KOALISI SIAPKAN 18 PENGACARA

PALU, MERCUSUAR – Koalisi Advokasi Untuk Balaesang Tanjung (Kasub) Sulteng telah menyiapkan 18 pengacara untuk membantu korban yang kini menjadi tersangka dugaan pengrusakan dan pembakaran alat berat milik PT Cahaya Manunggal Abadi (CMA) di Kecamatan Balaesang Tanjung, Kabupaten Donggala.

Setidaknya, ada dua hal yang menjadi tugas utama koalisi ini. Yang pertama, akan melakukan pendampingan hukum bagi 13 korban yang menjadi tersangka pengrusakan serta melakukan investigasi pelanggaran HAM yang dilakukan kepolisian saat konflik Balaesang Tanjung, 18 Juli silam.

Manajer Riset dan Kampanye, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng, Andika, mengatakan, Kasub Sulteng merupakan gabungan dari sejumlah LSM seperti Jatam, Walhi, KPPA hingga DPW KNPI Sulteng. Kasub ini, kata dia, juga telah mendapat kuasa dari 13 tersangka untuk membantu pendampingan hukum bagi mereka.

“Saat ini, 13 warga Kecamatan Balaesang Tanjung telah ditahan di Mapolres Donggala. Mereka dituduh terlibat dalam aksi pembakaran ataupun pengrusakan,” Jelas Andika di damping Direktur Walhi Sulteng Ahmat Pelor, Direktur KPPA Sulteng, Mutmainnah Korona, dan Hamka.

Direktur Walhi Sulteng, Ahmat Pelor mengatakan, selain bantuan hukum kepada 13 warga yang ditahan, pihaknya juga akan melakukan investigasi pelanggaran HAM di Balaesang Tanjung. Dari hasil investigasi sementara, pelanggaran HAM memang kuat terjadi di Kecamatan itu. Menurut dia, operasi yang dilakukan oleh kepolisian diluar dari prosedur tetap (Protap).

Ditanya seputar sikap kesan lamban Polda Sulteng dalam mengungkap anggota polisi yang menembak mati warga Balaesang Tanjung. Ahmat Pelor menyatakan, bahwa sikap kepolisian dalam pengungkapan kasus-kasus penembakan memang kerap lamban. Dari pengalaman kasus penembakan seperti di Buol dan Tiaka, polisi juga tidak mengusutnya secara tuntas. Padahal, jika ini diusut tuntas, ada oknum-oknum polisi yang bisa dipecat karena bertindak diluar prosedurnya.

“Menurut Data yang diperoleh Walhi, tahun ini, sebanyak 24 orang mati ditembak polisi. Makanya Kapolda harus menindak cepat siapa-siapa pelaku penembakan lima warga tersebut,” tegas Mat – sapaannya.

Direktur KPPA Sulteng Mutmainah Korona mengatakan, 85 persen dari 13 warga yang ditahan telah berkeluarga dan mereka menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Menurut hasil amatannya dengan para keluarga tersangka, kondisi mereka sangat memprihatinkan. Apalagi, banyak diantara mereka baru melahirkan, sehingga bingung menafkahi keluarganya.

“Istri-istri yang ditahan itu banyak yang baru melahirkan. Mereka bingung, bagaimana menghidupi anaknya, sementara suami mereka ditahan polisi. Kondisi mereka memang sangat menyedihkan,” ujar Neng Korona.

Dia menambahkan, terlebih lagi keluarga almarhum Masdudin alias Sando, warga yang ditembak mati polisi saat rusuh Balaesang Tanjung. Istri Sando harus menafkahi empat anaknya. Bahkan, istrinya itu baru dua pekan melahirkan anak keempatnya.

“Menurut keterangan warga, Sando saat kejadian bekerja membuat pondasi. Karena suasana kacau, ia pun ikut-ikutan lari. Ternyata, ia tertembak di perutnya. Makanya, istri almarhum sangat tidak menerima kejadian ini,” terangnya.

Tapi anehnya, sambung Neng Korona, Polda Sulteng malah bersikap diskriminatif. Masyarakat biasa langsung ditangkap dan ditahan, sementara oknum polisi dibiarkan berkeliaran. GUS

Sumber: Harian Mercusuar: Selasa, 31 Juli 2012

Tinggalkan Komentar Anda :