NASIONALISASI TAMBANG UNTUK KESEHATAN DAN PENDIDIKAN GRATIS

Saat kita bicara soal kesejahteraan, paling tidak ada tiga masalah pokok rakyat Indonesia. Soal kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja.

Kesehatan dan pendidikan yang buruk lahirkan generasi Indonesia dengan kualitas sumber daya manusia yang rendah. Lapangan kerja hanya menyerap sumber daya manusia terdidik dan sehat. Sisi lain, kesehatan dan pendidikan yang buruk, juga mencerminkan korupsi akut, serta tidak adanya perhatian serius pengurus negara pada rakyatnya.

Singkatnya, kesehatan dan pendidikan yang buruk, serta tidak tesedianya lapangan kerja, mendekatkan rakyat pada kemiskinan. Inilah keadaan masyarakat Indonesia saat ini. Terjadi disparitas, alamnya kaya, rakyatnya miskin.

Tengoklah data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa jumlah pengangguran terbuka (S-1) pada Februari 2007 sebanyak 409.900 orang. Setahun kemudian, pada Februari 2008 jumlah pengangguran terdidik bertambah 216.300 orang atau menjadi sekitar 626.200 orang. Jika setiap tahun jumlah kenaikan rata-rata 216.300, maka pada Februari 2011 telah terjadi peningkatan pengangguran terdidik S1 sejumlah terdapat 1.275.100 orang.

Jumlah tersebut, belum ditambah dengan pengangguran lulusan diploma (D-1, D-2, D-3) dalam rentang waktu 2007-2010 saja tercatat peningkatan sebanyak 519.900 orang atau naik sekitar 57%.

Data-data soal kemiskinan, kesehatan dan pengangguran ini akan sangat panjang. Namun intinya, ini akibat kekayaan sumber daya alam Indonesia, tidak untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kekayaan tambang terakumulasi pada korporasi asing. Triliunan rupiah setiap tahun nilai tambang dibawa ke luar negeri. Sementara, rakyat Indonesia hanya jadi kuli, sisanya jadi penonton. Terjadi salah urus pengelolaan sumber daya alam!

Berbagai perjanjian kerjasama pertambangan, seperti kontrak karya (KK) untuk galian mineral dan kontraktor production sharing (KPS) untuk migas hanya menguntungkan korporasi-korporasi luar negeri semacam ExxonMobil, Chevron, ConocoPhilips, Total, British Petroleum, PetroChina, Shell, CNOOC, Freeport, Newmont, BHP Biliton, Inco.

Raksasa korporasi tambang mendapatkan konsesi dan leluasa mengeruk kekayaan tambang nasional Indonesia, sebab sepenuhnya mendapat sokongan dari pemerintah dan parlemen (DPR).

Sebagai contoh PT Freeport Indonesia (PTFI). Dengan merujuk Laporan Kinerja Keuangan tahun 2013 Freeport Mcmoran Copper & Gold (FCX), pemilik 90,64 persen saham PTFI, bahwa menunjukan total penjualan emas dan tembaga dari tambangnya di Indonesia mengalami kenaikan.

Kenaikan secara total senilai 6,2 persen atau menjadi USD 4,34 (Rp 49,59 triliun), pada akhir tahun 2011, jika dibandingkan pada periode tahun 2012 sebesar USD 4,09 miliar. Penjualan tembaga tercatat naik menjadi USD 2,9 miliar pada tahun 2013. Dari penjualan tahun sebelumnya USD 2,56 miliar.

Sementara, untuk penjualan emas tercatat, turun tipis menjadi USD 1,44 miliar dari sebelumnya, USD 1,52 miliar. Meskipun volume penjualan emas juga mengalami kenaikan menjadi 1,096 juta ons pada tahun 2013 dibandingkan penjualan tahun 2012 sebanyak 915 ribu ons. Harga rata-rata penjualan emas turun menjadi USD USD 1.312 per troy ons dari sebelumnya USD 1.664 per troy ons.

Dengan penghasilan itu, PTFI hanya memberikan royalti emas sebesar 1% dan royalti tembaga sebesar 1,5 – 3,5%. Padahal, jika melihat laporan keuangan Freeport McMoran tahun 2012 saja, Freeport telah menjual 915.000 ons emas dan 716 juta pons tembaga dari tambang Grasberg, Papua. Kinerja penjualan emas tersebut menyumbang 91% perjualan emas perusahaan induknya, yakni Freeport McMoran.

Jalan Berliku Nasionalisasi

Jalan nasionalisasi tambang di negeri ini berliku. Tengok saja proses renegosiasi tambang Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), produsen batangan (ingot) di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara.

