KOMPPAS BERGERAK!

Tanggapan Kelompok Masyarakat Sipil Atas Rancangan Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral Dan Batubara di Sulawesi Tengah.

Luasan IUP pertambangan di sulawesi tengah mencakup hampir seperempat luas wilayah daratan provinsi sulawesi tengah, berdasarkan data dari dirjen minerba per desember 2017, jumlah IUP sulteng adalah 337 IUP terbagi dari IUP CnC 232 dan IUP Non CnC sebesar 105 IUP. Luas dari keseluruhan IUP tersebut adalah 1,4 Juta Ha atau 23% dari 6,2 Juta Hektare luas daratan Provinsi Sulawesi tengah.

Hampir 20 % Luasan IUP pertambangan, masuk dalam kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi. Terdapat sekitar 262.148 Hektre atau 18% masuk dalam kawasan hutan lindung, dan sekitar 13.800 Ha atau sekitar 1% masuk dalam kawasan hutan Koneservasi. Data hasil investigasi JATAM Sulteng juga menunjukkan dari 86 pemegang IUP yang masuk dalam kawasan hutan lindung, hanya 13% ( 11 Pemegang IUP ) yang mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ( IPPKH ) dari kementrian lingkungan hidup dan kehutanan sementara terdapat 87% Pemegang IUP diduga belum memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan ( IPPKH ).

Bukan hanya persoalan tumpang tindih dengan kawasan hutan, Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Pertambangan Sulteng ( KOMPPAS ) juga menemukan permasalahan yang lain di antaranya :

  1. Kewajiban pemegang IUP dalam membayar Landrent dan Royalti masih rendah yang menyebabkan potensi terjadinya kerugian daerah sebesar 36 Milyar setiap tahunnya. Dari Badan Pendapatan Daerah Sulteng menunjukkan pendapatan APBD sulawesi tengahdari sektor pertambangan berupa landrent dan royalti pada tahun 2016 hanya sebesar 8,31 Miliar.
  2. Kriminalisasi terhadap masyarakat disekitar tambang masih terjadi berdasarkan catatan ( KOMPPAS ) di sulawesi tengah sejak tahun 2017 sudah ada 8 warga yang yang di kriminalisasi oleh perusahaan tambang
  3. Aktivitas perusahaan yang beroprasi di Sulawesi Tengah memiliki dampak terhadap kesehatan masyarakat
  4. Kasus ilegal mining yant tidak pernah terselesaikan di kawasan Tahura Poboya yang menggunakan zat berbahaya berupa mercuri dan sianida yang mengancam 400 ribu masyarakat lembah palu.
  5. Pembangunan JETTY atau TUKS ( Terminal Untuk Kepentingan Sendiri ) yang ilegal berkontribusi pada kerusakan bibir Pantai dan terumbu karang.
  6. Aktivitas pertambangan telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang menyebabkan terganggunya perekonomian masyarakat yang bergantung pada pertanian dan hasil laut
  7. Penyerapan tenaga kerja asing dalam usaha pertambangan menggusur tenaga kerja lokal dan menimbulakan diskriminasi.

Melihat kondisi pertambangan yang ada di atas dan membandingkan dengan rancangan peraturan daerah tentang pengelolaan pertambangan minerba dan batubara, KOMPPAS menemukan permasalahan dalam penyusunan ranperda tersebut diantaranya. Rancangan perda belum mengakomodir isu, permasalahan, kebutuhan lokal dan juga, rancangan perda belum memasukkan prinsip prinsip tata kelola pemerintahan yan baik ( good governance ). Dan hal yang peling penting KOMPPAS mengidentifikasi 16 poin penting dalam rancangan perda yang kurang sesuai dengan norma dan kesesuaian pengaturan kebijakan.

Atas dasar hal tersebut Maka KOMPPAS melihat bahwa Rancangan Perda Pengelolaan Mineral dan Batubara yang di insiatifkan oleh DPRD Provinsi sulawesi Tengah tersebut masih jauh dari prinsip- prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, dari sisi proses penyusunannya maupun subtansi rancangan. Oleh karenanya KOMPPAS merekomendasikan untuk :

  • Mendorong naskah akademik dibuka secara luas dan memungkinkan untuk melakukan perbaikan atas kondisi atau permasalahan pertambangan terkini melalui instrumen pendamping rancangan perda misalnya keterangan naskah raperda
  • Mendorong proses konsultasi publik yangmembuka ruang yang lebih luas kepada masyarakat termasuk yang terdampak dan stakeholder lainnya untuk memberikan masukan.
    Mendorong perbaikan rancangan perda dengan tidak melakukan redudansi dan penghilangan ketentuan perundang undangan sektorl lainnya yang diagregasi dalam kontek lokal
  • Mengusulkan untuk mengganti judul raperda dari pengelolaan pertambangan minerba menjadi pengawasan pertambangan minerba mengingat pengaturan tentang pelaksanaan pengelolaan pertambangan minerba dan batubara sudah diatur secara lengkap dalam UU No 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara dan dalam urusan revisi terkait dengan UU No 23 Tahun 2014. Untuk itu, raperda harus memberikan titik tekan pada fungsi pengawasan pelaksanaan usaha pertambangan yang menjamin keterlibatan masyarakat lebih luas. Tim pokja pertambangan dan tim inventarisasi reklamasi dan pasca tambang perlu disatukan dengan melibatkan masayarakat termasuk keterwakilan perempuan yang berfungsi untuk memperkuat kegiatan pengawasan dan pembentukan tim Pokja pertambangan hendaknya memperhatikan prinsip good governance dan diatur melalui pertauran gubernur.
  • Mengusulkan klausul tentang WPR, IPR dan pembinaan dan pengawasan pertambangan rakyat dikeluarkan dalam pengaturan dan diatur tersendiri melalui peraturan daerah sesuai dengan amanat UU No 4 Tahun 2009 Tentang mineral dan Batubara.
  • Mengusulkan kepada Gubernur Sulawesi Tengah untuk mengeluarkan kebijakan tentang Moratorium pertambangan di sulteng sebagai respon untuk mengantisipasi dan mengatasi persoalan penataan perizinan dan permasalahan lainnya sektor pertambangan yang saat ini terjadi.

Palu 22 Desember 2017

Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Pertambangan Sulteng ( KOMPPAS )

Walhi Sulteng, Jatam Sulteng, Komiu, LIBU Perempuan, Sekola Mombine, Yayasan Merah Putih ( YMP ) ROA.PEI.

Tinggalkan Komentar Anda :