PENOLAKAN TAMBANG DAN PENDEKATAN PRIMITIF KEPOLISIAN

Tragedi tidak menyenangkan kembali terdengar menjelang bulan Ramadhan, penembakan terhadap rakyat yang menolak aktifitas perusahaan tambang PT. Cahaya Manunggal Abadi, penembakan dilakukan oleh aparat kepolisian. Kejadian tersebut tepatnya di kecamatan Balaesang Tanjung, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Polisi bertindak semena-mena dan secara nyata memperlihatkan “permusuhan” kepada rakyat di Balaesang Tanjung.

Betapa tidak, Polres Donggala melakukan penangkapan terhadap delapan orang yang diduga ikut terlibat dalam pembakaran alat berat milik PT. Cahaya Manunggal Abadi pada Tanggal 17 Juli 2012. Selain itu, Polres Donggala juga melakukan penembakan terhadap 5 warga Balaesang Tanjung diantaranya Masdudin (50), Aksan (45), Idin (35), Rusli (38) dan Ma’ruf (32). Penembakan itu berakhir pada kematian Masdudin (50) warga Desa Malei, Kecamatan Balaesang Tanjung, Kab. Donggala, Sulawesi Tengah.

Cerita kekerasan semacam ini mengingatkan kita pada zaman kompeni diabad IX, dimana ceritra keburukan aparat Belanda selama berada di Nusantara untuk menjamin praktek eksploitasi hasil-hasil bumi yang melihat sebelah mata status dan hak rakyat, hampir tak bisa dibedakan lagi dengan praktek kepolisian di Sulteng. Mereka menjadi “tukang pukul” setiap rencana investasi, entah memenuhi syarat atau tidak, yang jelas dikawal hingga “tetes darah terakhir”.

Dengan demikian apa yang dilakukan pihak kepolisian terhadap masyarakat Balaesang adalah tindakan yang absent kemanusiaan mewarisi prilaku kompeni, atau paling tidak Polisi masih menggunakan cara-cara yang dilakukan rezim Orde Baru dalam merespon situasi rakyat yang berkeinginan lain dengan kehendak penguasa dan modal.

Hasil investigasi Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah, menemukan fakta bahwa masyarakat Kecamatan Balaesang Tanjung yang terdiri dari tujuh desa diantaranya, Desa Walandano, Malei, Kamonji, Rano, Ketong, Pomululu, Palau secara tegas adalah bagian terbesar dari masyarakat yang melakukan penolakan terhadap rencana aktifitas PT. Cahaya Manunggal Abadi. Penolakan masyarakat berdasarkan kesadaran terhadap ruang kelola mereka dicaplok oleh izin pertambangan yang dikeluarkan Bupati Donggala Habir Ponulele Tahun 2010. Penguasaan ruang hidup rakyat Balaesang Tanjung oleh PT. Cahaya Manunggal Abadi, Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Donggala Nomor: 188.45/0288/DESDM/ 2010 Tanggal 5 Februari 2010 seluas 5.000 ha.

Selain perampasan ruang kelola masyarakat, juga menjadi kesadaran masyarakat yaitu dampak butuk yang ditimbulkan oleh aktifitas Industri pertambangan. Informasi media selama ini turut membantu dalam hal memberikan pendidikan kritis, seperti ketakutan terhadap bencana alam, bencana social dan dampak buruk bagi kesehatan ditimbulkan oleh aktifitas pertambangan.

Kurun waktu sejak diterbitkan izin Usaha pertambangan oleh Bupati Donggala, masyarakat melakukan penolakan terhadap rencana aktifitas PT. Cahaya manunggal Abadi dengan berbagai upaya, baik menyurat maupun aksi-aksi boikot. Bagi mereka, kegiatan itu adalah ekspresi perjuangan, sebagai bentuk kongkrit penolakan. Bahkan hasil Investigasi Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah, tercatat aksi yang dilakukan masyarakat mencapai kurang lebih 10 kali. Baik itu dilakukan di ibukota kabupaten Donggala maupun di desa.

Puncaknya, rapat koordinasi kecamatan Balaesang Tanjung yang dilakukan setiap tanggal 17, Dalam rapat koordinasi biasanya membicarakan tentang arah dan upaya pembangunan desa masing-masing. Acara tersebut dihadiri oleh Muspika, kepala-kepala desa, ketua-ketua BPD, serta tokoh adat, agama dan pemuda. Tetapi tidak seperti biasanya, rapat koordinasi kali ini disertai dengan upaya anggota DPRD Donggala untuk memberikan sosialisasi mengenai kesiapan PT. Cahaya manunggal Abadi untuk melakukan rencana aktifitas eksplorasi dan eksploitasi. Isu akan dilakukan sosialisasi memicu pergerakan besar masyarakat untuk hadir dalam rapat koordinasi.