Moch. Wahyudi (2013) menguraikan negosiasi Inalum sudah terjadi antara pemerintah dengan Nippon Asahan Alumunium (NAA) sejak 2010. Berdasarkan Master Agreement yang ditandatangani 7 Juli 1975, masa pengelolaan Inalum oleh NAA harus berakhir 31 Oktober 2013.

Pada Desember 2012, Inalum sempat mentok di DPR. Dana Rp 2 triliun untuk menebus Inalum yang ada dalam APBN-P 2012 belum bisa dicairkan lantaran Komisi XI DPR-RI tidak setuju pengambilalihan dilakukan oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) Kementerian Keuangan.

Selain anggaran Rp 2 triliun, Kemenkeu juga tengah mengalokasikan anggaran untuk pengambilalihan Inalum sebesar Rp 5 triliiun dalam draft APBN 2013.

Kebutuhan dana untuk mengambil alih Inalum diperkirakan mencapai USD 709 juta atau setara Rp7 triliun. Terdiri dari pembelian aset sebesar USD 549 juta, dana kontijensi USD 60 juta, dan biaya operasional perusahaan selama transisi USD 110 juta.

Izin DPR baru turun sekitar Oktober lalu, disertai empat syarat. Disisi lain, negosiasi antara pemerintah dan NAA masih alot.

NAA meminta Inalum ditebus sebesar USD 650 juta, sementara pemerintah menyanggupi USD 390 juta. NAA kemudian menurunkan angka tebusan menjadi USD 626 juta, sementara Indonesia hanya menaikkan sedikit menjadi USD 424 juta.

Sangking alotnya, pemerintah sempat berpikir untuk menyelesaikan masalah ini ke badan arbitrase internasional. Untung, keduanya sepakat di angka USD 556,7 juta. Ujungnya, pemerintah dan NAA menandatangani pengakhiran kerja sama pada 9 Desember 2013.

Front Persatuan

Kasus nasionalisasi tambang Inalum ini setidaknya berlangsung selama tiga tahun. Nah, dengan pengalaman yang ada, mestinya bangsa Indonesia dapat juga melanjutkan program nasionalisasi terhadap tambang-tambang lainnya.

Sudah saatnya, program nasionalisasi tambang asing menjadi prioritas bersama seluruh kaum pergerakan. Problem pendidikan, kesehatan dan sulitnya rakyat mendapatkan lapangan kerja dan upah layak, yang sudah menjadi masalah menyejarah bangsa Indonesia, mestinya dapat diatasi dengan langkah nasinalisasi tambang ini.

Gerakan-gerakan perjuangan buruh, perjuangan agraria dan kedaulatan SDA, serta kaum pro demokrasi mesti bergotong royong mendesakkan negara untuk segera ambil-alih pengelolaan tambang-tambang asing di Indonesia. Dibutukan kerendahan hati kaum pergerakan untuk duduk bersama dan menentukan strategis perjuangan untuk membangun dan meluaskan Front Persatuan untuk Nasionalisasi Tambang Asing.

Potensinya terbuka lebar. Sebab, gagasan perjuangan menegakkan Pasal 33 UUD 1945, serta agenda reforma agraria, saat ini telah berkembang luas. Menohok kesadaran kaum tani, mahasiswa, buruh, kalangan pro demokrasi, hingga ke jantung kelas menengah dan elit politik Indonesia.

Roh perjuangan nasionalisasi adalah kekayaan alam bangsa, sebesar-besarnya dimanfaatkan untuk kemakmuran bangsa itu sendiri. Untuk kedaulatan rakyatnya. Tambang dan migas tidak untuk dikuasai korporasi asing. Sementara, rakyat Indonesia hidup melarat!

Gelora perjuangan nasionalisasi tambang dan kekayan alam ini, semestinya jadi harga mati bagi perjuangan demokrasi nasional Indonesia.

Karena hari-hari ini, sedang berlangsung kontestasi Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Agenda mendorong program nasionalisasi tambang ini menjadi program prioritas, juga mesti didorong terus. Biar para capres yang ada, tak melulu bicara “koalisi”, “bagi-bagi kursi” dan program-program reaksioner yang jauh dari tuntutan sejati rakyat Indonesia.

 

 

Oleh: Erwin Usman

Penulis Direktur Eksekutif Indonesia Mining and Energy Studies (IMES),

Mantan Aktivis WALHI.

Sumber: Bergelora.com. Edisi: Senin, 05 Mei 2014

Tinggalkan Komentar Anda :