KONFLIK TAMBANG JANGAN USIK KEBUN DAN PERSAUDARAAN KAMI

Tahun ini menjadi Ramadhan paling pilu bagi Nuraini (35) serta empat anaknya, yaitu Serli (10), Melgi (8), Ema (4), dan Eping (7 hari). Eping adalah panggilan untuk anak yang belum diberi nama. Jumat (20/7) lalu, saat sebagian warga Desa Malei, Kecamatan Balaesang Tanjung, Kabupaten Donggala, sekitar 185 kilometer utara Kota Palu, Sulawesi Tengah, sudah menjalani hari pertama puasa, Nuraini justru harus memakamkan suaminya. Masdudin (48), yang tertembak pada bagian pinggul tembus ke perut pada Rabu pagi, tewas pada Kamis pukul 14.45 Wita.

Sebenarnya, pada Kamis dini hari Masdudin, yang sempat disembunyikan di hutan, dilarikan ke Rumah Sakit (RS) Bhayangkara karena kondisinya kritis. Namun, takdir berkata lain. Kesedihan tak hanya dirasakan keluarga Masdudin, tetapi hampir semua warga desa yang pagi itu meratapi kedatangan jenazahnya.

Beruntung, warga desa yang sebelumnya terlibat konflik dan terbagi dua kubu yang pro dan kontra terkait rencana eksploitasi tambang emas di wilayah itu menahan diri. Usai pemakaman Masdudin, mereka memilih berkonsentrasi menjalankan ibadah puasa.

Pada Selasa terjadi perusakan puluhan rumah warga yang dinilai mendukung masuknya tambang ke wilayah tersebut. Selain rumah, warga juga merusak sebuah pos polisi serta membakar sebuah kamp milik perusahaan dan dua unit kendaraan alat berat. Perusakan dilakukan warga yang menyatakan diri antitambang. Keesokan harinya saat lebih dari 100 personel polisi masuk ke wilayah itu dan menangkap warga yang diduga melakukan perusakan, terjadi bentrok antarwarga dan aparat.

Lima warga tertembak. Mereka adalah Masdudin dan Aksan (45) yang terkena tembakan di bagian belakang. Tiga lainnya adalah Idin (35) dan Rusli (38) yang masing-masing terkena di bagian kaki serta Ma’ruf (32) di pantat. Pasca-kejadian, banyak warga yang bersembunyi di hutan, termasuk korban luka tembak. Hanya Masdudin yang dilarikan keluar hutan karena kondisinya yang memburuk.

Sarat masalah

Konflik antarwarga dan dengan polisi bermula dari rencana masuknya PT Cahaya Manunggal Abadi ke Kecamatan Balaesang Tanjung untuk eksploitasi tambang emas. Perusahaan ini mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas areal sekitar 5.000 hektar yang mencakup delapan desa. Warga menolak karena sebagian besar lokasi yang masuk dalam izin adalah kebun dan ladang mereka yang berisi tanaman kakao, cengkeh, kelapa, dan lainnya.

”Kalau tambang ini masuk, habis semua kebun warga jadi lokasi tambang. Sejak awal kami menolak, tetapi penolakan kami tidak pernah didengar. Bahkan, izinnya keluar dan amdalnya pun keluar tanpa ada persetujuan warga,” kata Rustam, salah seorang warga setempat.

Hal ini dibenarkan Abdul Muis Yahya, anggota DPRD Donggala. Seluruh kebun warga di Balaesang Tanjung luasnya kurang dari 4.000 hektar. Ini berarti jika tambang emas ini jalan, sebagian rumah warga juga akan masuk dalam lokasi tambang.

”Bahkan, sebagian wilayah Danau Rano yang ada di wilayah tersebut yang dijadikan pusat pembibitan ikan air tawar juga akan masuk dalam lokasi tambang. Ini juga termasuk hutan lindung yang ada di sekitar danau. Sejak awal warga memang menolak karena mereka turun-temurun sudah menyandarkan hidup dalam sektor perkebunan. Kebun mereka amat subur. Kalaupun ada yang sepakat dengan tambang, hingga kini kompensasinya belum jelas,” kata Muis.

