POLITIK ENERGI DAN AMUK MASSA

Amuk massa karena pemadaman listrik kembali terjadi, kali ini dilakukan oleh masyarakat tentena yang geram atas pemadaman lisrtik. PLN dianggap mengingkari janji, dimana pemadaman hanya berlangsung sepuluh hari. Tindakan ini dilakukan masyarakat tentena pada Jumat malam tanggal 11 Desember 2009, pukul 19.00 Wita (Media Alkhairaat, 2009). Protes semacam ini sudah sering terjadi di Sulawesi Tengah, utamanya di Kota Palu. Sasaran kemarahan masyarakat pun, selalu diarahkan kepada PLN yang dianggap masyarakat sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas pemadaman listrik yang terjadi.

Sementara Berbagai agenda yang berdalih pada perbaikan listrik terus dilakukan misalnya, pemerintah melalui Menteri ESDM (Energi Sumber Daya Manusia) Purnomo Yusgiantoro mencanangkan program percepatan pembangunan pembangkit non BBM, kebijakan ini merupakan upaya pemerintah melipatgandakan kapasitas pembangkit listrik. Selain menugaskan pembangunan 10 ribu MW pembangkit listrik kepada PT PLN, pemerintah juga mendorong swasta untuk ikut berperan dalam pembangunan pembangkit listrik dengan kapasitas total sekitar 10 ribu MW juga (Berita ESDM,2007).

Ironisnya, menurut Salman Hadiyanto mantan Direktur YLK Sulteng (Desember, 2009). Dari program 10 ribu MW itu, Suteng tidak mendapatkan pasokan energi sedikit pun dari program itu. Bahkan, Gubernur tidak mengetahui kalau ada program tersebut. Sungguh hal yang lucu karena jelas bahwa Sulawesi Tengah, masih membutuhkan energi yang cukup besar, dari total kebutuhan energi yang ada. Konsekuensinya bencana pemadaman setiap waktu mengancam ketenteraman masyarakat.

Dalam kasus amuk massa di Tentena, mungkin akan menjadi ironis bagi sebagian orang karena sudah menjadi rahasia public, bahwa PLTA Sulewana letaknya tidak jauh dari kota Tentena. PLTA Sulewana dibawah kendali PT Poso Energi merupakan produksi hulu energi listrik sebesar 110 Mega Watt (MW) yang dikuasai oleh kongsi bisnis milik keluarga mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla. Begitu pula pada kasus pemadaman listrik yang terjadi di Kota Palu. Keberadaan PLTU Mpanau yang dibangun sejak Desember 2004, tidak mampu berfungsi secara optimal dalam memenuhi kebutuhan listrik Kota Palu. Pembangkit listrik ini adalah kepemilikan secara swasta milik PT. Pusaka Jaya Palu Power, telah terikat dengan PT. PLN melalui Power Purchase Agrrement (PPA), dan mendapat izin Pemerintah berdasarkan IUKU No. 91.12/20/600.3/2007 tanggal 26 Februari 2007.

Dinamika amuk massa dan kelistrikan ini sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari politik energi dalam negeri. Tarikan kepentingan penguasaan antara modal dan penguasaan Negara adalah pijakan untuk membongkar struktur masalah krisis energi ini. Kontrakdiktif kepentingannya kian saling menegaskan, dan mengumbar kepanikan massal yang luar biasa, seperti kasus yang terjadi di Tentena, dimana masyarakat menyerang PLN sebagai perusahaan Negara.

Pertama, Konfigurasi politik energi ini, dengan jelas diarahkan pada dua pendapat umum tentang kelistrikan di Indonesia. yakni penyediaannya harus dimonopoli oleh negara; dan yang mengatakan perlunya privatisasi listrik. Keduanya mengandung dilema. Bila dimonopoli negara seperti yang terjadi selama ini, PLN sebagai BUMN yang mengelola kelistrikan dapat seenaknya menentukan harga dasar listrik per KWH tanpa ada pilihan bagi konsumen. Sebaliknya bila diprivatisasi, listrik sebagai hajat hidup orang banyak akan ditentukan oleh pemodal (Muslimin B. Putra, 2005). Dalam pertarungan ini sasaran kebencian rakyatlah yang dengan mudah dapat dimobilisir.

Dalam wacana yang lebih luas, pertarungan antara penguasaan swasta dan negara ini berlanjut dalam dimensi kebijakan. Hal itu bisa dilihat dari lahirnya UU tentang kelistrikan No 30 Tahun 2009, tentang ketenagalistrikan. Pihak swasta diperbolehkan dalam melakukan penyediaan tenaga listrik, melalui mekanisme perizinan. Regionalisasi harga adalah cerminan desentralisasi penguasaan energi dalam aturan ini, dimana dimungkinkan bagi setiap penyedia tenaga listrik mengatur harga berdasarkan kesepakatan pada tingkat daerah masing-masing, berikut tujuan suplainya.