Tujuannya adalah untuk menyampaikan keberatan atas rencana PT. Cahaya Manunggal Abadi yang akan beraktifitas diwilayah mereka. Mendengar adanya pergerakan besar masyarakat tersebut, camat Balaesang Tanjung, Saifullah Kalape yang biasanya memimpin rapat akhirnya tidak hadir, dan tidak seorang pun dari unsure Muspika yang tampak disana. Kesal karena camat dan unsur Muspika tidak ada yang hadir, maka masyarakat yang tergabung dari bermacam desa mengkonsentrasikan diri menuju kantor Camat di Desa Malei dan melakukan penyegelan dan berakhir pada pembakaran dua alat berat milik PT. Cahaya Manunggal Abadi di Desa Walandano.

Kecelakaan “Ber-hukum” Aparat Kepolisian.

Pembakaran dua alat berat milik PT. Cahaya Manunggal Abadi dilakukan oleh massa yang menolak rencana eksplorasi dan eksploitasi merupakan buntut panjang dari pengkamplingan ruang hidup rakyat secara besar-besaran melalui legitimasi Surat Keputusan Bupati Donggala, sejak tahun 2010 masyarakat Balaesang Tanjung telah melakukan penolakan terhadap rencana tersebut, pemerintah daerah seakan diam dan memperlihatkan kecenderungan untuk memihak kepada kepentingan modal.

Sesuai hasil Judicial Review yang dimohonkan oleh beberapa LSM Lingkungan Hidup, seperti WALHI, KPA, KIARA, PBHI DAN SP serta masyarakat terdampak kepada Mahkamah Konstitusi mengenai Pasal 6 ayat (1) huruf e Jo Pasal 9 ayat 2, Pasal 10 huruf b dan Pasal 162 Jo 136 ayat (2) yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Minerba, sangat jelas dinyatakan bahwa sepanjang tidak memperhatikan pendapat masyarakat terdampak yang wilayah maupun tanah miliknya masuk kedalam wilayah pertambangan seharusnya dimaknai bertentangan dengan konstitusi. Maka, dengan jelas masyarakat terdampak diwilayah kecamatan Balaesang Tanjung yang menolak PT. Cahaya Manunggal Abadi seharusnya dinyatakan sah secara hukum.

Tindakan ngotot yang dilakukan oleh PT. Cahaya manunggal Abadi untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Kecamatan Balaesang Tanjung adalah tindakan yang bertentangan dengan hukum positiv yang berlaku di Indonesia. Keterlibatan para elit politik lokal untuk membantu PT. Cahaya Manunggal Abadi merupakan tindakan yang melawan hukum dan Polisi harus tegas dalam membela kepentingan siapa? Undang-Undang sebagai aturan main negara? Ataukah modal yang berkolaborasi dengan kepentingan sesat elit politik local.

Kelemahan aparat Polres Donggala dalam menterjemahkan perintah Undang-undang, berdampak pada penembakan dan hilangnya nyawa manusia. Hal tersebut tidak bisa ditolerir dengan dalih penertiban atau apapun. Apalagi, aparat keamanan yang diturunkan kelokasi, tempat dimana pembakaran alat berat berlangsung, diduga tidak menggunakan cara-cara profesional melakukan pendekatan kultur, melainkan mengedepankan cara-cara primitif yang bertentangan dengan Hak Azasi Manusia.

Mereka secara sengaja menyulut situasi yang tidak kondusif dengan me-mobilisasi pasukan beserta kendaraan-kendaraan tempur, seakan sedang mempertegas diri untuk melakukan serangan mematikan terhadap lawan. Pada lain pihak, harapan rakyat, seharusnya, kepolisian melakukan pemeriksaan terhadap para pejabat eksekutif maupun legislative yang terlibat memberikan izin terhadap aktifitas PT. Cahaya manunggal Abadi yang secara resmi mendapat penolakan warga masyarakat Balaesang Tanjung. Bukan melakukan parade kekuatan bersenjata hingga berakhir pada serangan “bar-barian” menembaki rakyat secara membabi-buta yang merugikan banyak pihak, terutama para korban.

 

 

Syahrudin Ariestal Douw

(*Penulis adalah Direktur Jatam Sulteng, 2012)

Tinggalkan Komentar Anda :