minamata meluas, mereka memasang jaring di teluk. Ikan-ikan yang mengandung merkuri ditangkap dan wajib dibeli oleh Chisso untuk dimusnahkan.

Pada 1968, Chisso menghentikan produksi asam asetatnya. Pemerintah Jepang melakukan pengerukan di Teluk Minamata untuk menghilangkan sedimentasi merkuri pada dasar perairan.

Tetapi, hal tersebut tentu tak menghapus sejarah bahwa penyakit Minamata telah membunuh 43 orang di Minamata. Dan membuat cacat para bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mengkonsumsi ikan terkontaminasi merkuri. Contoh mengerikan akibat racun merkuri juga terjadi di belahan dunia lain.

Pada 1961, keracunan merkuri terjadi di Irak, tercatat 35 orang meninggal dan 321 orang menderita cacat. Hal ini dikarenakan kontaminasi gandum oleh merkuri yang terdapat pada fungisida.

Di tahun 1963, keracunan juga terjadi di Pakistan Barat, sebanyak 4 orang meninggal dan 34 orang cacat. Penyakit Minamata juga menyerang Guatemala pada tahun 1966 dan membuat 20 orang meninggal dan 45 orang cacat. Terakhir, ia terjadi di Niigata, Jepang pada 1965 akibat pembuangan limbah merkuri oleh Pabrik Kanose, Showa Denko.

Kasus serupa juga dikhawatirkan terjadi di Indonesia. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat sebanyak 34 persen wilayah Indonesia telah dikavling untuk tambang, termasuk pertambangan emas. Terdapat 628 izin usaha pertambangan emas juga tambang-tambang emas ilegal yang tersebar di 850 titik di seluruh Indonesia. Hal tersebut membuat Indonesia berada dalam kondisi darurat tambang dan merkuri.

Dalam penambangan emas, merkuri digunakan pada artisanal and Small-Scale Gold Mining (ASGM) atau pertambangan emas skala kecil. Penggunaan merkuri bertujuan untuk mengekstrak emas dari bijih. Caranya adalah membuat campuran dari merkuri dan bijih untuk menghasilkan amalgam. Amalgam kemudian dipanaskan guna menguapkan merkuri dari campuran, sehingga menyisakan emas.

“Metode ini digunakan oleh pertambangan emas skala kecil karena dianggap lebih murah daripada metode alternatif lainnya, dapat dikerjakan oleh satu orang, cepat, dan mudah,” kata Dr. Budi Haryanto, toksikolog klinis dari Universitas Indonesia.

Salah satu contoh aktivitas pertambangan emas yang dikhawatirkan membuat masyarakat keracunan adalah di Paboya, Kota Palu, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian Dinas Kesehatan Kota Palu pada 2014 menunjukkan 7 dari 10 sampel sumur Baku Mutu Air Bersih di Kota Palu memiliki kadar merkuri 0,005 μg/L.

“Ini lima kali lipat di atas standar normal yang ditetapkan Kementerian LHK,” kata Merah Jhohansyah Ismail koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dalam di Jakarta, Jumat (22/9/2017).

Pipa-pipa air PDAM di sana bersandingan dengan mesin-mesin tromol merkuri dan kolam sianida untuk mengolah emas. Padahal, Poboya adalah kawasan dataran tinggi dengan bentang alam berbukit dan merupakan tempat tangkapan air PDAM Kota Palu. Keselamatan 400 ribu jiwa terancam.

Menurut Permenkes No. 907/202 kadar merkuri dalam air minum yang diperbolehkan hanya 0,001 μg/L. Untuk kadar merkuri dalam air bersih diatur dalam Permenkes No 416/Menkes/Per/IX/1990, yakni sebesar 0,001 μg/L.

Lembaga PBB dalam bidang kesehatan, WHO, menetapkan kadar merkuri total pada air sebanyak 1 μg/L. Kadar merkuri tahunan yang dapat ditolerir di udara adalah 1 µg/m³ dan konsentrasi 0,2 μg/m³ untuk paparan inhalasi jangka panjang terhadap uap air merkuri. Per hari, tubuh kita hanya bisa ditoleransi kadar merkuri hingga 2 μg/kg berat badan.

Pada kasus penyakit Minamata di Jepang, merkuri masuk ke lambung (saluran pencernaan) karena memakan ikan dari air laut yang tercemar. Pada pertambangan emas skala kecil, paparan merkuri masuk ke saluran nafas karena proses pembakaran amalgam. Selain kedua contoh tadi, merkuri juga dapat masuk ke tubuh lewat penyerapan kulit.

“Anak-anak lebih rentan keracunan karena kepekaan dan tingkat penyerapan dalam saluran pencernaannya lebih besar daripada orang dewasa,” jelas Budi

Indonesia merupakan satu dari 92 negara penandatangan awal Konvensi Minamata di Kumamoto, Jepang pada 10 Oktober 2013. Konvensi tersebut kini telah ditandatangani 128 negara dan mulai berlaku sejak 16 Agustus 2017. Yakni 90 hari sejak diterimanya instrumen ratifikasi negara ke-50 yaitu Rumania pada 16 Mei 2017.

Pemerintah Indonesia kemudian meratifikasi Konvensi Minamata mengenai Merkuri melalui Undang-Undang No.11 Tahun 2017 yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 20 September 2017.

Dengan diterbitkannya undang-undang tersebut, praktik peredaran dan pemanfaatan merkuri di seluruh wilayah Indonesia telah terikat oleh aturan-aturan dalam konvensi. Maka, pemerintah wajib melindungi rakyatnya sebelum terdampak penyakit Minamata. Pertanyaannya, apakah pemerintah mau menindak perusahaan-perusahaan tambang yang nakal?

Reporter: Aditya Widya Putri

25 September, 2017
Sumber : tirto.id

Tinggalkan Komentar Anda :