KISRUH TAMBANG JATAM SULTENG DESAK GUBERNUR TERAPKAN MORATORIUM

PALU: Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah mendesak Gubernur Longky Djanggola melakukan moratorium aktivitas pertambangan di wilayah itu menyusul tingginya potensi dampak kerusakan lingkungan.

Manager Riset Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng Andika mengatakan laju investasi pertambangan berpotensi meningkatkan dampak kerusakan lingkungan dan konflik perebutan sumber daya alam antara pihak perusahaan dan masyarkaat setempat.

“Kami mengimbau Gubernur Sulteng mengeluarkan keputusan politik dengan melakukan moratorium [penundaan sementara] aktifitas pertambangan dan mendesak pembentukan tim independen penyelesaian masalah agraria serta kajian kelayakan pertambangan,” ujar Andika di Palu, Rabu (25/7).

Dia mengatakan hingga saat ini terdapat 365 perusahaan tambang yang memiliki izin usaha pertambangan [IUP] dan ditambah dengan satu mega proyek minyak dan gas Donggi Senoro.

Kabupaten Morowali, katanya, berada ditempat pertama dengan 149 IUP. Bahkan seluruh areal pertambangan itu luasnya lebih besar dibandingkan dengan luas kabupaten itu sendiri.

Lebih ironisnya lagi, semua perusahaan itu beroperasi sebelum ada penetapan Wilayah Pertambangan, dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan. Dengan demikian perusahaan tak ubahnya sekedar penjual tanah mentah (orb) yang bersengketa dengan petani untuk kepentingan industri negara—negara maju, terutama China dan Jepang.

“izin-izin ini selain volume kerusakan lingkungan per satuan konsesimeningkat, juga sudah merambah kawasan hutan lindung termasuk upaya mengkriminalisasikan rakyat dalam berbagai macam bentuk untuk kepentingan perusahaan pertambangan,” tegasnya.

Baginya dampak itu lalu memicu pula aksi kekerasan bersenjata terhadap rakyat yang menolak pertambangan. Kekerasan itu dilakukan oleh aparat keamanan negara dalam hal ini kepolisian yang dalam setiap upaya pengamanan melakukan tindakan represif.

Sejumlah kasus itu di antaranya penembakan nelayan di Kolo Bawah, Kabupaten Morowali terkait dengan perusahaan Joint Operating Body Pertamina–Medco E & P Tomori Sulawesi. Dua orang tewa, tujuh luka—luka dan 23 orang berhadapan dengan hukum dan dipenjara.

Kasus lain adalah kekerasan yang baru sepekan terjadi di Kecamatan Balaesang Tanjung, Kabupaten Donggala ketika warga menolak tambang emas PT Cahaya Manunggal Abadi (CMA). Seorang tewas, empat luka tembak, dan 13 orang ditangkap.

Izin CMA Janggal

Dalam kesempatan terpisah, Ketua komisi III DPRD Donggala Arty Kailiwati mengatakan IUP milik CMA dinilai banyak kejanggalan dalam proses keluarnya izin.

“Dinas teknis dalam hal ini Dinas Energi Sumberdaya dan Mineral (ESDM) dan Badan Lingkungan Hidup telah melakukan pembiaran terhadap CMA untuk melakukan eksplorasi tanpa kontrol dari pemerintah daerah,” katanya saat memimpin rapat dengar pendapat, Senin (23/7).

Ketika terjadi konflik, katanya, Pemda Kabupaten Donggala seolah-olah lepas tangan dan cenderung menyalahkan perusahaan misalnya soal analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang belum selesai disosialisasikan tetapi sudah terbit izin usaha pertambangan.

Kepala Bidang Geologi dan Mineral Dinas ESDM Syamsu Alam menegaskan AMDAL merupakan adalah akhir dari sebuah proses masa tahapan eksplorasi. Sebab, di areal pertambangan itu melewati lahan perkebunan masyarakat.

“Sementara lahan-lahan itu belum ada proses pembebasan atau ganti rugi lahan. Maka tidak salah bila kemudian terjadi pro-kontra di masyarakat. Dan akhirnya warga telah menganggap pihak perusahaan sudah memasuki masa produksi,” katanya.

Lebih lanjut Andika meminta petani Balaesang Tanjung dibebaskan, mengusut tuntas pelaku pelanggaran HAM, pertanggungjawaban Bupati Donggala secara hukum atas kekerasan termasuk mencopot Kapolda Sulteng.

“Kenyataan ini, sekali lagi menjadi fakta otentik, bagaimana industri pertambangan tidak peduli terhadap aspek keselamatan rakyat dan kondisi lingkungan hidup. Ruang hanya menjadi sandaran produksi gratis yang dikuras secara berlebihan di bawah kontrol pasar,” tegas Andika prihatin.

Jatam Sulteng merupakan organisasi non-pemerintah bertujuan meluaskan informasi dan advokasi dampak negatif industri pertambangan. Jaringan ini pada 2000 oleh tujuh jaringan organisasi non pemerintah dan dua ormas di Sulteng. (k27/Bsi)

Sumber: http://www.bisnis.com. Edisi : Rabu, 25 Juli 2012 | 14:05 WIB

Tinggalkan Komentar Anda :