Anehnya, kendati sejak awal ditentang warga, rencana eksploitasi tambang ini tetap jalan. Bahkan, izin Amdalnya keluar tanpa sepengetahuan, apalagi persetujuan warga. Ini kemudian membuat warga kian meradang. Terlebih saat sebagian warga dinilai sepakat dengan tambang.

Kesepakatan warga nyatanya sebagian karena terpaksa. Ini, antara lain, diakui Abdul Rauf Lamuse, Kepala Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Malei, yang rumahnya menjadi amukan warga lain.

”Sejak awal saya yang ikut menentang rencana ini. Saat itu saya belum jadi kepala BPD. Lalu, kepala desa memaksa saya dengan alasan bahwa jika ini ditolak, akan ada dampak hukum hingga penjara. Ternyata ini yang saya dapat, dimusuhi warga dan rumah saya hancur,” kata Rauf.

Soal pro dan kontra berujung konflik ini, Pemerintah Kabupaten Donggala mengaku bingung karena sesuai kesepakatan pada 2010, warga sudah menyatakan menerima. Bahkan, kesepakatan ditandatangani sejumlah tokoh masyarakat dan desa.

”Kami menurunkan tim serta akan mencari data dan meneliti lebih detail apa sebenarnya keinginan masyarakat. Kami akan mencari tahu apa sebenarnya akar masalahnya. Sembari mengumpulkan data, kami juga berkonsentrasi untuk mencegah bentrok antarwarga,” kata Syafruddin H Muda, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Donggala.

Komnas HAM

Soal konflik warga, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga sudah turun langsung ke Balaesang. Wakil Ketua Komnas HAM M Ridha Saleh menilai, pemicu bentrok antarwarga ataupun warga dengan polisi adalah persoalan tambang.

”Oleh karena itu, kami akan memanggil Bupati Donggala untuk meminta keterangan soal ini. Kami lihat IUP dikeluarkan pemerintah. Padahal, masyarakat sebagian besar tidak sepakat. Ini yang akhirnya memicu konflik dan amuk massa,” kata Ridha Saleh.

Andika, Manajer Riset dan Kampanye Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah, mengatakan, dalam persoalan ini seharusnya pemerintah Kabupaten Donggala menjadi mediator dan mendengar aspirasi warga.

”Bukan justru melakukan pembiaran. Seharunya pemerintah melakukan moratorium untuk menelaah lagi masalah ini. Izin di atas kebun warga tanpa persetujuan mereka dan keluarnya amdal tanpa pernah dibicarakan dengan masyarakat adalah inkonstitusional,” katanya.

Penolakan warga atas rencana eksploitasi tambang cukup beralasan jika melihat kehidupan mereka yang terbilang berkecukupan. Ini, di antaranya, dapat dilihat dari rumah- rumah yang tertata rapih dan sebagian besar permanen.

Umumnya warga mengandalkan kebun dan perikanan sebagai mata pencarian utama. Sekian lama hingga sebelum rencana eksploitasi tambang ini, warga hidup rukun di tengah keberagaman di wilayah tersebut.

”Karena itu, kami berharap janganlah kebun dan ladang kami diganggu oleh pertambangan. Jangan pula mengusik kami dengan membenturkan sesama warga untuk kepentingan investasi yang entah siapa yang akan menikmati nanti. Kami ingin kehidupan kami yang damai dengan kebun-kebun yang subur. Itu sudah cukup,” kata H Anwar, salah seorang tokoh masyarakat Balaesang Tanjung. (Reny Sri Ayu)

Sumber : cetak.kompas.com: 27 Juli 2012

Tinggalkan Komentar Anda :