Kedua, dalam pengelolaan listrik swasta, oligarki bisnis yang siap menerkam kepentingan masyarakat ini, sudah mulai bermunculan kepermukaan. Bisa dilihat konglomerat seperti Keluarga Yusuf Kalla yang menjadi produsen utama listrik dari Sulewana. Hasilnya pun sudah jelas tidak diarahkan untuk kepentingan listrik didaerah Sulteng. Hal itu terjadi karena Orientasi industry akan mengarahkan suplai listrik pada tujuan peningkatan surflus. Hal itu bisa kita lihat, pada kasus PLTA Sulewana yang seluruh pasokannya dialirkan ke Wilayah Sulawesi Selatan. Alasannya sederhana, industri dan public di Sulsel siap membelinya, selain karena memang industry Kalla banyak disana.

Sementara di Kota Palu, kondisi pelistrikan juga terus dibicarakan, rabu tanggal 2 Desember 2009 Hearing kembali dilakukan oleh anggota dewan dengan menghadirkan Pihak PLN dan Pusaka Jaya Palu Power (PJPP). Salah satu alasan dilakukannya hearing ini adalah untuk merespon rencana penghentian operasi PLTU pada tanggal 10 Desember 2009. Hal itu dilakukan menyusul penghentian suplay batubara ke PLTU, diakibatkan karena ketidakmampuan pihak PJJPP melakukan pengembalian Hutang sebesar Rp 33 Miliar.

Substansi masalahnya adalah proses negosiasi harga antara pihak PJPP dan PLN cabang Palu. Dimana penyediaan listrik melalui PJPP menginginkan kenaikan harga.

Jadi, jika berangkat dari studi kasus diatas, pergulatan wacana atas penguasan energi listrik antara pihak swasta dan negara. Telah menimbulkan situasi inkondusif. Padahal kalau kita lihat berdasarkan uraian diatas, penyediaan energy listrik oleh pihak swasta pun juga akan tetap menimbulkan krisis. Utamanya pada sektor penetapan harga atau tarif dasar listrik (TDL).

Jalan Keluar Mendesak

Telah kita cermati situasi kelistrikan diatas tadi, bahwa dua fenomena kepentingan yang saling bermukim dalam wacana kelistrikan yakni penguasaan oleh swasta atau negara. Tawaran-tawaran penguasaan oleh pihak swasta pun juga akan tetap menimbulkan krisis. Sementara saat ini masyarakat kian mengalami krisis kepercayaan atas PLN. Dalam hal inilah tulisan ini mencoba melihat lebih dalam kemungkinan yang bisa dilakukan dalam mengatasi krisis.

Pertama, permasalahan listrik memang adalah kasus yang terus berulang. Pola penguasaan model PLN adalah mungkin itu yang dianggap sebagai masalah oleh sebagian orang. Namun, mari kita coba memulai perdebatan listrik ini, dalam kerangka pembenahan manajemen kelistrikan oleh PLN. [1] Penguasaan yang dilakukan oleh PLN selama ini tidak pernah diketahui public secara luas kemana arah dan tujuan suplainya, seperti pada program 1000MW dimana Sulteng tidak mendapat jatah. [2] Income dari hasil penjualan selama ini, public tidak pernah tahu sejauh mana penghasilan itu menciptakan surflus.[3] PLN sejauh ini belum berani menjadi produsen hulu-hilir dibawah control negara melalui penguasaan bahan-baku energi seperti batubara dan seterusnya.

Kedua, Jika ternyata alasannya adalah kurangnya anggaran atau pasokan bahan baku, karena sumber-sumber energi ini dikuasai oleh pihak swasta baik asing maupun komprador domestic (Agen atau kongsi bisnis dalam negeri oleh pemodal asing) Maka tidak ada jalan lain bagi pemerintah adalah segera melakukan nasionalisasi terhadap semua perusahaan-perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak itu. Dan membangun sebuah industry energi yang bermental nasionalis. Karena penguasaan swasta pun tidak memiliki jaminan, jangan sampai jalan bagi swasta berakhir seperti kasus Bill Out Bank Century.

Oleh Andika : Penulis adalah Mantan Koordinator Kampanye dan Riset Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulteng Sulawesi Tengah

Tulisan ini diterbitkan dimajalah Silo

Tinggalkan Komentar Anda :